Beberapa waktu lalu kita dihebohkan dengan tingkah laku wakil rakyat dan pemerintahan pusat kita yang berhasil bikin perut mules. Maksud saya adalah disahkannya UU Cipta Kerja yang dikritik dari segala arah namun, masih saja pemerintah ngotot mengesahkan UU tersebut.
Padahal, UU tersebut dinilai mengancam hak buruh untuk mendapat perlakuan yang lebih manusiawi. Cari sendiri deh artikel yang menyatakan kritikan terhadap UU tersebut karena saya tidak akan membahasnya lebih lanjut.
Tapi, karena setiap hari mengikuti perkembangan isu UU tersebut, saya menjadi bertanya-tanya bagaimana dengan nasib buruh di kampung saya. Apakah UU tersebut akan berdampak terhadap petani dan buruh di kampung saya atau tidak? Alih-alih mendapatkan jawabannya saya malah menemukan fakta ternyata upah buruh di kampung saya lebih besar dari upah minimum rakyat.
FYI, saya tinggal di dusun Mersam kabupaten Batanghari Provinsi Jambi.
Buruh di kampung saya kebanyakan adalah buruh tani yang mengerjakan kebun atau sawah milik penduduk. Mereka terdiri dari pendatang yang mencari pekerjaan atau pemuda yang belum atau baru saja menikah. Pekerjaan buruh tani diambil sebagai sambilan, sambil menunggu kebun milik mereka siap panen.
Oleh karena saya sering membantu ayah saya bekerja, saya jadi tau berapa upah buruh di kampung saya. Berikut daftar upah buruh tani di kampung saya:
Upah garap
Upah garap adalah upah untuk buruh yang menggarap kebun pasca atau pratanam. Dalam hal ini pemilik modal akan menyerahkan lahannya untuk digarap oleh orang lain sampai kebun tersebut siap untuk dipanen. Biasanya buruh garap mampu menggarap lima ha lahan selama lebih kurang tiga sampai lima tahun. Pokoknya sampai kebun tersebut survive dari gangguan hama. Cukup lama ya?
Lama memang. Tapi, hasil yang didapat sebanding dengan waktu yang lama itu. Kebun yang digarap itu akan dibagi dua dengan pemilik modal.
Meskipun berada di posisi pekerja, proses pembagiannya juga tidak merugikan buruh, kok. Buruh memiliki hak yang sama dengan pemilik modal. Pembagian akan dilaksanakan dengan musyawarah mufakat sesuai dengan seloko adat “bulat air dak pembuluh, bulat kato dak mufakat, kalau bulat biso digulingkan, kalau pipih biso dilayangkan.”
Mungkin ada yang bertanya bagaimana dengan kehidupan buruh selama menggarap kebun. Tenang. Buruh juga mendapatkan fasilitas tempat tinggal serta uang konsumsi sebesar satu juta setiap bulannya. Kecil memang, tapi cukup adil mengingat kebun yang digarap sebagian akan menjadi miliknya suatu saat nanti.
Upah garap ini juga berlaku untuk buruh garap sawah dan peternak kerbau, lho. Hanya saja tidak ada gaji bulanan untuk buruh garap jenis ini.
Upah bulanan
Upah bulanan ditujukan kepada buruh sadap karet. Pekerjaan ini sudah ada sejak Belanda masih bercokol mengeruk kekayaan alam Indonesia. Buruh sadap karet biasanya dikerjakan oleh orang Jambi asli atau pendatang seperti orang Jawa, Batak, atau Minang. Mereka bekerja sebulan penuh di kebun karet.
Jangan khawatir soal cuti. Buruh sadap juga mendapat hak cuti tanpa perlu meminta izin dari bos. Mereka bebas mengambil cuti kapan pun mereka mau. Tapi, harus sadar diri juga karena hasil sadapan akan mempengaruhi jumlah upah yang diterima.
Yup, upah buruh sadap disesuaikan dengan hasil yang didapat selama sebulan. Biasanya seorang buruh sadap profesional (asik, bahasanya profesional) mampu mengumpulkan getah sebanyak enam hingga satu ton dalam sebulan, tergantung kebun yang disadap dan kerajinan penyadap. Lalu hasil tersebut akan dibagi dua dengan pemilik kebun. Untuk kebun yang jelek maka hasilnya akan dibagi 2/3 dengan dua bagian untuk buruh sadap.
Upah yang menggiurkan bukan? Apalagi kalau ditunjang harga karet sekarang yang mencapai sepuluh ribu rupiah per kilo, buruh akan mendapatkan upah sebesar tiga hingga lima juta dalam sebulan. Bandingkan dengan UMP Jambi yang hanya Rp2.630.162.
Upah harian
Berapa sih kira-kira upah harian di kampung saya? 50 ribu? 100 ribu? atau 150 ribu?
Jawabannya salah besar. Upah harian buruh di kampung saya bisa mencapai 200 hingga 600 ribu, lumayan kan. Padahal pekerjaannya sama kok kaya pekerjaan buruh panggul di kota-kota. Hanya upahnya saja yang berbeda.
Buruh harian di kampung saya cukup beragam. Ada yang bekerja sebagai tukang panen sawit, ada pula yang bekerja sebagai tukang muat (angkat) sawit dari tanah ke dalam mobil bak.
Untuk tukang panen sawit, sistem upahnya dinilai dari berapa banyak sawit yang dia panen. Setiap satu ton sawit yang dipanen, tukang panen mendapat upah sebesar 200.000 rupiah. Biasanya seorang tukang panen mampu memanen sawit sebanyak dua hingga tiga ton dalam sehari. Tergantung medan perkebunan yang dipanen.
Sedangkan tukang muat sawit diupah sebesar 30 ribu hingga 50 ribu per ton. Dalam sehari tukang muat mampu memuat sawit sebanyak 7 hingga 15 ton. Sulit dipercaya memang. Tapi, saya terpaksa harus percaya karena melihatnya secara langsung di depan saya. Bahkan untuk beberapa tukang muat mampu memuat sawit jauh lebih banyak. Dari hasil tersebut mereka akan mendapatkan sekurang-kurangnya 270 ribu rupiah dalam sekali kerja.
Ada juga sih upah harian seratus ribuan. Akan tetapi upah harian ini hanya untuk pekerjaan ringan seperti mengisi tanah ke dalam polybag.
Gimana, tertarik menjadi buruh di kampung saya? Mending jangan deh, karena pekerjaan ini khusus untuk orang-orang yang kelebihan otot. Tapi kalau mau, yah, silakan datang ke kampung saya.
BACA JUGA Percayalah, Kami Para Introvert Juga Ingin Berteman.