Serius, tiap kali di jalan, saya sering banget mbatin: kok bisa sih orang-orang ini punya SIM? Ada yang jalannya pelan tapi di tengah, ada yang tiba-tiba belok tanpa kasih sein, ada juga yang merokok sambil berkendara, seolah jalanan ini milik pribadi. Dan itu baru segelintir dari banyaknya kelakuan pengendara yang bikin geleng-geleng kepala.
Yang lebih ngeselin lagi, banyak pengendara yang kayaknya nggak paham konsep “keselamatan bersama”. Mereka asal nyelonong di perempatan, nggak peduli ada kendaraan lain yang udah benar di jalurnya. Ada juga yang lampu merah dianggap sekadar dekorasi, berhenti kalau mau, nerobos kalau lagi buru-buru. Belum lagi ada saja gerombolan yang suka ugal-ugalan di jalan raya, bikin orang lain deg-degan tiap lihat mereka melintas.
Kadang saya berpikir, sebenarnya mereka ini nggak tahu aturan atau memang sengaja abai? Kalau mereka nggak tahu, kok bisa dapat SIM? Kalau mereka tahu tapi tetap seenaknya, berarti ada yang salah dalam sistem pembelajaran berkendara kita. Jangan-jangan, ujian SIM selama ini lebih mirip formalitas daripada benar-benar menguji kelayakan seseorang untuk ada di jalan.
Kalau di sekolah ada murid nakal, biasanya guru atau orang tua yang disalahin. Nah, kalau ada pengendara ngawur tapi punya SIM, siapa yang bertanggung jawab? Kok bisa lulus? Apa ujian SIM kita selama ini terlalu gampang atau ada yang salah dengan sistemnya?
Daftar Isi
Ujian SIM selama ini cuma fokus ke teknik, padahal itu nggak cukup
Salah satu alasan kenapa banyak pengendara ngawur adalah karena ujian SIM kita selama ini cuma ngecek kemampuan teknis. Bisa bawa motor? Lolos. Bisa belok zig-zag? Lolos. Bisa injak rem pas di titik yang ditentukan? Lolos. Tapi apakah ada tes yang benar-benar menguji bagaimana seseorang mengambil keputusan di jalan? Kayaknya nggak ada.
Satu hal yang perlu disepakati: nyetir itu bukan cuma soal bisa pegang setir dan atur gas-rem saja. Di jalan raya, ada banyak situasi yang bikin kita harus mikir cepat, ambil keputusan yang tepat, dan—ini yang paling penting—paham etika berkendara. Nggak semua aturan lalu lintas tertulis di buku, tapi harus dipahami sebagai etika dasar.
Misalnya, kalau ada mobil yang lagi mau masuk ke jalur utama, ya kasih jalan kalau memungkinkan, bukan malah ngebut buat nutupin. Atau kalau macet, jangan nyerobot trotoar yang jelas-jelas buat pejalan kaki.
Harusnya ada tes etika berkendara
Saya sih nggak minta ujian SIM dibuat super susah kayak ujian CPNS, tapi setidaknya ada tes tambahan yang menilai cara berpikir pengendara di jalan. Bisa dalam bentuk soal pilihan ganda atau simulasi situasi di jalan raya. Misalnya:
Pertanyaan: Kalau di depan ada orang mau nyebrang di zebra cross, apa yang harus dilakukan?
a) Tetap tancap gas karena buru-buru
b) Pelanin kendaraan dan kasih jalan
c) Klakson kenceng biar dia mundur
Pertanyaan: Kalau tiba-tiba ada motor lain nyalip dari kiri tanpa kasih sein, apa langkah terbaik?
a) Kejar balik dan salip dia juga
b) Tetap tenang, jaga jarak, dan hindari konflik
c) Klakson panjang sambil maki-maki
Kalau jawabannya kebanyakan “a” atau “c”, ya maaf, kamu belum layak dapat SIM.
Kesimpulan: ujian SIM harus direvisi!
Ujian SIM yang cuma mengandalkan tes teknik berkendara itu udah ketinggalan zaman. Di dunia nyata, yang bikin jalanan nggak aman itu bukan orang yang nggak bisa zig-zag, tapi yang nggak tahu bagaimana harus bersikap di jalan.
Jadi, kalau pengen jalanan lebih tertib dan nggak bikin emosi tiap hari, udah saatnya kita nambahin ujian SIM dengan tes etika dan pengambilan keputusan. Karena nyetir itu bukan cuma soal bisa jalan, tapi juga soal tahu kapan harus ngalah, kapan harus sabar, dan kapan harus mikir sebelum bertindak.
Akhir kata, ketimbang ngurusin band Sukatani (dan liriknya soal bikin SIM harus bayar polisi), mending Polri fokus saja untuk revisi ujian SIM yang masih amburadul ini. Salam presisi.
Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Susahnya Ujian Sim C: Ini Tipsnya Biar Lulus Menurut Polisi, Ahli, dan Orang yang Gagal Berkali-kali