Cerita ini sudah sangat lama berkarat di otakku dan pada akhirnya aku tuangkan saja di sini. Mungkin bisa jadi pelajaran untuk kalian yang keburu nikah muda seperti aku contohnya, iya aku.
Berawal dari cerita cinta dunia pesantren yang rasanya membuat seakan-akan dunia tidak adil pada aku khususnya, yang rasanya buat bertemu si doi pun susahnya pakai ampun. Di mulai dari beda asrama yang membuat kami seakan-akan cerita cinta dunia pesantren ini bagai kelabu.
Pernah suatu waktu aku bertemu dengan si doi tepatnya sih papasan di jalan yang di sana terbentang jarak pagar pembatas jeruji besi. Aku hanya bisa melihat si doi dari lubang-lubang jeruji itu. Kenapa aku bisa tau itu si doi yah kaerna feeling aja gitu.
Kalian tau apa yang terjadi setelah itu? kakiku gemetar banget berasa kayak ketemu pangeran berkuda. Woy, alay banget gak si. Tapi memang itu kenyataannya cerita cinta di pesantren dengan si doi tuh berjuta rasanya.
Momen boyongan
Nggak terasa usah tahun ke-7 aku nyantri dan pada akhirnya aku boyong juga. Kalian mau tau rasanya boyongan? Seneng banget Masya Allah. Rasanya tuh kayak udah lepas dari penjara gitu, iya tapi penjara buat orang-orang beriman.
Setelah boyong, si doi dateng nih ke rumah tapi sebelumnya emang duluan si doi yang boyong ketimbang aku. Nah setelah itu keluarga aku sama doi musyawarah untuk memperjelas hubungan kita. Dua jam kira-kira lamanya mereka berdiskusi dan di sisi lain aku dan doi hanya bisa curi-curi pandang maklum Wak kagak pernah ketemu kita selama nyantri ketemu pun hanya papasan mana jarak rumah kami jauh banget beda provinsi Wak.
Orang tua keberatan
Orang tuaku memutuskan untuk berfikir kembali mengenai hubungan kami. Pertimbangannya disamping jarak rumah kami jauh, umur masih dibilang muda waktu itu umurku masih 21-an sama banget sama si doi, juga hal terberatnya adalah aku hanya anak satu-satunya yang dipunya orang tuaku. Tapi sungguh memang benar kata pepatah, kalau sudah cinta maka tai kucing pun rasa coklat.
Mendengar bahwa orang tua masih mempertimbangkan hubungan kami, aku mengurung diri di kamar, dan mogok makan, mana di situ masih ada pihak dari keluarga doi. Orang tuaku di sana kalang kabut antara menahan malu dan sedih. Pada akhirnya ibu merayuku untuk membicarakan hal tersebut setelah aku gak mogok makan lagi.
Dan pada akhirnya orang tua memutuskan untuk menikahkan kami disaat itu jug. Karena mengingat kata-kataku “aku sudah lelah berkomunikasi dengan lawan jenis selama ini apa ibu mau menanggung dosa-dosaku?”. Begitu kiranya ucap ku saat itu. Dan di situlah awal mula penyesalan ku.
Menikah butuh kesiapan mental
Kesimpulannya menikah hanya nikmat beberapa bulan saja. Menikah bukan hanya mikirin cinta dan sayang saja. Menikah itu butuh kesiapan mental lahir dan batin, juga nggak munafik akan ekonomi.
Aku yang terbiasa dengan segala kemewahan setelah menikah harus berjuang merasakan susahnya merintis usaha dari nol rupiah, dan semua itu tidak ada sangkut pautnya dengan orang tua.
Jadi buat kalian yang keburu nikah muda mending pikir-pikir dulu deh. Selagi belum mapan semuanya mending tunda dulu. Karena zaman sekarang uang harus selaras dengan cinta, modal cinta aja mah gak cukup guys, gak mungkin kan diwaktu kita laper banget cuman makan cinta.
This impossible.
Melysa Nur Fauziah
Mumbulsari, Jember, Jawa Timur
melysanurfauziah@gmail.com