Hari ini saya ada janji. Setelah siap berpakaian, saya baru sadar harus tiba di lokasi pertemuan dalam 30 menit. Tak jauh, hanya sekitar tujuh kilometer dari tempat tinggal. Tapi 30 menit adalah waktu yang terlalu ringkas. Saya hanya boleh menggunakan 10 menit untuk berdandan sederhana. Tidak ada waktu mengeringkan rambut—setidaknya itu butuh 15 menit. Dengan 20 menit sisanya, tidak ada moda transportasi lain yang terpikir oleh saya selain bajaj.
Bajaj mampu berselap-selip di jalanan dengan badan ringkasnya, juga bisa masuk gang-gang yang tidak bisa dilewati taksi. Dan yang paling penting, naik bajaj membantu rambut kering dalam lima belas menit perjalanan. Percayalah, gabungan oksigen, karbondioksida, karbonmonoksida, timbal, dan segala hasrat duniawi penduduk Jakarta yang menguap di udara, bekerja lebih baik dibanding pengering rambut merk apapun.
Jadi, saya keluar rumah, melangkah ke jalan depan, lalu menyetop seekor bajaj. Oh ya, jangan lupa sisiran. Tidak sisiran akan membuat rambut kusut bahkan menggumpal tak karuan.
Sebelum naik, tanya dulu tarif yang ditawarkan sopir bajaj. Untuk jarak sekitar enam-tujuh kilometer, saya biasanya menawar sekitar 25 ribu. Tentu saja penentu harga bukan cuma jarak, tetapi juga kepadatan jalanan. Pada jam sibuk, sopir bajaj akan bertahan pada harga yang lebih dari biasanya. Menawarlah dengan persuasif tanpa paksaan, seperti Windu Jusuf dan Arman Dhani berjuang untuk balikan dengan mantannya masing-masing.
Kali ini, saya dan sopir bisa sepakat pada harga 25 ribu. Pada jam sibuk, bisa mencapai 30 bahkan 35 ribu. Seperti saat menentukan pilihan dalam hal lain, pilihan moda transportasi bisa menunjukkan jatidiri kita. Jika senang sekali menumpang bajaj, bisa jadi Anda adalah manusia yang terdefinisi oleh nama-nama berikut.
- Homo economicus
Konon, manusia digerakkan oleh kepentingan diri sendiri. Kita cenderung selalu menimbang tindakan yang akan kita lakukan, untung atau rugi, efektif atau tidak. Homo economicus bukan berarti manusia menghalalkan segala cara, bukan, melainkan serasional mungkin dalam memilih cara ketika ingin mencapai satu tujuan.
Kalau tujuannya ingin lekas sampai, saya akan memilih ojek atau bajaj. Biayanya juga relatif lebih murah dibanding taksi. Tentu dari dua pilihan itu, ojek bisa lebih cepat. Tapi pada kasus rambut yang masih basah, bajaj jelas lebih layak dipilih. Jika memilih ojek, alih-alih rambut jadi kering, bisa-bisa wangi sampo berubah jadi bau-tujuh-rupa yang berasal dari helm yang pernah-dipake-anggota-FPI-sepetamburan.
Tapi hati-hati ya, tidak semua jalan boleh dilalui bajaj. Sebagaimana angkutan kelas dua, bersama motor, bajaj banyak dilarang melewati jalan-jalan protokol di DKI. Jika tujuan Anda harus melintasi jalan-jalan terlarang namun Anda tetap maksa naik bajaj, bukannya jadi manusia ekonomis, Anda malah jadi manusia berbetis besar—dan tentu, terlambat sampai tujuan.
- Zoon politikon
Sudah bukan rahasia jika penumpang angkutan umum di Jakarta jarang berinteraksi satu sama lain. Kecuali aktivitas menawari tempat duduk, kebanyakan penumpang memilih bersitatap dengan layar di tangannya masing-masing. Mereka Kami tersenyum, bahkan tak jarang tertawa pada layar-layar itu.
Tapi kejadiannya justru berbeda jika kita memilih angkutan yang lebih privat macam ojek, taksi dan bajaj. Kita bisa bercakap-cakap dengan sopirnya. Untuk taksi, memang ada sih perusahaan yang melarang sopirnya mengajak berbincang penumpangnya, kecuali jika ia yang diajak ngobrol. Tapi kebanyakan sopir taksi tetap suka curhat. Apalagi sopir bajaj. Obrolannya bisa macam-macam, mulai dari harga sembako, Syahrini atau Jupe, dan tentu saja, politik.
Musim pilgub dan pilpres adalah musim yang sungguh seru. Beberapa sopir bajaj yang saya temui mengaku menjadikan dirinya sebagai juru kampanye terhadap sesama sopir. Rata-rata mereka dulu adalah pemilih… ah sudahlah. Yang jelas, interaksi dalam bajaj membenarkan pendapat bahwa manusia memang makhluk yang butuh berkomunitas supaya tujuan bersama tercapai.
Meski kita senang mendulukan kepentingan sendiri, tetap saja keinginan banyak manusia itu sama: ingin aman, ingin sehat, ingin bahagia. Seburuk apapun praktiknya, kita butuh politik untuk mewujudkannya. Itu mungkin sebabnya kita mengkritik, mengomeli, menggosipkan Jokowi selama 24/7 di Facebook, di Twitter, di Kaskus, dan di dalam bajaj, tanpa ampun.
- Homo ludens
Sebentar lagi saya sampai. Sebelum merapikan rambut yang sudah kering berkat angin berisi gabungan polutan udara dan kejiwaan penduduk Jakarta, penting kiranya untuk menyampaikan hakikat penumpang bajaj yang ketiga. Kita-kita ini, para penumpang bajaj, adalah manusia tukang main.
Jika jalanan besar macet, sopir bajaj tangkas memilih jalan-jalan tikus. Jika satu jalan tikus ditutup orang kawinan, dia akan sigap memutar mengambil jalan lain. Begitu seterusnya. Seringkali penumpangnya menikmati permainan rute ini. Kelincahan sopir bajaj dalam memutar otaknya dan membanting setir bajajnya jelas lebih seru ketimbang main balapan di Playstation.
Tak cukup main-main dengan rute, dalam bajaj kita juga main-main dengan nasib. Tak jarang di tengah kecepatan tinggi, sopir tersadar belokan yang akan dia pilih ada di depan mata. Maka, wuzzz, bajaj belok kanan mendadak, dan roda bagian kiri belakangnya pun terangkat. Rasanya jantung mau copot, dan seperempat nyawa seakan sudah lepas dari badan.
Tapi soal main-main nyawa ini, semua pilihan transportasi punya sensasinya sendiri. Tentu kita acap melihat motor dan mobil pribadi mengalami kecelakaan. Atau membaca berita bus Transjakarta terbakar. Atau mengalami begitu bersemangatnya sopir Metro Mini dan Kopaja menginjak pedal gas. Bedanya, dalam bajaj, Anda hanya mengalaminya berdua dengan sang sopir.
Sopir bajaj menjadi semacam joki permainan judi nasib Anda untuk beberapa puluh menit. Pilihannya hanyalah berserah diri dan menikmati setiap belokan dan tancapan gas.
Wuzzzz ….