Derita Mahasiswa Muhammadiyah Ikut PMII

Derita Mahasiswa Muhammadiyah Mengikuti Organisasi PMII MOJOK.CO

Ilustrasi Derita Mahasiswa Muhammadiyah Mengikuti Organisasi PMII

 Di awal perkuliahan pada tahun 2019 silam, saya menjadi mahasiswa resmi di salah satu perguruan tinggi di Purwokerto. Sebagai seorang yang memang menyukai dunia organisasi sedari SMA, saya tidak ragu untuk langsung mengikuti organisasi di tingkat perguruan tinggi. Salah satunya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). 

Saya memang sudah mengetahui bahwa PMII adalah organisasi dengan background NU. Perlu diketahui, saya adalah seorang anak yang hidup dan tumbuh di lingkungan keluarga Muhammadiyah. Saya adalah tipe orang yang selalu ingin tahu akan hal baru. Yaps, salah satunya tentang aliran satu ini (NU). 

Sejak dulu, saya mengetahui keberadaan adanya NU dan sedikit tahu tentang amaliyah-amaliyah yang biasa orang-orang NU lakukan, tanpa pernah mengikutinya. 

Mungkin saat ini adalah waktu yang pas untuk bisa mengetahui lebih banyak mengenai NU secara lebih mendalam. Namun, itu bukan satu-satunya alasan saya mengikuti organisasi PMII, ada banyak alasan mengapa saya sangat tertarik dengan organisasi satu ini.

Tidak ada penyesalan, Muhammadiyah ikut PMII

Saat ini saya sudah menyelesaikan studi saya di perguruan tinggi tersebut. Tidak ada penyesalan sama sekali setelah saya berproses di PMII selama kuliah (4 tahun). Jika di awal saya merasa minder karena berbeda dari teman-teman yang lain (yang lain memang orang NU sedangkan saya penganut Muhammadiyah), tapi sekarang saya bangga. 

Alasannya, karena dengan bergabungnya saya di PMII, pikiran saya menjadi lebih terbuka, dan saya bisa menyimpulkan bahwa NU atau pun Muhammadiyah adalah dua aliran keagamaan baik yang berlandaskan Ahlusunnah Wal Jama’ah. 

Namun, tetap saja, sebagai kader PMII yang berasal dari Muhammadiyah, banyak suka duka yang saya alami selama berproses di dalamnya. Berikut derita yang saya alami,

Karena saya Muhammadiyah, jadi bahan candaan

Pertama, ‘dibully’ karena tidak salat subuh menggunakan bacaan qunut. Seperti sudah saya ceritakan di atas, saya hidup di lingkungan Muhammadiyah, yang salah satu kebiasaannya adalah salat shubuh dengan tidak membaca bacaan qunut. 

Jika salat shubuh berjama’ah dengan teman-teman NU maka saya akan mengikutnya (membaca qunut), tetapi jika salat sendiri, saya belum mampu, karena belum mantap dan belum hafal xixi. 

Pernah suatu ketika saya salat subuh sendiri dalam suatu acara PMII, lalu ada salah satu teman saya yang sengaja mengajak temen-teman lain untuk memperhatikan salatku dengan berseru. “Liatin guys, ni anak ngga pake qunut,” sambal tertawa dan memperhatikan. 

Gurauan seperti ini memang sudah biasa dilakukan teman-teman, jadi saya pun sudah biasa memaklumi, justru akan ikut tertawa jika mereka sedang mem-bully. 

Sering mengalami cultureshock

Derita lain adalah banyak sekali culture shock yang saya alami, selama berproses di PMII. Salah satu cultureshock yang selalu saya ingat sampai sekarang adalah ketika pelaksanaan salat tarawih berjamaah dengan teman-teman PMII di rumah pergerakan. 

Saat itu adalah kali pertama saya melaksanakan salat tarawih berjamaah dengan teman-teman PMII. Mayoritas dari mereka adalah orang-orang NU. Saya terkejut dengan pelaksanaan salat tarawih yang sangat cepat. 

Hal itu membuat lutut saya nyeri karena gerakan salat yang sangat cepat dibanding dengan salat-salat tarawih yang biasa saya laksanakan. Hal ini jauh berbeda jika berjama’ah dengan orang rumah yang notabenenya Muhammadiyah. 

Sering ditunjuk teman-teman dalam forum diskusi

Poin terakhir duka yang saya rasakan adalah seringkali menjadi bahan penunjukkan teman-teman saat forum diskusi. Terutama Ketika pembahasan soal ke-Nu-an. Pada saat pemantik memberi pertanyaan kepada audience hal yang berkaitan dengan tokoh, sejarah atau kehidupan NU, sudah pasti teman-teman akan menyebut nama saya untuk diajukan kepada pemantik. 

Hal ini sudah jelas sebagai cara mereka untuk mempermalukan saya. Alasannya karena sudah pasti mereka menganggap saya tidak bisa menjawab. 

Keluarga yang bersahabat sampai wafat

Itulah beberapa derita yang saya rasakan selama berproses bersama teman-teman PMII yang notabenenya adalah NU. Gurauan seperti itu sudah biasa merka lakukan. Meskipun saya berasal dari Muhammadiyah, mereka selalu membimbing, dan selalu menganggap bahwa siapapun yang berproses di PMII adalah keluarga yang bersahabat sampai wafat. 

Terima kasih PMII sudah mengajarkan, bahwa “yang terhebat bukanlah siapa yang paling pintar saat ini, tetapi siapa yang bisa bertahan sampai akhir “.

Umu LatifahKarangreja, Kutasari, Purbalingga umulatifah09@gmail.com

BACA JUGA Curahan Hati Seorang Mahasiswa dari Kampus yang Kurang Terkenal di Surakarta dan keluh kesah lain dari pembaca Mojok di UNEG-UNEG

Keluh kesah dan tanggapan Uneg-uneg  bisa dikirim di sini.

Exit mobile version