Vonis hukuman penjara yang diberikan kepada Jaksa Pinangki Sirna Malasari dipotong, dari yang sebelumnya sepuluh tahun penjara menjadi empat tahun penjara. Pengurangan masa hukuman ini tak pelak bikin orang marah. Pada titik tertentu, vonis hukuman penjara di negara ini tak ada bedanya dengan barang tak laku di sebuah toko: diberi diskon yang tak masuk akal.
Serupa roti yang mendekati kedaluwarsa—kadang sudah mengeluarkan jamur, vonis hukuman penjara mulai tak ada harganya di negara ini. Putusan pengadilan diberikan tak lagi melihat jenis kejahatan dan efeknya pada masyarakat. Rakyat yang masih percaya keadilan bisa ditegakkan, seakan-akan diludahi mukanya.
Pengurangan hukuman tersebut katanya diambil setelah menimbang beberapa hal. Pertama, pelaku mengakui kesalahannya, jadi pelaku masih bisa dikategorikan sebagai “warga masyarakat yang baik”. Kedua, pelaku adalah wanita dan ibu, yang harus mendapat perlindungan dan perhatian.
Pertimbangan tersebut dianggap cukup untuk para pengambil keputusan untuk memberikan pengurangan masa hukuman. Selain cukup untuk mengambil keputusan, pertimbangan tersebut juga cukup untuk meledek hukum di negara ini.
Bayangkan seperti ini. Seseorang menerima uang sebesar 500 ribu dolar. Tentu saja itu uang yang amat besar, lebih besar dari singkong dan ayam yang sering bikin orang tak mampu meringkuk di penjara. Uang tersebut didapat dari terpidana kasus, yang berarti seseorang itu menerima uang suap.
Uang tersebut digunakan untuk membeli mobil, membayar sewa apartemen, mempercantik diri, dan membayar tagihan kartu kredit. Tak ada satu pun uang itu digunakan untuk kegiatan Robin Hood-esque, jadi tak ada sedikit pun uang tersebut berguna untuk kebaikan—kecuali untuk “kebaikan” diri sendiri.
Melihat penjelasan tersebut, mohon jelaskan kepada saya, apa yang bisa disebut baik dari orang tersebut? Mananya yang bisa disebut “masyarakat yang baik”?
Saya punya teman, adik tingkat semasa kuliah. Pada suatu hari, dia mengirimkan pesan untuk meminjam uang. Kamar kosnya dibobol maling, dan uang untuk bayar kuliahnya digasak. Saya waktu itu butuh uang yang cukup besar untuk mengerjakan skripsi, dan terpaksa mengatakan bahwa saya tidak bisa membantunya. Dia bilang tak apa, dan berkata bahwa dia akan menjual sepatu dan beberapa barang yang masih tersisa.
Beberapa bulan kemudian, saya mendengar bahwa dia akhirnya bekerja, dan mengambil cuti kuliahnya. Hingga kini, saya tak mendengar kabar apakah dia melanjutkan kuliahnya atau tidak. Beberapa orang berkata bahwa sekarang dia fokus bekerja untuk menyambung hidup, dan bagi saya, hal itu amat mulia. Dia—setau saya—tak jatuh ke lubang keputusasaan dalam mencari uang alias berbuat jahat.
Tapi, saya memutar skenario lain di kepala saya saat ini. Bagaimana andai dia, atau orang yang bernasib kurang lebih sama, tak menemui jalan untuk mencari uang yang halal? Katakanlah, mereka akhirnya mencuri, dan ketahuan. Apakah mereka akan mendapat pertimbangan yang Jaksa Pinangki dapatkan? Saya jawab dengan yakin, tidak.
Sudah terlalu banyak kasus yang bisa kita cari dengan mudah di mesin peramban, tentang orang-orang kecil yang mendapat hukuman atas kejahatan yang mereka lakukan karena terpaksa. Dan kita juga dengan mudah melihat banyak kasus yang punya signifikansi besar terhadap kelangsungan umat manusia namun diganjar dengan vonis hukuman penjara yang singkat. Pada kasus tertentu, justru mereka bebas.
Jangan hakimi saya atas ketidakpercayaan kepada penegak hukum dan sejawatnya atas ketidakadilan yang ada, sebab kenyataannya banyak hal seperti itu terjadi. Bukan tugas saya—juga rakyat—untuk berusaha percaya—setelah melihat begitu banyak bukti yang berkata sebaliknya, tapi tugas mereka untuk menunjukkan bahwa mereka tidak patut untuk diberi prasangka buruk.
Vonis hukuman penjara Jaksa Pinangki yang disunat dengan dalih beliau adalah “masyarakat yang baik” ini meludahi akal sehat. Apa yang baik dari penegak hukum yang menerima suap untuk beli mobil dan mempercantik diri? Lebih sederhana lagi, apa yang baik dari menerima suap?
Jadi ketika saya membaca pernyataan Kapolresta Kota Solo, Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak yang berkata “orang tidak suka dengan polisi adalah jiwa penjahat”, saya tertawa terbahak-bahak. Kepercayaan dan kesukaan (saya tak tahu ini kata tepat atau tidak) terhadap penegak hukum, entah polisi atau jaksa, sudah mereka lukai sendiri. Tak perlu narasi pesanan, mereka sendiri yang bikin rakyat dipenuhi rasa tidak suka dan ketidakpercayaan.
Ke depannya, Jaksa Pinangki yang lain akan muncul di berita. Katakanlah, bupati A dipotong masa tahanannya sebab dia adalah warga yang suka bagi-bagi mangga. Atau gubernur X bebas sebab uang korupsinya dia bagikan ke tetangganya yang anaknya ngamuk minta dibeliin KLX. Atau, pejabat Z bebas meski terbukti korupsi. Kok bisa? Because fuck you, that’s why.
Kita tidak perlu kaget, dan kita bersiap saja mendengar hal-hal lucu di masa depan.
BACA JUGA Korupsi Bansos dan Dana Haji, Mana yang Lebih Bajingan? dan artikel Rizky Prasetya lainnya.