Sembrono, mungkin itulah istilah yang pas untuk menggambarkan tindakan para Pembina Pramuka SMPN 1 Turi, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarata. Dilansir dari Jawa pos, Sabtu (23/02) korban meninggal dipastikan berjumlah 10 anak dari 257 siswa yang mengikuti kegiatan susur sungai Sempor, Pedukuhan Donotirto pada Jumat (21/02), dua hari sebelumnya.
Dari pemberitaan yang beredar di sejumlah media, sebenarnya warga setempat sempat memperingatkan Pembina Pramuka agar mengurungkan niatnya untuk turun ke sungai. Tapi apa mau dikata, wanti-wanti dari warga justru tidak diindahkan sama sekali. Padahal, warga sudah memperkirakan air sungai sebentar lagi akan meluap, mengingat wilayah utara sungai sudah diguyur hujan. Peringatan dari warga malah ditanggapi dengan pernyataan enteng oleh salah seorang Pembina: “Mati itu di tangan Tuhan.”
Ya benar juga, sih, mati itu gimana-gimana ya tetap ketetapan Tuhan. Nggak ada yang salah dengan pernyataan Kakak Pembina. Tapi biar begitu, bukan berarti membuat kita mengabaikan standar keamanan demi menghindari atau paling tidak meminimalisir potensi terjadinya kecelakaan. Bukan malah menantang maut.
Apakah Pramuka memang selalu sekonyol dan sesembrono itu? Tapi saya kira, yang demikian itu nggak termasuk cita-cita Robert Boden Powell saat kali pertama menemukan ide tentang Pramuka. Harusnya dengan nalar sederhana saja Kakak Pembina SMPN 1 Turi sudah bisa mengira-ngira kalau kondisi sungai di musim hujan seperti ini sedang tidak aman. Lebih-lebih setelah warga ngasih peringatan. Kegiatan susur sungai bisa saja dialihkan untuk jenis kegiatan lain, susur desa saja misalnya. Atau kalau memaksakan diri untuk tetap susur sungai, harusya Kakak Pembina sudah menyediakan proteksi khusus untuk mencegah kemungkinan terjadinya hal-hal di luar rencana. Sayang sekali, Kakak Pembina belum sempat berpikir sejauh itu.
Saya suka kegiatan Pramuka, meski kegiatan yang pernah saya ikuti hanya terhitung tidak lebih dari sepuluh jari. Tapi jujur saja, dari hasil pengamatan, saya menemukan catatan-catatan konyol dan nirfaedah yang membuat saya tidak kalah jengkelnya dengan Agus Mulyadi terhadap kegiatan tersebut.
Agus Mulyadi—eks Pemred Mojok—pernah mengunggah dalam status Facebook-nya tentang pengalaman Pramuka yang pernah dia ikuti. Dalam satu kesempatan dia pernah diperintah oleh Kakak Pembina untuk mencium tanah.
“Kamu cinta tanah air nggak?!” bentak Kakak Pembina.
“Cinta, Kaaaakkk,” jawab Agus seperti dalam unggahan.
“Cium tanah, sekarang!” Instruksi yang kemudian membuat Agus menyimpulkan: Pramuka nggak bikin pinter, malah bikin orang jadi goblok secara massal. Sekarang coba logika saja, apa hubungannya cinta tanah air dengan mencium tanah? Di tangan Kakak Pembina-nya Agus, ekspresi cinta tanah air bisa jadi sereceh itu. Padahal ada banyak cara untuk menanamkan rasa cinta tanah air kepada anak-anak. Misalnya, dari hal paling sederhana: membiasakan anak-anak membuang sampah pada tempatnya.
Saya sendiri juga punya cerita konyol tentang Pramuka di SMA saya dulu. Jadi suatu ketika anak-anak Pramuka sedang mengadakan kegiatan Laksana, jenjang lanjutan setelah kegiatan Bantara. Agar nanti lebih terasa survival-nya, mereka menentukan sebuah tempat di lereng gunung yang katanya sih terkenal angker. Warga sudah memperingati untuk sekadar uluk salam agar tidak terjadi gangguan supranatural selama kegiatan diselenggarakan.
Seperti umumnya senior Pramuka yang songong-songong, Kakak Pembina tidak begitu menggubris saran dari warga setempat. Mereka dengan sepelenya sesumbar kalau setan (makhluk gaib) itu tidak pernah ada. Setan itu hanya ilusi dan sugesti yang diciptakan manusia sendiri. Baik, kita lihat apa yang terjadi setelah mereka melontarkan kalimat provokatif bagi bangsa jin tersebut.
Benar saja, malam hari manakala anak-anak diarahkan untuk melakukan jelajah menyusuri rute yang sudah ditentukan, satu anak dikabarkan hilang dari rombongan. Semula Kakak Pembina beserta Pengurus yang lain menganggap si anak hanya tersesat. Tapi setelah mereka berpencar mencari di sudut-sudut area kemah, si anak tetap tidak ditemukan. Mereka pun menyerah. Pada akhirnya mereka meminta bantuan kepada salah satu guru di SMA saya yang kebetulan bisa berinteraksi dengan makhluk dunia lain.
Setelah dilakukan mediasi, Pak Guru mengonfirmasi bahwa memang si anak sedang disandera dulu di alam metafisis, sebagai ganjaran karena mereka telah masuk tanpa izin (tanpa uluk salam) dengan penghuni daerah tersebut. Si anak dijanjikan akan kembali sebelum subuh setelah melalui proses negosisasi.
Betapa bahaya nalar yang digunakan oleh Kakak Pembina soal ada atau tidaknya setan (makhluk gaib) terlebih bagi umat beragama. Dengan atau tanpa dalil pun secara naluriah kita pastinya tidak menafikkan keberadaan makhluk lain di luar dimensi kita. Katakanlah begini, dalam sains tercatat ada sekian miliar galaksi yang tersebar di alam semesta. Di galaksi kita sendiri—Galaksi Bima Sakti—terdapat sistem tata surya di mana bumi sebagai salah satu planetnya. Kalau meminjam istilah Gus Mus, di hadapan semesta ini bumi kita ibarat hanya sebutir kacang ijo, sangat kecil sekali.
Lalu bagaimana mungkin kita mau menafikkan kemungkinan adanya kehidupan lain di luar planet atau alam kita? Meskipun kita belum pernah mengalami persinggungan dengan alam lain secara empiris, tapi bukan berarti kita bisa begitu saja menyimpulkan kalau selain kita, nggak ada lagi yang lainnya. Ini nalar yang sungguh konyol.
Kalau dilihat dari sudut yang lebih ekstrem, nalar yang demikian bisa menjerumuskan anak-anak pada jurang kemurtadan, loh, kalau merujuk dalam tradisi ke-Islaman. Bagaimana tidak? Percaya atas adanya yang gaib kan termasuk dalam rukun iman?
Jika dilihat, kasus kecerobohan Pembina Pramuka di SMPN 1 Turi dengan di SMA saya konteksnya hampir sama. Pertama, ego yang berlebihan. Kedua, mengabaikan standar keamanan. Dan ketiga, tidak mengindahkan penuturan atau saran dari warga setempat.
Jangan sampai alasan yang ketiga itu lahir dari perspektif bahwa warga setempat mayoritas adalah warga tidak berpendidikan, maka apa yang dituturkan adalah argumen tidak beradasar, sehingga kita merasa sah-sah saja jika tidak mempertimbangkannya. Ini salah kaprah. Pendapat warga setempat bisa benar dan mungkin sangat berpotensi untuk salah. Tapi cobalah untuk sedikit membuang ego dan segala pengetahuan yang kita dapat di sekolah untuk ngajeni mereka.
Ada kalanya kita memang harus melepas identitas intelektual kita, seperti apa kata The Ancient One (gurunya Dr. Strenge); “Lepaskan semua yang kamu ketahui. Karena bisa jadi, apa yang kamu tahu hanyalah sebagian kecil dari pengetahuan itu sendiri.”
Tentunya masih banyak kekonyolan-kekonyolan dalam program Pramuka. Beberapa contohnya, makan nasi tanpa alas, artinya ya nasi ditaruh di atas rumput terus anak-anak disuruh makan dengan kondisi seperti itu. Ini urgensinya apa coba? Terlebih bagi kecerdasan motorik pada siswa, nggak ada sama sekali. Contoh lain seperti, satu permen diemut satu regu secara bergantian, berendam di lumpur dengan tujuan yang sampai saat ini saya belum tahu apa faedahnya, bahkan sampai tingkat yang paling ekstrem: harus gigit binatang mentah. Stop, dengan segala hormat saya sampaikan kepada kakak-kakak Pembina Pramuka: hentikan semua kekonyolan ini! Pramuka boleh, sembrono jangan.
BACA JUGA Alasan Saya Membenci Pramuka atau tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.