Sebulan yang lalu aku membaca novel “Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur!” karya Muhidin M. Dahlan judulnya sangat kontroversial sekali menurutku membuat nafsu bacaku bertambah. Sumpah aku sampai kalap dengan hanya beberapa hari saja aku bisa habis membacanya. Menurutku pribadi, apa yang disuguhkan Muhidin M. Dahlan dalam karyanya itu sangat mengena padaku yang dulu juga pernah mengikuti organisasi keagamaan di kampus. Diksi yang digunakan juga bagus, wah-wah pokoknya. Sebuah paragraf di novel itu aku kutip dan kujadikan instastory dengan foto pemandangan malam.
“Akulah perempuan yang terlempar yang terhempas dari arus besar kehidupan Jemaah yang sedang giat-giatnya dan tengah berlomba untuk menciptakan sebuah kehidupan baru yang dilingkari cincin firman. Tapi aku tidak setegar Hawa yang biarpun dikelilingi kesunyian abadi, ia tetap tegak di puncak-puncak bukit dan badai dan tetap tegar menantang dengan riak-riak doa yang tersisa…”
Lalu tak lupa kusematkan di bawah tulisan itu, [Novel] Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!—Muhidin M. Dahlan. Dari sinilah mulai timbul konflik.
Tengah malam membuka IG, membaca DM dari seorang teman. Hatiku tersentak—ceileeh~
Yang jadi masalah adalah saat kutulis judul dan nama pengarang novel itu. Temanku itu menyatakan ketidaksukaannya. Kebetulan aku mengikuti unit kegiatan mahasiswa penulis yang menurut sebagian besar teman-teman selingkup fakultasku adalah sekumpulan orang yang suka bersastra-sastra ria. Kembali ke seorang teman yang DM, dia membawa-bawa nama sastra yang kotor atas ketidaksetujuannya terhadaap judul yang membawa kontroversi itu kemudian membawa-bawa nama UKMku dan menyangkut-pautkan diriku yang ikut UKM tersebut. Sejatinya, aku tahu dia khawatir tentangku mengingat diriku yang mulai berani dalam berbicara, berkata “tidak”, menolak, dan pemberontak di kelas maupun saat bersama dengan teman yang lain semenjak aku ikut unit kegiatan mahasiswa.
Dia dan orang-orang pikir bergabung di UKM mengubahku dari diriku yang alim, pendiam, penurut, dan diriku yang menurut mereka baik-baik lainnya menjadi diriku yang alum, suka berbicara, pembangkang, dan diriku yang menurut mereka jelek-jelek lainnya. Padahal aku tidak tahu, di mana titik diriku menjadi alum. Ketika sholat 5 waktu masih kukerjakan, mengaji juga, pun ibadah-ibadah lainnya, aku tidak meninggalkan. Eits, jadi riya` neh.
Aku tidak tahu, dimana titik diriku suka berbicara. Bukankah aku juga harus membalas obrolan mereka saat mengajakku berbincang, aku juga harus menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka saat bertanya padaku, dan aku akan menasehati mereka saat mereka memintanya. Aku juga tidak tahu, dimana titik diriku pembangkang. Tentu saja aku tidak setuju saat itu memang tidak cocok dengan prinsipku, aku juga akan berontak dan marah dengan elegan—sebentar, marah dengan elegan itu gimana yak?—saat mereka punya segudang rencana-rencana kemudian membatalkannya. Tidak ada yang berubah pada diriku. Aku hanya lebih berani dan percaya diri.
Tepat dua bulan setelah itu, aku kembali ke perantauan guna bangun dari liburan dan menghadapi kenyataan bahwa masuk kuliah akan tiba. Kejadiannya masih kemarin lusa, aku pergi ke kedai kopi bersama teman-temanku. Di sana terdapat novel dan buku lainnya yang berjejer rapi. Seorang teman dekatku alias pacar menyodorkan Konspirasi Alam Semesta—Fiersa Besari yang menjadi favorit kami berdua dan Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur—Muhidin M. Dahlan padaku. Dia tahu aku sudah tamat membaca dua novel itu, tapi ya kuterima saja dan malah aku baca halaman terakhir karya Muhidin M. Dahlan.
Berdampingan dengan kopi dan rokok milik teman-temanku serta secangkir cokelat panas milikku, kufoto novel Muhidin dan kujadikan story WhatsApp. Hujatan langsung menghujaniku. Aku mendapat beberapa reply personal chat dari beberapa teman sekelas di perkuliahan. Inti pesannya sama, mereka terkejut kemudian mengatai-ngataiku. OMG! Mereka jadi salah paham dengan judul novel itu dan merujuk pada memerintahku untuk bertaubat. Aku jadi tertawa sekaligus membatin dibuatnya. Mereka berpikir buku itu berisi doktrin, harapan, dan kiat-kiat sukses menjadi pelacur. Alamak!
Secara singkat karena lewat chat, aku menjelaskan bahwa buku itu sangat bagus dan isinya bukan seperti yang ada dalam bayangan mereka. Aku juga mengajak mereka untuk baca buku tersebut atau minimal search di Google gimana sekilas isi buku itu. Baca sinopsisnya gitulah dan juga karena teman-temanku itu religius, aku bilang kalau buku itu ada unsur agamanya. Akan tetapi rata-rata dari mereka mengelak dan malah bilang, “nggak—aku nggak mau baca”, “nggak—aku nggak mau baca buku agama-agamaan”. Aku tepuk jidat. Lah pegimana urusannya ini yak?
Ini gimana ya? Yang digadang-gadang Agent of Change kok malah jadi mempersempit pengetahuannya. Kalau Agent of Changenya punya bibit-bibit pemikiran sempit seperti ini, mungkin kasus razia dan penyitaan buku di Probolinggo yang dilakukan oleh Polisi pada Komunitas Vespa Literasi akan terulang lagi di masa depan.
Nggak sih, bukan mau nyalahin pihak yang merazia dan menyita tapi bagaimana ya razia buku yang terjadi di Probolinggo tak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Hanya saja mungkin karena masyarakat kita yang masih punya pandangan sempit, belum membuka pengetahuan sehingga ada pihak yang merasa memiliki kewajiban menyeleksi pemikiran-pemikiran tertentu. Di luar karena suka Bung Fiersa, aku setuju dengan instastory yang berbunyi, “Yang bahaya itu bukan bukunya, tapi orang yang baca bukunya setengah-setengah lalu bertingkah sok tahu. Lebih parah lagi: tidak membaca tapi takut pada buku. Atau mau begini saja? Sorong ke kanan tanpa pernah mau tahu lagi apa yang terjadi di kiri?”
Intinya, ya bukan bukunya yang bahaya. Kalian boleh baca buku apapun, kalian suka baca buku apa aja nggak masalah, itu hak kalian. Yang masalah itu yang menyalah-nyalahkan, mengata-ngatai, bahkan sampai merazia buku kalian apalagi kalau mereka belum baca buku yang kalian baca. Suruhlah mereka baca bukumu dulu kemudian dikaji bersama. Sebuah buku bisa jadi menghasilkan dua atau lebih pandangan yang berbeda setelah dibaca oleh orang yang berbeda. Wajarlah, setiap orang punya cara pikir dan pandangannya masing-masing maka dari itu perlu kajian buku bareng-bareng, perlu diskusi terbuka, perlu edukasi sosial, dan juga pendidikan sosial terus di sana biar tukar pandangan deh dan bisa ditemuin apa yang baik dan buruk kemudian diperbaiki bersama. Bukan malah dilarang, dikata-katain, apalagi di razia.