Saya baru menyadari bahwa ternyata meminta bantuan itu boleh dilakukan oleh orang yang sedang mengalami kesulitan—orang itu bisa saja kaya ataupun miskin. Hal ini terdengar aneh karena selama ini saya menganggap orang yang terlihat kaya seharusnya tidak meminta bantuan. Dulu saya pikir orang kaya bisa menyelesaikan masalah dengan harta yang dimilikinya. Lupakan dulu tentang miskin-kaya dan kepantasannya menggalang bantuan alias sumbangan. Saya hanya ingin berbagi pemikiran tentang apa yang selama ini mengganggu pikiran saya.
Kamu mungkin sudah mendengar tentang Kay Jessica, seorang mahasiswi Universitas Oxford yang menggalang dana untuk membiayai studinya disana. Kay berhasil menggalang dana sebesar Rp181.734.969,00 melalui kitabisa.com. Jumlah tersebut melampaui target yang telah ditentukannya yakni Rp178.576.669,00. Ia juga menggalang dana lewat gofundme.com dengan meraup pound sterling sebesar £770 dari target yang telah ia tentukan sebesar £9,500. Kedua kampanye penggalangan dana itu saat ini telah ditutup dalam menerima bantuan.
Hal yang dilakukan Kay tersebut telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan warganet—terutama di Twitter. Ada yang mendukung kampanye galang dana tersebut ada yang tidak. Saya tidak mengikuti perdebatan itu dan lebih memilih untuk mengamati langsung laman kampanyenya.
Saya heran mengapa Kay bisa mengumpulkan donasi dalam waktu yang relatif singkat. Menurut saya kampanye tersebut mampu mencapai target lebih cepat jika dibandingkan dengan galang dana sejenis untuk bencana alam atau pengobatan orang sakit—sebagai catatan kedua kampanye itu sering muncul di kitabisa.com.
Saya mengakses laman kampanyenya di kitabisa.com pada tanggal 14 Mei 2019—tercatat kampanye dimulai tanggal 6 Mei 2019. Hal itu menunjukkan bahwa Kay berhasil mengumpulkan dana hampir dua ratus juta dalam waktu sekitar seminggu saja. Padahal disana tercatat angka nol pada tombol shares pada Facebook. Hal ini membuat saya menjadi bingung.
Berdasarkan liputan vice.com Indonesia yang berjudul “Sorotan Crowdfunding Lanjut S2 Sejatinya Debat Soal Ketimpangan Pendidikan di Indonesia” pada tanggal 11 Mei 2019—kampanye itu mulai ramai setelah disuarakan influencer Gustika Jusuf-Hatta. Pengangkatan isu ini ke ranah publik tentu menimbulkan banyak atensi pada kampanye yang dilakukan oleh Kay. Kemungkinan banyak donatur yang tergerak membantu Kay karena mengetahui kampanye tersebut lewat cuitanya Gustika. Selain itu Kay memiliki latar belakang Fakultas Hukum UGM yang dikenal memiliki alumni yang solid sehingga kemungkinan bantuan datang juga dari koleganya. Ia juga mencantumkan surel di kampanyenya—ada kemungkinan lain ia mendapatkan bantuan di luar kitabisa.com.
Sulit mencari tahu mengapa kampanye ini mencapai target relatif lebih cepat karena banyak akun donatur yang anonim. Saya tidak bisa memastikan apakah donatur datang dari followers-nya Gustika, alumni Fakultas Hukum UGM, atau lainnya. Namun yang bisa dipastikan adalah adanya kepercayaan donatur kepada Kay. Kampanye itu tidak akan terpenuhi targetnya jika tidak ada kepercayaan dari pemberi bantuan. Kepercayaan tersebut nyatanya tidak terpengaruh oleh pendapat warganet yang kontra terhadap kampanye ini.
Membahas tentang kepercayaan tersebut, saya jadi ingat dengan sebuah kasus tentang penggalangan dana yang dilakukan oleh Cak Budi pada tahun 2017. Ia adalah seorang penggalang dana yang aktif di Instagram dengan akun @cakbudi_.
Seharusnya dana yang terkumpul digunakan untuk kegiatan sosial tetapi justru ia gunakan untuk membeli mobil Fortuber dan iPhone. Bisa saja kasus ini dibawa ke meja hijau karena merupakan tindakan korupsi—namun yang terjadi hanyalah sebuah klarifikasi, permintaan maaf, dan penjualan aset tersebut untuk didonasikan kembali. Mengapa sampai saat ini masih banyak donatur yang percaya kepada Cak Budi?
Kitabisa.com telah memasukkan akun Cak Budi ke daftar hitam sehingga ia tidak bisa menggalang dana lagi di sana. Dalam klarifikasi yang tercantum pada laman kampanye penggalangan dana milik Cak Budi, penyalahgunaan dana tersebut diambil dari donasi yang diterima melalui rekening pribadinya. Hal ini justru mempertajam pertanyaan di atas—mengapa para donatur masih percaya? Apakah karena kitabisa.com dan Cak Budi telah mengalihkan dana yang terkumpul kepada Lembaga Aksi Cepat Tanggap? Seperti yang dijelaskan pula pada klarifikasi tersebut.
Dalam catatan saya, selama ini kontroversi mengenai penggalangan dana terutama yang bersangkut-paut dengan kitabisa.com baru dilakukan oleh kedua orang diatas. Catatan saya bisa saja salah—karena mungkin ada lebih banyak orang yang melakukannya—hanya saja saya tidak memiliki bukti untuk mengungkapkannya.
Dalam rangka memupuk semangat anti korupsi seharusnya kita memiliki instrumen yang komprehensif untuk memastikan dana bantuan tidak disalahgunakan. Siapa yang tahu seandainya dana yang dikumpulkan oleh Kay Jesicca tidak benar-benar digunakan untuk membiayai kuliahnya?
Kitabisa.com memang diaudit oleh Kantor Akuntan Publik—seperti dijelaskan pada situsnya. Namun siapa yang mengaudit akun para penggalang dana di dalamnya? Belum ada penjelasan yang pasti. Hal ini membuka peluang penyalahgunaan dana bantuan seperti yang dilakukan oleh Cak Budi.
Perlukah kita mengawasi penggunaan dana sumbangan? Tentu tidak perlu jika kita adalah masyarakat yang dewasa. Seperti yang kita ketahui, kenyataan yang harus kita hadapi adalah negara ini memiliki masyarakat yang rentan melakukan korupsi. Kedewasaan yang dimaksud yaitu berlaku jujur dengan menampilkan transparansi penggunaan dana bantuan. Hal ini terdengar klise akan tetapi memang itulah yang kita butuhkan untuk melawan korupsi.
Sebenarnya negara kita telah memiliki hukum untuk mengatur penggalangan dana yakni Undang-Undang RI nomor 9 tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang dan Peraturan Pemerintah nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut para penggalang bantuan harus memiliki izin dari pejabat yang berwenang kecuali yang diwajibakan oleh hukum agama, adat, atau yang diselenggarakan dalam lingkungan terbatas. Izin tersebut hanya diberikan kepada perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan.
Terkait dengan transparansi penggunaan dana sumbangan—dalam peraturan itu disebutkan bahwa pemegang izin atau penyelenggara pengumpulan sumbangan, wajib mempertanggungjawabkan usahanya serta penggunaannya kepada pemberi izin. Di sisi lain pejabat yang berwenang harus melakukan usaha penertiban dalam pengumpulan sumbangan.
Tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, Cak Budi saat ini aktif menggalang dana bersama Suisba seperti yang sering ia sebut pada unggahan di akun Instagramnya. Suisba yang dimaksud kemungkinan besar adalah Yayasan Suisba Peduli yang telah terdaftar di Kemenkumham. Pada laman Dirjen Administrasi Umum Kemenkumham, Yayasan Suisba Peduli terdaftar dengan keterangan domisili tidak lengkap. Untuk melihat profil lengkapnya kita harus mengajukan permohonan kepada Kemenkumham.
Jika masih tidak yakin dana sumbangan yang dikumpulkan oleh Cak Budi melalui Suisba tidak digunakan untuk membeli barang mewah lagi, kita bisa menanyakan penggunaannya kepada Menteri Sosial. Karena berdasarkan peraturan diatas, penyelenggara pengumpul sumbangan mendapat izin dari pejabat berwenang tergantung jangkauan wilayahnya. Dalam hal ini, jika diperhatikan dari akun Instagramnya Cak Budi menggalang dana dari para donatur secara nasional. Oleh karena itu pemberi izin dan pengawasnya ada di tingkat Menteri Sosial atau pejabat di Kementerian Sosial.
Hal itu tentu menyulitkan untuk mengetahui penggunaan dana sumbangannya karena kita harus melewati birokrasi yang panjang. Transparansi penggunaan dana sumbangan sebenarnya bisa dilakukan di media informasi yang dimiliki. Namun saya tidak menemukannya di akun Instagram Cak Budi @cakbudi_, Suisba @suisba_peduli, dan laman suisbapeduli.com.
Bagaimana dengan Kay Jessica? Siapakah yang harus melaporkan penggunaan dana sumbangannya? Apakah dirinya sendiri atau kitabisa.com? Kalau Kay yang melaporkan apakah ia diberi izin untuk menggalang dana oleh pejabat yang berwengang? Kalau kitabisa.com yang melaporkan—apakah itu berarti mereka harus melapporkan ribuan penggalang dana yang telah membuat akun disana? Hal-hal semacam ini belum diatur di dalam peraturan-peraturan di atas.
Soal kepantasan tentang siapa yang boleh menggalang dana tampaknya akan selalu menjadi perdebatan. Apalagi etika kepantasan yang dulu masih dijunjung tinggi di masyarakat, kini sudah tidak relevan lagi karena adanya post truth. Ada hal yang lebih penting di tengah bahaya korupsi di negara kita.
Selain dua contoh peluang terjadinya korupsi diatas, tidak jarang kita mendengar korupsi dana bantuan bencana alam. Alangkah lebih baik jika kita memiliki instrumen yang komprehensif terutama terkait transparansi penggunaan dana sumbangan.
Referensi
Laman Penggalangan Dana Kay Jessica di kitabisa.com : https://www.kitabisa.com/bantukaygelaroxford
Laman Penggalangan Dana Kay Jessica di gofundme.com : https://www.gofundme.com/remaining-tuition-fee-at-oxford-university
Laman Penggalangan Dana Cak Budi di kitabisa.com : https://www.kitabisa.com/cakbudi
Akun Instagram Cak Budi : https://www.instagram.com/cakbudi_/
Akun Instagram Suisba : https://www.instagram.com/suisba_peduli/
Laman Suisba : https://suisbapeduli.com/
Suisba di Dirjen Ahu Kemenkumham : https://ahu.go.id/profil-pt/cari?tipe=yayasan&nama=suisba
UU nomor 9 tahun 1961 : https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/26333/node/686/uu-no-9-tahun-1961-pengumpulan-uang-atau-barang
PP nomor 29 tahun 1980 : https://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/3156/PP0291980.htm
Sorotan Crowdfunding, vice.com :