Penjual Makanan Keliling: Kadang Ketemu Demit, Kadang Dikira Demit

Jauh, jauh sebelum Go-Jek membuat warga perkotaan semakin manja, sudah ada jasa delivery makanan yang jejaknya justru begitu menoreh karena quote terkenal Suzzanna saat menyamar jadi sundel bolong.

“Bang, satenya 100 tusuk, Bang ….”

Yak, penjual makanan keliling! Di wilayah dengan karakter konsumen yang masih menganggap jasa kurir adalah pemborosan tak perlu, penjual makanan keliling masih berjaya. Go-Food what?

Disadari atau tidak, penjual makanan keliling itu punya waktu edarnya masing-masing. Pagi hari, misalnya, antara pukul 6 hingga pukul 9, misalnya, adalah jam beredarnya tukang bubur, gerobak roti, penjaja segala macam kue, dan tukang sayur.

Beranjak tengah hari hingga menuju sore, gantian gerobak es (Wall’s, es tung-tung, dawet, cincau, dsb.), cilok, siomay, batagor, bakso, serta mi ayam yang keliling.

Saat masuk malam hari, yang akan terdengar dari jalanan adalah bunyi sendok beradu dengan wajan tukang nasi goreng, denting sendok feat mangkok tukang bakso, serta teriakan “Sateee … sateee!”.

Perkecualiannya cuma tukang Sari Roti dan Susu Nasional yang jualannya tak kenal waktu. Namanya juga antek kapitalis (bercanda, gaes).

Di antara tiga waktu edar itu, pekerjaan pedagang malam hari adalah yang paling menantang. Mereka harus keluar malam-malam, bertarung dengan angin dingin dan tempat gelap, serta punya risiko keamanan yang kurang bagus. Termasuk bertemu hantu.

Mungkin itulah alasan mengapa pedagang malam hari, meski berkutat di bisnis kuliner yang diidentikkan sebagai keahlian perempuan, nyatanya malah didominasi oleh laki-laki. Dan harus kita akui, tidak jarang makanannya sedap-sedap.

***

Suatu malam saya putuskan untuk bertanya-tanya kepada pedagang makanan keliling yang keluar di malam hari.

Target pertama yang ingin saya temukan adalah penjual nasi goreng + bakmi rebus + bakmi goreng. Penjual macam ini agak susah ditemui di Bantul, kabupaten domisili saya, sehingga saya harus merantau sebentar ke Kotamadya Yogyakarta.

Tak perlu waktu lama, saya menemukan salah satunya di dekat Pojok Beteng Kulon. Untuk pembaca non-Yogya, Beteng atau Benteng adalah nama kawasan tua yang dikelilingi dinding tinggi. Semacam kota kecil dalam benteng gitulah. Pojok Beteng Kulon berarti pojok barat dalam kawasan tersebut. Nama Pojok Beteng sering disingkat jadi Jokteng.

Sebelum melakukan kontak, saya amati dulu penjual tersebut. Pandangan saya fokuskan ke arah kaki, apakah menapak tanah, melayang, atau malah nggak ada kaki sama sekali.

Dan ternyata, ada kakinya. Sial! Padahal dalam hati saya sedikit berharap bisa menemukan penjual yang aslinya hantu. Tentu aroma misteri dan horornya akan lebih terasa. Tentu bakal menjadi tulisan pertama di Mojok yang narasumbernya makhluk gaib. Tentu bakal viral, memelesatkan peringkat Mojok di Alexa, dan membuka peluang saya direkrut Mojok sebagai redaktur khusus rubrik Malam Jumat.

Bapak-yang-ternyata-bukan-hantu ini bernama Pak Jo, berusia 66 tahun. Tidak perlu saya ulik apakah itu kepanjangan dari Paijo atau Johanson, yang jelas Pak Jo ini penjual nasi goreng senior nan baik hati. Ia sudah jualan nasi goreng sejak 1981.

“Pertama kali saya bikin nasi goreng, jenengan itu jangankan dibikin, direncanakan saja belum to?” tanyanya. Retoris, Pak.

Lelaki yang sudah mempunyai tiga cucu ini berasal dari Pathuk, Gunungkidul. Rumahnya dekat tower Indosiar gitu, katanya.

“Pokoknya niat saya dulu to, Mas, pengin mandiri. Makanya saya belajar sendiri, lihat orang jualan nasi goreng lalu coba-coba. Saya jual radio tape saya dulu buat modal. Empat bulan belajar, saya mulai berjualan, dan alhamdulillah habis.”

Tiga puluh tahun Pak Jo menjadi “penguasa” di kawasan Jokteng. “Dulu rambut saya gondrong kayak rocker. Tapi, karena malu sama usia, jadi saya potong.”

Tangan Pak Jo begitu gesit meliuk-liukan spatula sambil meracik nasi goreng, sementara bibirnya tak henti bercerita.

“Dari awal jualan seharga 150 rupiah sampai sekarang jadi 12 ribu, saya ndak kepikiran untuk menetap atau mangkal. Bukannya gimana, tetapi saya ini tiap minggu pulang ke Gunungkidul, anak istri di sana, jadi saya di sini ngekos di daerah Suryowijayan. Kalau saya menetap, kasihan pelanggan kalau kecelik (kecele) ketika saya pulang ke kampung. Mending saya yang mendatangi mereka.”

“Pernah mengalami kejadian horor, Pak?” tanya saya.

“Wah lah, yo banyak, Mas. Terutama pas ‘90-an dulu.”

Saya mulai deg-degan.

Suatu kali Pak Jo didatangi seorang wanita yang memesan makanan. Ketika makanan jadi, si pembeli sudah hilang tanpa suara. Pernah pula suatu kali seorang pria gondrong datang, memesan makanan, tapi lima detik kemudian ia berubah menjadi sosok kenalan Pak Jo.

“Terutama di dekat SMP 16 Yogya. Kan dulu rumah sakit to, sering saya nemu kayak gitu pas lewat sana.”

Kisah mistis terbaru ia alami 2014 lalu. Ada seseorang datang memesan dua porsi bakmi, lalu meminta Pak Jo mengantarkan ke lokasi tertentu. Tanpa banyak fafifu, langsung Pak Jo meluncur. Begitu sampai di lokasi, orang yang tadi memesan tidak ada.

“Begitu saya sadar, ternyata saya sudah berada di tengah kuburan. Langsung saja saya telepon kerabat untuk membantu membawa gerobak keluar.”

Hiyyy! Saya bergidik.

Anehnya, kata Pak Jo, setiap kali ada demit yang mengerjai, selalu disusul dengan rezeki nomplok.

Saya lihat-lihat, bukan Pak Jo yang punya aura menarik demit, tapi gerobaknya. Terutama lampu teplok yang tergantung di gerobak. Bila cahaya remang-remang dari teplok yang apinya bergoyang kena angin itu diganti dengan sorot terang LED atau lampu neon, tentu demit mana saja malas mendekat karena setting horornya jadi kurang maksimal.

Gara-gara cerita hantu, petualangan nyamper penjual makanan ini langsung berubah jadi perburuan kisah horor. Karena kenangan adegan Suzzanna jajan sate di awal tadi, kini saya bertekad untuk mencari penjual sate.

Tukang sate yang saya temukan bernama Muhamad, 56 tahun. Karena dia orang Madura, panggilannya jadi Cak Amad.

Cak Amad berjualan di Bantul sejak 1985 setelah berguru kepada kakak iparnya. “Pernah ketemu hantu, Cak?” tanya saya sambil melirik ke lampu neon di gerobaknya.

Ia menggelengkan kepala. Nah kan.

Tapi, aneh juga sih. Listrik baru masuk Bantul tahun ‘90-an. Tahun ’80-an akhir ketika Cak Amad mulai jualan, tentu Bantul masih remang-remang. Suasana favorit demit. Bagaimana bisa si Cacak nggak pernah melihat penampakan?

Yang unik daripada melihat demit, gerobak sate Madura lebih sering dikira sebagai demit itu sendiri. Kok bisa?

Ihwalnya ada pada sirine sate Madura yang memakai lonceng. Dulu sempat ada banyak kejadian, mahasiswa dari luar daerah yang baru awal-awal tinggal di Yogya kaget mendengar denting lonceng malam-malam dan mengira itu tanda hantu sedang lewat. Setelah memberani-beranikan diri mengecek keluar, ternyata tukang sate lewat.

Selain misteri kenapa lonceng horor begitu yang mereka pakai (nostalgia lonceng sapi Madura?), sate Madura keliling masih punya satu misteri lain. Yakni gerobaknya berbentuk kapal, seperti yang dipakai Cak Amad ini. Padahal jualannya sate ayam, nggak ada hubungan dengan laut sama sekali.

Jawaban Cak Amad soal gerobak kapal itu memuaskan sekali. “Wah, saya nggak tahu. Saya sih cuma ikut-ikutan saja kayak yang lain.”

Saya pernah baca artikel di Internet bahwa ini masih berhubungan dengan kapal/perahu sebagai moda transportasi antarpulau di Madura. Tapi, ada juga yang bilang gerobak sate kapal itu sekadar untuk tampil beda.

Teori lain mengatakan, bentuk ini dibuat demi tujuan aerodinamis, mempermudah gerobak didorong sehingga menghemat energi penjualnya. Sebuah teori yang saya yakin pembuatnya berpegang pada buku Fisika Marthen Kanginan.

Saya sendiri menduga bentuk ini dibuat sebagai pengingat bahwa dulu mereka menyeberang ke tanah Jawa dengan perahu. Tetapi, berhubung sekarang sudah ada Jembatan Suramadu, mengapa bentuk gerobaknya tidak diubah jadi jembatan?

Biarkan rubrik Otomojok yang menjawabnya.

Exit mobile version