Siapa yang tidak kenal Waroeng Spesial Sambal (Waroeng SS/WSS)? Berawal dari Jogja, rumah makan ini jadi pelopor hidangan yang berfokus pada sambal. Waroeng SS hari ini jadi solusi dari makan siang sampai reuni. Hampir setiap gerainya penuh konsumen yang berkeringat karena pedasnya sambal mereka. Tapi tidak hanya konsumen yang berkeringat, karyawan mereka juga. Keringat dingin menetes setelah ada wacana potong gaji.
Semua bermula dari akun Twitter @prahoro yang mempertanyakan surat yang bertajuk “Penyikapan Bantuan Subsidi Upah (BSU) Personel WSS Indonesia.” Dalam surat ini, Direktur WSS mempertimbangkan untuk memotong gaji personel yang menerima BSU sebesar 300 ribu rupiah. BSU yang diperoleh sendiri sebesar 600 ribu rupiah dan bersumber dari APBN. Pertimbangannya adalah: pemerataan kesejahteraan; iuran BPJS dibiayai langsung oleh perusahaan, dan; kondisi bisnis WSS sedang dalam fase pemulihan pasca pandemi.
Seperti menyempurnakan surat yang ra mashok ini, personel yang keberatan atau melawan dipersilahkan untuk mengundurkan diri. Bahkan personel tinggal menandatangani surat pengunduran diri yang sudah terlampir dalam surat tersebut. Surat ini ditutup dengan kalimat “demi kelangsungan perjuangan bersama keluarga besar WSS Indonesia.”
Sayang sekali, akun @prahoro menghilang. Saya tidak mau berkonspirasi, yang penting saya berdoa pemilik akun tetap baik-baik saja.
Banyak akun yang peduli termasuk akun serikat buruh ikut mempermasalahkan wacana ini. Fokusnya jelas: jangan sampai hak karyawan Waroeng SS direbut seenak udel direktur. Saya sepakat dan mendukung niat baik ini. Karena tidak ada mendang-mending dari wacana potong gaji ini.
Cacat logika Direktur Waroeng SS
Memotong gaji personel penerima BSU ini adalah cacat logika. Tapi, mari kita belejeti dahulu pertimbangan yang tertulis di surat ndlogok tadi. Pertama adalah menyinggung urusan BPJS. Terkesan hebat dan manusiawi. Namun, kewajiban mendaftarkan kepesertaan menjadi tanggung jawab pemberi kerja atau perusahaan. Apabila perusahaan tidak mendaftarkan karyawan mereka, maka terancam sanksi administratif berupa teguran, denda, dan tidak mendapat layanan publik (perizinan).
Apabila perusahaan mengambil penuh tanggung jawab iuran BPJS ini, ya itu sudah keputusan mereka. Toh pemerintah memberi opsi untuk pembagian tanggung jawab iuran dengan pekerja. Jadi membayar penuh iuran BPJS tidak bisa menjadi tameng untuk merebut hak pekerja!
BSU sendiri harus dipahami lebih dalam. Subsidi ini diberikan langsung oleh pemerintah untuk membantu pekerja yang terdampak kenaikan harga. Sasarannya jelas: pekerja! Bukan sedekah untuk membantu pemilik usaha. Jadi tidak ada istilah potong gaji karena pekerja mendapat subsidi.
Pemotongan gaji oleh direktur Waroeng SS ini bukan menyunat BSU. Tapi menyunat upah yang menjadi hak pekerja. Upah yang tertulis dalam perjanjian kerja tidak ada sangkut pautnya dengan subsidi oleh pemerintah. Namun, keputusan direktur ini seolah untuk “memberi keadilan dan pemerataan”. Keadilan dari mana kalau upah saja bisa disunat?
Membela rezeki personel VS pengambilan hak
Klarifikasi dari Direktur Waroeng SS terkesan mulia. Pemotongan gaji untuk penerima BSU ini bertujuan untuk pemerataan subsidi. Dengan pemotongan ini, diharapkan tidak ada kecemburuan antarpersonel karena pemberian BSU yang tidak merata.
Terkesan ada niat mulia? Saya pun awalnya menangkap demikian. Sampai akhirnya saya sadar ada malapraktik dalam pemotongan gaji oleh manajemen Waroeng SS.
Pertama, jika BSU tidak merata, manajemen Waroeng SS yang harus menekan ke pihak pemberi bantuan. Bukan malah mengorbankan bantuan yang diterima untuk semangat pemerataan ini. Jika ada personel yang tidak tercatat sebagai penerima bantuan, berarti Waroeng SS bisa dan perlu menyampaikan keluhan dan peninjauan ulang.
Apalagi yang menerima bantuan adalah mereka yang tercatat sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Sudah jelas sasarannya. Tinggal bagaimana pihak manajemen Waroeng SS memperjuangkan hak personel sehingga tidak ada kecemburuan sosial.
Justru dengan memotong gaji, ada potensi perampasan hak. Angka 600 ribu itu adalah angka untuk membantu pekerja agar tetap bisa memenuhi kebutuhan. Kalau dipotong, berarti disama ratakan agar bantuan yang diterima tidak sesuai dengan perhitungan untuk memenuhi kebutuhan ini.
Kedua, pemotongan gaji tidak bisa serta merta dilakukan. Dalam UU pasal 36 PP Pengupahan, sudah jelas aturan main untuk melakukan pemotongan gaji. Pemerataan subsidi tidak bisa menjadi syarat pemotongan gaji. Dan ketika dilakukan pemotongan gaji, harus ada kesepakatan dari dua belah pihak.
Waroeng SS juga tidak bisa menggunakan subsidi interen perusahaan sebagai pembenaran dalam model pemerataan ini. Ini sih boleh dibilang jauh panggang dari api. Lha wong masalahnya itu bantuan pemerintah yang tidak merata. Malah penerima yang harus berkorban untuk model pemerataan yang dicanangkan (bukan ditawarkan) oleh pihak manajemen Waroeng SS.
Apakah pemotongan gaji ini sebuah tawaran? Apakah bisa ada kesepakatan? Lha wong yang menolak saja malah diminta mengundurkan diri.
Baca halaman selanjutnya
Lemahnya posisi pekerja
Dalam surat ini, posisi personel Waroeng SS terlihat sangat lemah. Bayangkan saja, mereka harus mengundurkan diri apabila tidak setuju dengan keputusan potong gaji ini. Tidak ada ruang diskusi maupun dengar aspirasi. Pokoknya kalau tidak setuju, silakan minggat!
Jangan dipikir ancaman seperti ini hal yang sepele. Apalagi mengamini untuk mengundurkan diri. Justru yang harus dipermasalahkan adalah sikap tanpa kompromi ini. Berarti personel Waroeng SS tidak punya ruang untuk memperjuangkan hak mereka. Bahkan hak paling dasar berupa upah.
Setiap pekerja berhak untuk mendapatkan hak mereka dari perusahaan tempat bekerja. Dan imbauan untuk mengundurkan diri ini berarti hak mereka sudah direbut paksa. Jangan bayangkan situasi ini seperti Anda ngambek dengan circle pertemanan lalu tidak mau kumpul bareng. Urusan nafkah dan hak memperoleh pendapatan tidak bisa disamakan geger karena bacotan di tongkrongan.
Ajakan untuk memperjuangkan bersama keluarga besar Waroeng SS ini juga omong kosong. Lha wong mau berjuang saja malah diminta untuk mengundurkan diri. Perjuangan dari mana? Tidak ada perjuangan yang dipimpin dengan cara diktator macam ini.
Halo Disnaker?
Lalu bagaimana personel Waroeng SS ini bisa mendapatkan keadilan? Ya kalau tidak dari desakan warganet, ya dari Disnaker. Tapi, kalau warganet ini sifatnya solidaritas, sedangkan Disnaker wajib untuk menjamin hak pekerja terpenuhi. Tentu karena sudah viral tipis-tipis, Disnaker sudah dengar kabar miring dari rumah makan pedas ini.
Sekarang kita tinggal bisa menunggu Disnaker mengambil tindakan. Jelas ada malapraktik dalam manajemen Waroeng SS. Logikanya gini sih pak: menurut web resmi Waroeng SS, ada sekitar 4000 karyawan di 98 cabang. Katakan 2000 karyawan ini mendapat BSU. Dengan skema potong gaji yang bajingan ini, berarti ada 600 juta rupiah uang yang seharusnya dibayarkan Waroeng SS kepada karyawan. Dan kita tidak tahu bagaimana pemerataan ini dilangsungkan. Apakah benar-benar bisa merata dengan pemotongan 300 ribu ini?
Wacana ini juga tidak mendukung pemerintah. Lha wong APBN saja digelontorkan untuk menolong pekerja menghadapi kenaikan harga. Jelas untuk menggenjot roda ekonomi. Lha kok Waroeng SS malah memotong gaji. Berarti kan tidak mendukung program pemerintah lewat BSU ini. Bener tho, Pak, Bu Disnaker?
Kini bola panas sudah bergulir liar. Tentu kita berharap Disnaker bisa mengatasi praktik nakal seperti yang dilakukan Waroeng SS ini. Jangan sampai juga hanya berakhir pembatalan dan islah. Karena kalau tidak ada yang berani speak up dan viral di medsos, berarti perebutan hak ini bisa lancar dilakukan. Kasihan pekerja yang mudah dipermainkan wacana ndlogok macam ini.
Ah Waroeng SS. Pedas sambalmu tak sebanding pedasnya surat potong gaji itu.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Balada Kuda Startup: Kerja, Kerja, Tifus