“Wisatawan silahkan datang, warga Jogja tetap di rumah saja.” Kira-kira seperti itu tanggapan dari Sekda DIY Kadarmanta Baskara Aji. Ungkapan ini bagaikan julukan Yogyakarta: Istimewa! Tidak hanya istimewa daerahnya, namun istimewa nalar orang-orangnya.
Ungkapan tersebut disampaikan Pak Baskara saat menanggapi gelombang wisatawan yang akan memasuki Jogja saat libur panjang akhir tahun (3/12). Menurut blio, sudah bukan masanya menutup diri dalam menghadapi pandemi yang tak pasti kapan berakhirnya.
Mboten salah sih, pak. Jogja memang tidak akan pernah mampu menutup diri. Apa lagi yang bisa diharapkan dari Jogja selain sektor pariwisata. UMP rendah pun tidak serta merta mendatangkan investor, tho?
Tapi, logika Pak Baskara kemarin sangat pincang. Sudah pincang, ra mashok blas. Tapi saya tidak bisa memungkiri, Jogja berada pada situasi serba sulit. Pandemi Covid-19 adalah hantaman keras bagi daerah yang hidup dari pariwisata.
Bukan menakut-nakuti, tapi pandemi nggatheli ini sukses menelanjangi Jogja dari tabir keistimewaanya. Jogja yang dulu gagah dengan mercusuar istimewanya kini seperti pesakitan menanti mati. Jogja telah telanjang, dan kita semua saksinya
Baiklah, kita bedah dulu perkara ungkapan Pak Baskara tadi. Blio menyatakan bahwa sektor kesehatan dan pertumbuhan ekonomi harus bisa berjalan bersama. Lah, kalau sudah tak cocok jangan dipaksakan, Pak! Kedua hal tadi selalu berlawanan. Jika akur, tidak ada ancaman resesi ekonomi dalam skala global.
Pak Baskara juga meminta agar pelaku usaha wisata jangan lengah. Protokol kesehatan harus diutamakan. “Industri pariwisata mengutamakan rasa percaya orang untuk datang ke Yogyakarta,” ujarnya seperti yang dilansir Tempo.co.
Inilah yang saya anggap sebagai nalar pincang. Lha kepercayaan itu tidak tumbuh dari sekadar tempat cuci tangan serta upaya jaga jarak. Jogja telah gagal membangun kepercayaan sejak ditetapkan sebagai zona merah penularan Covid-19.
Saya tidak bicara skala kecamatan atau kabupaten. Seluruh daerah Jogja telah ditetapkan sebagai zona merah! Tidak ada sisa-sisa hijau di peta pandemi Jogja. Semua merah seperti barisan prajurit lombok abang. Mau membangun kepercayaan dari mana? Lha wong tidak ada ruang aman dari pandemi lagi di Jogja. Mbok sing genah pak.
Makin lanjut, Pak Baskara memandang bahwa peningkatan kasus Covid-19 muncul bukan karena wisatawan yang datang lalu menularkan virus. Sebaliknya, lonjakan kasus Covid-19 dipicu warga Jogja yang bepergian keluar daerah lalu terpapar. “Untuk warga Yogyakarta sebaiknya di Yogyakarta saja,” ujar blio sambil meminta agar pengunjung waspada ketika menerima kunjungan dari luar.
Sudah melongonya? Ini adalah puncak logical fallacy dalam penanganan Covid-19. Betapa mulianya para wisatawan sampai dipandang tidak dapat menularkan virus. Dan betapa hinanya warga Jogja yang dianggap sebagai satu-satunya sumber masalah.
Logika ini seperti logika orang tua yang membela anak tetangga. Anak sendiri dibanding-bandingkan terus. Pak, jangan sampai warga Jogja mutung gara-gara pola pendidikan banding membanding ini.
Ealah, kok daerah yang disebut kota pendidikan bisa selucu ini menghadapi Covid-19. Awalnya, saya gemas luar dalam sampai mempertanyakan cara pikir Pemda DIY. Tapi, saya tahan karena memaklumi kondisi Jogja yang selama ini diselimuti tabir keistimewaan.
Jogja tidak hidup dengan kekuatan dari dalam. Ini adalah fakta pahit yang harus ditelan kita semua. Sumber pendapatan utama Jogja adalah dari pendatang. Baik yang berkunjung untuk berwisata, atau bertahan cukup lama karena menempuh pendidikan. Selama ini, Jogja hidup dari dua sektor itu. Pariwisata dan pendidikan adalah alasan banyak dapur warga Jogja tetap mengepul.
Covid-19 menjadi ancaman karena dampak lethal yang diakibatkan. Siapa sih yang tidak gentar melawan objek tak kasat mata yang bisa merenggut nyawa? Bagaimana Covid-19 menyebar? Tentu karena kontak antar manusia. Virus adalah “makhluk” yang tidak punya kemampuan selain mereplikasi diri dan merusak sel sehat. Kontak antar manusia adalah cara utama virus Covid-19.
Inilah yang membuat Jogja kalang kabut menghadapi Covid-19. Sebagai daerah tujuan pariwisata, Jogja selalu haus dengan kunjungan wisatawan. kebutuhan ini menghalangi Jogja untuk menerapkan PSBB. Pelaksanaan protokol kesehatan pun kacau balau karena Jogja hidup dari berkumpulnya manusia. Akibatnya, Jogja merata merahnya. Maksudnya zona merah, bukan bendera partai yang merah itu.
Tapi, tetap saja Jogja terpukul meskipun sudah mencoba luwes menghadapi pandemi. Banyak hotel berhenti operasi. Warung-warung di tempat wisata sepi pengunjung. Penyedia jasa wisata mulai panik dalam mode bertahan. Saya sendiri menyaksikan dampak nyata pandemi. Beberapa kenalan chef yang dulu sibuk memasak dengan seragam putihnya, harus menyerah di hadapan gerobak angkringan. Sisi positifnya, saya bisa mencicipi sate usus ala chef.
Sungguh, Yogyakarta tengah ditelanjangi oleh pandemi. Wajah kota yang berias kota budaya dan bermahkota keistimewaan kini menunjukkan wajah aslinya. Sebuah kota yang kembang kempis bertahan tanpa pendatang. Sebuah kota yang terlalu nyaman dengan potensi pariwisata dan pendidikan, namun dilucuti dari itu semua.
Dan pernyataan Pak Baskara saya pandang sebagai upaya putus asa. Putus asa karena harus mempertahankan kepercayaan wisatawan. Namun, usaha itu harus menutupi borok penanganan Covid-19 yang sudah rusak sejak awal. Jogja memang istimewa, karena menjadi kota besar bermodalkan “romantisme”. Jogja juga istimewa, karena suntikan dana keistimewaannya. Tapi, di hadapan Covid-19, Yogyakarta adalah sebuah daerah kecil tanpa potensi berarti.
Seperti cakra manggilingan, kini pertanyaan “KTP mana Bos” berbalik. Dulu, mereka bisa sombong dan merasa superior di tanah tumpah darahnya. Kini, tanah mereka mengemis menanti kedatangan orang dengan KTP luar daerah.
BACA JUGA Upah Layak, Tanah Murah, atau Lapangan Pekerjaan: Mana yang Lebih Worth It bagi Pekerja Jogja? dan artikel Prabu Yudianto lainnya.