Sebagian besar dari kita mungkin sudah pernah membaca, mendengar atau bahkan berkunjung langsung ke Toraja. Toraja adalah daerah pegunungan di bagian utara provinsi Sulawesi Selatan. Orang-orang yang mendiami daerah ini kemudian disebut suku Toraja. Toraja sendiri berasal dari bahasa bugis “To Riaja” yang berarti orang yang berdiam di negeri atas. Hal ini selaras dengan letak Toraja yang ada di daerah atas (pegunungan). Untuk sampai ke Toraja, dibutuhkan waktu sekitar 6-8 jam dari Kota Makassar—ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan—melalui jalur darat.
Toraja dengan keunikan budaya upacara pemakamannya mampu menjadi daya tarik tersendiri. Tidak hanya di kalangan wisatawan lokal melainkan juga di kalangan wisatawan mancanegara. Upacara pemakaman atau upacara kematian yang dalam bahasa Toraja disebut rambu solo’ biasanya dilangsungkan selama 3-7 hari, bergantung pada kelas strata sosial kebangsawanan keluarga yang menggelar rambu solo’. Semakin tinggi kasta kebangsawanan seseorang, semakin lama rambu solo’ dilangsungkan. Hal ini juga berarti akan semakin banyak biaya dibutuhkan.
Berdasarkan fakta tersebut di atas maka tidak heran jika upacara rambu solo’ baru bisa diselenggarakan setelah beberapa hari, beberapa minggu, beberapa bulan, bahkan ada yang sampai butuh waktu beberapa tahun setelah seseorang dinyatakan meninggal. Hal ini disebabkan karena pihak keluarga terlebih dahulu harus mengumpulkan uang untuk bisa menyelenggarakan upacara rambu solo’. Selama jenazah orang yang sudah meninggal belum diupacarakan, selama itu pula ia masih dianggap hidup—tapi dalam keadaan sakit. Karena dianggap masih hidup, maka jenazah tersebut masih diperlakukan seperti biasa. Diberi makan, minum, dan diajak bicara.
Hal inilah yang kemudian membuat Toraja terasa sangat dekat dengan nuansa mistis. Tempat wisata berupa kuburan batu (gua), patane (bangunan menyerupai rumah yang digunakan untuk menyimpan peti jenazah) dan kuburan berbentuk pohon (khusus untuk bayi yang meninggal sebelum tumbuh gigi) yang ada di Toraja semakin menambah kuat kesan mistis dan membuat lokasi ini semakin terkenal dengan keunikannya.
Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya berbagai aspek kehidupan. Toraja juga ikut berbenah. Berbagai destinasi wisata yang menawarkan keindahan alam terus dikembangkan. Yang paling hits saat ini adalah sensasi seperti berada di atas awan yang bisa dijumpai di beberapa destinasi wisata. Selain itu, ada juga destinasi wisata yang menawarkan pemandangan yang begitu menakjubkan. Dia adalah Ollon, salah satu daerah di bagian Barat wilayah ini. Untuk sampai ke sana, kita harus melalui jalan yang cukup ekstrim— berpasir dan berbatu dengan jurang di sisi jalan. Meski butuh perjuangan yang tidak mudah tapi Ollon tetap saja ramai pengunjung. Hal yang cukup wajar memang jika mengingat keindahan alam yang akan tersaji di depan mata begitu sampai di lokasi.
Tapi tahukah kalian, selain keunikan adat dan budaya serta keindahan alamnya, Toraja masih punya satu harta karun yang istimewa. Hal itu adalah rasa toleransi antar umat beragama.
Dulunya, nenek moyang suku Toraja menganut agama atau kepercayaan Aluk Todolo. Keadaan ini baru berubah saat misionaris Belanda datang ke wilayah ini untuk menyebarkan agama Kristen. Dalam perkembangannya, masyarakat Toraja pun sebagian besar memeluk agama Kristen. Sisanya ada Katolik, Muslim (Islam), Hindu (tahun 1970 Aluk Todolo dimasukkan dalam sekte Hindu-Bali), dan Budha.
Jika beberapa waktu lalu sempat terjadi keributan antar sesama pemeluk agama di beberapa daerah di Indonesia,—yang disebabkan isu SARA— Toraja justru tidak terprovokasi sama sekali. Kehidupan masyarakat di sini tetap berjalan sebagaimana biasanya. Praktik hidup damai antar sesama pemeluk agama memang sudah berlangsung sejak lama dan masih terawat hingga kini.
Tidak jarang bahkan dalam satu rumpun keluarga diisi dengan beberapa agama yang berbeda. Meski demikian, hubungan kekeluargaan tetap terjalin erat. Perbedaan agama tidak lantas membuat satu dengan lainnya menjaga jarak atau sampai putus silaturahmi. Saat hari raya keagamaan tiba, semua ikut berbahagia meskti tidak ikut merayakan.
Saat upacara adat, baik itu upacara kematian (rambu solo’) maupun upacara kehidupan atau kebahagiaan (rambu tuka) semua anggota keluarga berkumpul tanpa memedulikan agama apa yang dianut oleh sang pemilik hajat. Ada pun hal yang membedakan adalah perihal makanan. Dalam upacara adat, sudah menjadi hukum tidak tertulis bagi masyarakat Toraja untuk memisahkan makanan antara umat muslim dan nonmuslim. Hal ini dilakukan bukan hanya sekadar untuk memberi rasa nyaman tapi juga untuk menghormati dan menghargai perbedaan yang ada.
Dalam lingkup yang lebih luas, toleransi antar umat beragama bisa dilihat dari pembangunan rumah ibadah. Masyarakat Toraja sangat terbuka akan hal ini. Itulah sebabnya di beberapa daerah di Toraja bisa dijumpai masjid dan gereja yang letaknya berdekatan namun tidak pernah menimbulkan keresahan sama sekali. Bahkan, di Toraja sendiri sudah lama berdiri sebuah pondok pesantren.
Pemandangan umat muslim yang ikut membantu menjaga keamanan demi kelancaran ibadah hari raya umat nonmuslim adalah pemandangan yang sering terjadi di Toraja. Begitu pula sebaliknya, saat umat muslim merayakan hari raya keagamaan atau agenda keagamaan, umat nonmuslim akan dengan senang hati ikut mengambil bagian.
Seperti yang baru-baru ini terjadi. Toraja yang sebagian besar penduduknya beragama Kristsen, ditunjuk menjadi tuan rumah penyelenggaran agenda acara keagamaan STQH (Seleksi Tilawatil Quran dan Hadist) tingkat Provinsi Sulawesi Selatan. Tercatat 70% panitia yang ada di dalamnya adalah mereka-mereka yang beragama Kristen dan Katolik. Tempat pelaksanaannya pun menggunakan fasilitas sejumlah gereja, seperti gedung Badan Pekerja Sinode (BPS) Gereja Toraja dan aula gereja Katolik Makale. Masyarakat umum pun menyambut acara ini dengan tangan terbuka. Tidak ada aksi protes atau kerusuhan yang terjadi.
Disadari atau tidak, berbagai hal yang dilakukan sebagai wujud dari sikap menerima perbedaan ini menjadikan Toraja layak dimasukkan sebagai tujuan daerah wisata toleransi yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, jika ingin melihat miniatur Indonesia yang menghargai perbedaan, jangan ragu ke Toraja.
Ayo ke Toraja!