Orang minum kopi biar melek. Tapi, di Warung Kopi Merapi Jogja, yang bikin melek bukan cuma kafein, tapi juga pemandangan Gunung Merapi yang berdiri gagah. Di sini, kamu bisa menikmati kopi dengan latar bekas letusan, guratan lava, dan riuh jeep wisata. Romantis? Tentu. Berdebu? Sudah pasti.
Kalau kafe-kafe kota sibuk adu latte art dan playlist jazz instrumental, Warung Kopi Merapi Jogja tampil polos tanpa banyak gaya. Bangunannya sederhana, terbuat dari puing-puing erupsi, tapi justru di situlah daya tariknya.
Tempat ini seperti mantan yang apa adanya, tapi selalu bisa bikin kangen. Nggak ada Wi-Fi, nggak ada AC, tapi selalu penuh tawa dan cerita dari para pendatang yang mampir sejenak dari Lava Tour.
Warung Kopi Merapi Jogja ini seperti hidup dari puing-puing secara harfiah. Lahir pasca-erupsi Merapi 2010, warung ini jadi saksi bahwa dari bencana bisa tumbuh sesuatu yang hangat. Secangkir kopi arabika atau robusta hasil kebun lokal dan obrolan santai di tengah lanskap yang setengah magis akan membiusmu.
Warung Kopi Merapi Jogja tempat untuk berdamai dengan kenyataan
Di Warung Kopi Merapi Jogja, pemandangan bukan sekadar hamparan hijau dan langit biru seperti di wallpaper Windows XP. Di sini, segala sesuatu terasa lebih nyata, lebih mentah, lebih jujur.
Merapi berdiri gagah di kejauhan, kadang bersembunyi di balik kabut, kadang muncul utuh tanpa sensor. Sesekali, terdengar deru jeep wisata yang lewat membawa rombongan petualang. Antara histeria dan euforia, antara liburan dan latihan evakuasi.
Suasana ini menciptakan ketegangan kecil yang menggantung di udara. Seakan-akan setiap tegukan kopi adalah bentuk perayaan kecil atas keselamatan yang masih berlangsung.
Di atas meja kayu sederhana, segelas kopi panas bertemu gorengan yang masih mengepul. Ia menciptakan harmoni hangat di tengah ancaman yang tak pernah benar-benar pergi. Warung Kopi Merapi Jogja ini bukan tempat untuk melarikan diri dari kenyataan, tapi justru tempat untuk berdamai dengannya.
Tak ada ornamen mewah, tak ada dekorasi tumbuhan gantung dengan pencahayaan LED kekinian. Yang ada hanya debu, batu, suara alam, dan aroma kopi hasil olahan manual dari biji-biji yang tumbuh di tanah yang sama.
Mengingat letusan Gunung Merapi tanpa harus menangis
Erupsi 2010 mungkin sudah lewat bertahun-tahun. Namun, jejaknya masih terasa di setiap sudut warung ini. Debu yang tak sepenuhnya hilang, batu besar yang sengaja dibiarkan diam di halaman, dan aroma tanah hangus yang kadang masih terbawa angin sore. Semua jadi pengingat bahwa tempat ini dulu pernah nyaris lenyap.
Kendati demikian, tidak semua kenangan harus diingat dengan isak. Di Warung Kopi Merapi Jogja, letusan dikenang sambil tersenyum tipis, ditemani kopi panas dan gorengan renyah.
Ada rasa kehilangan, iya. Tapi juga ada rasa bangga, bahwa dari bencana bisa tumbuh kekuatan. Pengunjung yang datang tidak hanya mencari pemandangan, tapi juga narasi. Narasi tentang bertahan, tentang bangkit, dan tentang menyeduh hidup dari abu yang tersisa.
Warung ini bukan tempat untuk melupakan bencana, tapi untuk menertawakannya secara halus, pelan-pelan. Bukan untuk menyepelekan, tapi untuk menunjukkan bahwa warga lereng Merapi bukan cuma korban, tapi juga peracik narasi dan kopi yang tahu caranya hidup berdampingan dengan ketidakpastian.
Warung Kopi Merapi Jogja bukan sekadar gaya-gayaan
Warung Kopi Merapi Jogja memang fotogenik. Saat cuaca sedang cerah dan Gunung Merapi menampakkan diri secara utuh, lanskapnya seperti lukisan hidup. Banyak yang datang membawa tripod, hingga outfit serba earth tone demi konten yang terasa “organik dan berdebu”, tapi tetap estetik.
Bebatuan besar sisa erupsi menjelma properti alami yang ideal. Duduk di atas batu sambil memegang gelas kopi panas, latar belakang gunung dengan jeep yang sesekali melintas, menjadi pose andalan para pemburu feed cantik dan footage mellow.
Di TikTok, tempat ini kerap muncul sebagai “hidden gem” dan “spot healing”. Walau sesekali, suasana tenang itu dipecah oleh suara truk pasir yang lewat seperti soundtrack tak diundang. Ini adalah realita kecil yang tidak bisa dihapus dengan filter.
Warung Kopi Merapi Jogja ini memang cocok difoto, cocok untuk estetika, tapi juga mengandung cerita. Di balik setiap sudutnya ada narasi tentang kehilangan yang disulam menjadi kekuatan.
Mungkin, Warung Kopi Merapi Jogja tak perlu menjadi tempat yang ramai, cukup menjadi tempat yang dikenang diam-diam. Sebuah ruang kecil di lereng gunung yang menyuguhkan lebih dari sekadar kopi.
Penulis: Raihan Muhammad
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 5 Warung Kopi Murah dan Unik di Jogja
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















