Sejak memasuki usia kepala tiga ini sudah beberapa kali saya mendekati lelaki dewasa untuk saya ajak serius membina rumah tangga. Mulai dari duda anak satu yang kerja di LSM, penulis puluhan buku domisili Solo yang betah menjomblo di usia 40-an, hingga penulis esai bahasa asal Sumatra. Ndilalah ketiga orang ini tak berminat pada kecantikan dan segala keindahan yang ada dalam diri saya. Eramen tho yoo.Â
Di saat gundah dilanda kesepian tinggal di rumah seorang diri dan menjalani rutinitas yang gitu-gitu aja, saya kenalan dengan fotografer ganteng asal Flores. Karena sama-sama sedang kosong, alias nggak punya pacar, kami bisa ngobrol leluasa membahas apa saja, dengan cara apa saja. Singkatnya kami berpacaran.Â
Sejak awal sudah saling tahu beda agama
Sejak awal kenalan kami saling tahu bahwa kami menganut agama yang berbeda. Saya Muslim, dia Katolik. Saya tidak berani muluk-muluk membayangkan bisa menikah dan hidup bersama dia secara legal. Bahkan, saya sudah ikhlas jika suatu waktu hubungan ini kandas.Â
Tapi, keseriusan cinta dia pada saya jauh melampaui ekspektasi saya. Dia melakukan apa yang seharusnya seorang pacar lakukan; menghujani saya dengan perhatian-perhatian, video call dengan saya, mendengarkan cerita saya, bercerita beberapa hal pada saya, sampai mentransfer saya sejumlah uang untuk sekadar beli seblak.Â
Yang mengejutkan dia bahkan menghubungi kakak saya untuk memberitahu perihal hubungan kami. Jujur, saya baper. Saya merasa diperlakukan istimewa dan dicintai sedemikian rupa.Â
Namun, ketika suatu kali dia bertanya, “Ling Ling, kamu mau menikah dengan saya?”” saya tertegun, bingung mau menjawab apa. Perasaan saya pun campur aduk, antara bahagia dan sedih.Â
Agama memang urusan personal, tapi tidak sesederhana itu
Saya meyakini bahwa agama adalah urusan personal. Adalah hak saya jikpapun suatu kali saya memutuskan pindah agama.Â
Akan tetapi, persoalannya tidak sesederhana itu ternyata. Saya dibesarkan oleh keluarga Muslim yang taat, cenderung eksklusif. Meskipun dalam perjalanan saya tumbuh dewasa, saya menjadi orang Muslim moderat dengan paham-paham pluralism. Saya meyakini surga bukan hanya untuk orang Islam saja.
Akan tetapi, tetap saja, pindah agama akan menjadi perkara ekstrim yang mau tidak mau melibatkan keluarga saya. Pasti akan terjadi turbulensi dan geger gedhen dalam keluarga besar saya.Â
Apalagi, saya telah didaftarkan haji oleh mereka untuk menggantikan kuota haji almarhum bapak. Ibu sudah kehilangan bapak di tahun 2021 kemudian kehilangan menantu laki-laki kesayangangannya karena pendarahan otak setahun kemudian. Ia tidak akan sanggup kehilangan seorang lagi anggota keluarga, yaitu putri bungsunya karena murtad. Dan saya tidak akan sanggup menanggung perasaan bersalah seumur hidup.Â
Entah apa muara hubungan ini, pemberkatan, akad, atau perpisahan
Di sisi lain, pacar saya juga tidak mungkin untuk menjadi mualaf. Dia adalah Katolik sejati. Semua orang dalam keluarga besarnya menganut agama Katolik. Lingkar pertemamana dia oun didominasi oleh orang-orang yang seiman dengan dia. Dia akan dikucilkan keluarga dan pergaulan kalau sampai pindah agama.Â
Hingga saat ini kami masih saling mencintai, bahkan semakin hari cinta itu semakin besar. Hanya saja, kami ke mana muara hubungan ini. Apakah pemberkatan, ataukah akad. Ataukah…perpisahan.Â
Linggar Rimbawati Jambi [email protected]
BACA JUGA Jurusan Sastra Indonesia tapi Ada Mata Kuliah Belajar Bisnis: Wajarkah? dan keluh kesah lain dari pembaca Mojok di UNEG-UNEG
Keluh kesah dan tanggapan Uneg-uneg bisa dikirim di sini.