Ada satu ekor anak kucing yang biasa tidur di garasi rumah saya. Warnanya dominan hitam. Bagian bawah badannya putih. Di hidungnya ada corak putih. Anak kucing itu liar. Datang begitu aja tanpa induknya. Karena kasihan, saya membelikan 800 gram makanan kering. Jadi tiap subuh, siang, sore, dan malam, anak kucing itu akan mengeong di depan pintu rumah buat minta makan.
Pernah suatu hari si anak kucing itu masuk ke rumah tetangga. Karena tetangga saya itu nggak suka kucing, dipukullah anak kucing itu pakai sapu sampai keluar rumah. Kemudian saya yang diributkan sama tetangga itu, katanya peliharaan saya udah masuk ke rumah dia sembarangan.
Sejak kejadian itu kuping saya panas karena jadi bahan omongan tetangga. Apa lagi istri saya yang saban hari ada di rumah, pastinya lebih kepanasan. Males aja sih, kejadian anak kucing masuk rumahnya cuma sekali, diomonginnya berminggu-minggu. Udah kayak maling yang jadi bulan-bulanan warga aja.
Akhirnya saya dan istri ingin mengungsikan kucing ini. Nggak mungkin anak kucing ini saya buang. Kasihan, dia belum bisa nyari makan layaknya kucing-kucing dewasa. Mau nggak mau, saya berpikir akan mengungsikan anak kucing ini ke rumah orang tua saya.
Tapi ada satu masalah. Emak saya nggak suka kucing.
Saya harus coba bicarakan ini. Saya nggak tega anak kucing ini saya lepas liar begitu aja. Saya telepon Bapak dan menceritakan duduk perkaranya.
“Gimana, Pak?” tanya saya penuh harap.
“Ya tanya emakmu. Bapak sih oke aja,” sahut Bapak dari seberang telepon.
“Ya udah, nanti saya telepon Emak, Pak.”
“Iya. Kamu kan tahu sendiri emak nggak suka kucing.”
Saya paham betul, sejak saya masih TK, emak nggak suka banget sama kucing. Pasalnya emak pernah marah-marah gara-gara ada kucing liar beol di atas kasur.
Saya pun memberanikan diri. Berdiskusi sama emak lewat telepon. Menceritakan ulang kronologinya. Obrolan agak alot. Emak sempat terdiam di telepon. Saya juga diam. Saya yakin emak sedang merasakan kekesalan seperti apa yang tetangga saya itu rasakan. Akhirnya satu kata yang saya harapkan terdengar juga: boleh.
Detik itu tanpa menunda-nunda, saya mencari sebuah kardus buat mengangkut anak kucing ini ke rumah orang tua saya. Maklum, saat itu saya belum punya pet cargo. Tentu saja kardusnya saya bolong-bolongin lebih dahulu sebagai lubang udara. Setibanya di rumah, Bapak menyambut dengan gembira. Sementara Emak, dia cuma diam. Nggak tertarik.
Ya sudahlah, saya nggak ambil pusing. Yang penting tetangga saya itu jadi diam, kuping saya adem, dan si anak kucing bisa selamat. Ketika saya udah kembali ke rumah saya, sejujurnya ada rasa khawatir. Duh, anak kucingnya dikasih makan nggak ya. Duh, hilang nggak ya. Duh, digalakin sama kucing liar di sana nggak ya. Dan duh-duh lainnya yang bikin saya nggak tenang.
Saya coba kirim pesan WA ke Emak. Dibalasnya lama. Saya coba WA Bapak. Jawabannya cuma satu kata: aman. Setelah berjam-jam, Emak balas WA saya. Jawabannya juga sama: Aman. Satu minggu kemudian, saya dan istri pulang lagi ke rumah orang tua buat menengok kondisi si anak kucing itu seraya mengobati rasa kekhawatiran ini. Syukur alhamdulillah, benar-benar aman.
Tapi ada hal yang aneh di mata saya sedang terjadi. Emak saya berubah. Kini emak saya dan anak kucing itu sangat dekat. Emak mau menggendong anak kucing itu, memberi makan, bahkan memberinya nama: Geri. Katanya, itu adalah nama panggilan sayang Emak ke anak kucing itu. Kamu mau tahu nama lengkapnya? Geri Maulana!
Ya, Tuhan… kenapa harus ada “Maulana”-nya, sih?
Sekarang saya benar-benar tenang. Dry food yang saya bawakan juga bisa dimakan dengan lahap. Tiba-tiba, ada penjual ikan asin lewat di depan rumah. Dengan tiba-tiba juga Emak berlari dari dapur ke ruang depan lalu berkata, “Geri mau jajan ikan asin?”
Si Geri menyahut, “Meong….”
“Oh, ya udah kalo nggak,” kata emak saya.
Apa?! Jajan?! Ya, Tuhan… jajan katanya! Apa saya nggak salah denger. Anak kucing ditawari jajan, anaknya sendiri nggak. Belum aja nih si Geri dibeliin mobil-mobilan.
Bapak bilang, si Geri itu nggak suka ikan asin. Entahlah, mungkin karena ada garamnya. Soalnya tempo hari dikasih potongan ayam balado, Geri nggak mau makan. Dia lebih suka ikan atau ayam goreng tanpa bumbu. Akhirnya dikasih bagian tengah seekor ikan mujair dari Emak. Dimakan dengan lahap. Habis. Sementara bapak saya cuma dapat bagian ekor dan kepalanya. Tapi untungnya, masih ada dua ekor ikan lagi di balik tutup saji. Besar harapan Bapak, ikan itu adalah jatahnya.
Si Geri ini hobi banget main di rumput depan rumah. Ketika langkah kakinya udah mulai menjauh dari rumah, Emak bakal memanggilnya: “Geri….” Sekali lagi: “Geri….” Geri pun berlari menghampiri Emak. Emak kembali menyahut, “Sini, Ganteng. Sini. Jangan jauh-jauh mainnya.”
Awal tahun 2020 ini, curah hujan cukup tinggi. Akibatnya luapan Kali Bekasi dan Kali CBL yang melintasi kampung rumah orang tua saya meluap. Banjir nggak bisa terhindari. Rumah orang tua saya terendam. Hal yang pertama kali Emak lakukan adalah menggendong Geri pakai kain batik layaknya menggendong seorang bayi. Habis itu baru menyelamatkan barang-barang.
Di pengungsian, emak saya juga cuek. Nggak peduli apa kata orang terhadap dirinya yang mengungsi sambil menggendong-gendong Geri si anak kucing sementara pengungsi yang lain sibuk mengurus anak-anaknya.
Bulan Juli lalu saya dan istri mengajak Bapak dan Emak menengok kakaknya bapak, bude saya, yang sedang sakit di Pemalang. Sayangnya, Geri nggak bisa ikut di dalam mobil. Emak galau sejadi-jadinya. Maunya Emak, Geri tuh kalau bisa ikut aja di dalam mobil. Tapi akhirnya Geri dititipkan di pet shop.
Tiga hari yang lalu, saya jatuh sakit. Badan saya berasa pegal linu. Saya pikir saya harus diurut sama Bang Wandi, teman Emak yang tinggal di depan rumah saya. Kemudian saya menelepon emak buat booking Bang Wandi. Eh, ternyata saya malah mendapat kabar yang menyedihkan. Geri hilang sudah dua hari.
Lagi-lagi emak saya galau sejadi-jadinya. Selera makan beliau hilang. Bapak sudah berusaha mencari Geri ke penjuru kampung. Emak saya juga demikian. Emak dan Bapak mencari dengan cara berpencar. Foto-foto Geri sudah dijadikan status WA Emak dan Bapak. Juga diunggah di grup WA ibu-ibu PKK.
Tetangga, anak-anak kecil, teman-teman Emak, semua yang pernah bertemu Geri juga siap memantau kalau-kalau di sekitar rumahnya tampak sosok Geri. Tapi dua hari berlalu hasilnya nihil. Emak nggak bisa tidur saban malam. Emak menangis dalam doa. Berharap Geri cepat pulang.
Sementara itu saya yang sedang menuju perjalanan pulang ke rumah Emak, diselimuti rasa kehilangan atas Geri yang udah dua hari belum pulang. Sampai ketika saya masuk jalan perkampungan, saya pelankan kendaraan. Kali-kali melihat sosok Geri di pinggir jalan.
Sesampainya saya di rumah, Emak tampak nggak bersemangat. Bapak juga udah putus asa. Istri saya coba menenangkan hati beliau: Semoga aja Geri ditemukan oleh orang yang juga sayang sama Geri. Dirawat, dijaga, dan diperlakukan dengan baik sebagaimana Emak memberi kasih sayang kepada Geri.
Belum sampai saya dan istri masuk ke rumah, entah dari mana datangnya, Geri terlihat. Geri berlari ke arah rumah. Bapak menyambut gembira. Muka Emak seketika semringah. Bapak membuka kedua tangannya lalu berjongkok. Geri meloncat ke pelukan bapak. Emak menghampiri Bapak lalu mengelus badan Geri. Tetangga sorak-sorai, ramai melihat kepulangan Geri.
Emak dan Bapak saling bergantian menggendong Geri. Seolah sedang melepas kerinduan kepada anaknya yang merantau jauh dan baru bisa pulang hari ini. Ah, momen ini sangat terasa hangat di dada saya. Emak saya dulu benci kucing, sekarang jadi penyayang kucing. Lebih dari itu, sudah menganggap bagian dari keluarga.
Ah, Geri Maulana…
BACA JUGA Harapan vs Kenyataan Memanjakan Kucing yang Seringnya Pahit dan tulisan Allan Maullana lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.