Siapa sih yang nggak suka mi ayam? Kudapan satu ini jadi favorit banyak orang termasuk saya. Hampir setiap 2-3 hari sekali saya memakannya. Di Yogyakarta sendiri ada banyak penjual mi ayam, dan beberapa di antara mencapai status legendaris. Di list kali ini saya akan menilai beberapa penjual mi ayam kondang di Yogyakarta.
Demi inklusivitas terhadap keberagaman selera mi ayam masyarakat, saya memilih tiga penjual mi ayam Yogyakarta dengan gayanya masing-masing. Tujuannya untuk mencegah terjadinya kerusuhan antara kelompok Jakarta dan Wonogiri. Sebelum saya dinyatakan sebagai pro atau anti mi ayam tertentu, kita langsung saja masuk ke daftarnya.
#1 Mi Ayam Tumini
Penjual mi ayam pertama ini bisa dibilang yang paling terkenal sejagat Yogyakarta walaupun basis operasinya di batas selatan kota. Terkenal akan kuah ayam kecap kental, mi ayam Tumini menganut paham Wonogiri garis keras. Saking kerasnya, toping ayam di Tumini lebih mirip semur daripada yang biasa ditemukan pada gerobak penjual mi ayam Wonogiri lainnya.
Lantaran saya pendatang dari luar kota dan besar dari keluarga asal luar pulau, mi ayam di sini terlalu kemanisan menurut saya. Namun, ini juga yang mungkin membuat warung ini selalu tidak pernah sepi penduduk. Memang masyarakat Yogyakarta terkenal cinta kuliner manis, jadi kepopuleran Tumini di kalangan penggemar mi ayam Kota Gudeg, tidak mengejutkan. Buat penganut paham Wonogiri, Mi Ayam Tumini adalah tempat ziarah yang tidak boleh dilewatkan.
#2 Mi Ayam Tunggal Rasa
Jika Tumini menganut paham Wonogiri garis keras, Mi Ayam Tunggal Rasa menganut paham Wonogiri progresif. Ia terletak di Jalan Unggaran, Kota Baru ini bahkan punya lebih dari 20 variasi mi. Beberapa konsep baru yang ditemukan Tunggal Rasa adalah mi ayam hijau dan mangkok pangsit. Menu pertama adalah mi ayam biasa cuma minya berwarna hijau dari pewarnaan menggunakan daun sawi. Sedangkan menu kedua adalah mi ayam disajikan dalam mangkok pangsit goreng.
Menurut saya, ia cukup memuaskan terutama menu variasi unik hasil eksperimen si mas-mas penjualnya. Katanya, mi di tempat ini dibuat sendiri sehingga terasa lebih kenyal. Cuma keuntungan utama makan di sini adalah keberadaan toples acar timun dan daun bawang cuma-cuma pada setiap meja. Bagi kalian pecinta daun bawang dan jomblo, jadi nggak masalah dengan mulut bau, inilah warung yang tepat buat Anda.
#3 Mi Ayam Palembang Afui
Untuk catatan saya sudah ogah berdebat mana mi, mana yammi. Jadi saya cuma ikutin identifikasi pedagang mi ayamnya sendiri, apakah dia masuk golongan mi atau yammi. Lagipula di tempat asal saya, semua yang warnanya kuning keputih-putihan dan panjang itu disebut mi. Kalau bentuknya pipih baru dibilang kwetiau dan kalau tipis banget kaya serabut, itu namanya bihun. Jadi mau kuah pisah atau kuah campur, tetap aja dibilang mi.
Lantaran Afui mengikuti pakem asal luar pulau, yaitu Palembang, makanya mereka menyatakan diri sebagai mi ayam. Walaupun teologi kuah pisah mungkin membuat sebagian warga Yogyakarta nggak setuju dengan klasifikasi ini. Satu hal yang semua orang setuju, mi di sini murah meriah dan kenyangin. Kamu bayangin, dengan harga 14 ribu saja, kamu bisa dapat porsi super dengan besar setengah baskom air (saya nggak bercanda).
Kadang kalau saya lagi bokek dan berencana makan sekali saja hari ini, Afui jadi pilihan nomor satu. Belum lagi cabang Afui memang sengaja dibuka dekat dengan kampus seperti di Babarsari dekat Atma Jaya atau Jakal Bawah dekat UGM. Baik segi harga dan jarak lokasi, Afui memang paling top buat mahasiswa.
Namun jangan salah, mi ayam di Afui menurut saya salah satu favorit saya dari segi rasa di Yogyakarta. Cuma saya sarankan pesan porsi kecil saja dan maksimal mini jumbo. Makin gede porsinya, makin nggak merata adukan bumbu di mi ayamnya. Maklum, ngaduk mi porsi segede gitu pakai sumpit juga bisa bikin saya capek. Kalau kurang bumbu, bisa minta kecap asin sama mas-masnya karena mi di sini condong lebih berbumbu gurih asin.
Babak Tambahan: Mi Ayam Bangka Pak Harun
Kebetulan saya memang dari kecil diajak sama orang tua makan mi ayam gaya Tionghoa seperti rasanya gurih asin, kuah pisah, dan pilihan sayurnya lebih dari sekedar sawi. Akibat saya sempat ngidam mau makan mi ayam khas Bangka seperti di dekat rumah ortu saya, akhirnya saya menemukan warung Pak Harun di Jalan HOS Cokroaminoto.
Perbedaan utama dari mi ayam Bangka selain rasa dan penyajian kuahnya, adalah keberadaan toge segar di dalamnya. Mungkin ini dianggap aneh buat warga asli Yogyakarta. Akan tetapi, buat kalian yang belum pernah rasakan, saya sarankan cobain dulu sebelum menilai.
Kalau penjual mi ayam Bangkanya bagus seperti di Pak Harun, semua sayurnya dari sawi hingga toge tetap bakalan krenyes waktu digigit bersama mi yang kenyal. Tekstur unik dari mi ayam Bangka membuat saya rela mempertahankan mati-matian akan hak toge untuk tetap eksis di dalam mangkuk mi ayam kita.
Kita bisa berdebat panjang lebar kalau mau bicara mi. Apalagi kalau orang pendatang sudah debat soal beda mi dan yammi dengan warga asli Yogyakarta. Bisa membuat acara santap kudapan kenyal ini jadi runyam. Jadi apa pun pakem yang ada anggap terbaik, ingat bahwa kita semua menyantap makanan sama dengan kalori super tinggi. Berbeda-beda tetapi tetap diabetes juga.
BACA JUGA Pemburu Mie Ayam Sejati Tidak Akan Pilih-pilih Soal Mie Ayam dan tulisan lainnya dari Raynal Arrung Bua.