Semakin bergulirnya waktu, tradisi-tradisi di daerah semakin raib begitu saja. Entah karena yang tua tidak berhasil mewariskan atau yang muda enggan menerima warisan. Dulu saat kecil, saya sering terbangun jam tiga pagi, lalu menonton tong tek dari kaca dalam rumah. Sedangkan orang tua menyiapkan makanan untuk sahur. Seru aja gitu, nontonin orang lagi main musik sambil nyanyi keliling kampung. Iya, nontonin doang~
Kalian pada kenal tong tek, nggak, sih? Salah satu tradisi di bulan Ramadan yang saya rindukan. Sebutan untuk tradisi ini di setiap daerah memang berbeda-beda. Di daerah saya saja ada yang menyebut tong tek, ada yang menyebut tek tek, ada juga tong-tong klek. Macam-macam, deh. Di sini saya menyebutnya, tong tek. Tong tek adalah tradisi membangunkan warga untuk bersiap-siap sahur dengan menggunakan alat kentongan dan printilan sederhana, seperti kaleng biskuit, galon, ataupun botol.
Konon, dulu tong tek berasal dari tradisi pesantren, yaitu piket santri membangunkan santri-santri dan ustaz-ustaz untuk bersegera makan sahur dengan memukul kentongan yang terbuat dari bambu.
Kegiatan ini biasanya diramaikan oleh anak-anak atau pemuda desa, dengan membunyikan alat-alat tersebut sambil bernyanyi atau bersalawat mengelilingi kampung di depan rumah-rumah warga. Terlihat sepele, juga kadang diremehkan oleh sebagian orang. Bahkan ada yang merasa terganggu, dengan dalih “pagi buta kok sudah berisik saja.”
Memang, kadang ada yang bikin ganggu, sih. Biasanya, anak-anak laki dalam rombongan juga menyalakan petasan (kalau di daerah saya, disebutnya “mercon”). Pastilah tidak jarang ada orang tua yang keluar rumah, lalu memarahi mereka.
Padahal kalau dipikir-pikir, nih, hal ini bisa menjadi ladang pahala dan nilai ibadah buat mereka. Pasalnya, mereka sudah membangunkan tetangga untuk melaksanakan sunah puasa. Kalau alarm kan masih bisa di-skip, dengan cara setengah sadar kita raih handphone lalu mematikannya. Eh tahu-tahu udah jam 4 mepet imsyak, terus yang disalahin alarm HP dikira error. Padahal mah, ya tangan dia sendiri.
Nah kalau ada tong tek, kita mau kesel pun, nggak mungkin setiap hari harus keluar rumah atau menyuruh mereka pulang. Dulu waktu kecil saya suka terbangun lalu lihat mereka lewat depan rumah. Semakin besar kok ya kadang kesel gitu dibangunkan dengan cara berisik seperti itu. Apalagi kadang musik yang dimainkan dan nyanyinya nggak serius. Bikin engap juga sih, kadang.
Bagaimanapun, itu tradisi yang seharusnya terjaga adanya. Kata teman-teman saya, di daerah mereka sudah jarang atau bahkan sudah nggak ada sama sekali tradisi ini. Anak-anak muda mungkin lebih memilih begadang dengan nge-game, daripada harus berjalan memukul kentongan keliling kampung.
Sayangnya dari kecil, saya sebagai perempuan belum pernah berkesempatan buat ikut tong tek keliling kampung. Tong tek ini hanya berisi kumpulan anak laki-laki, yang biasanya mereka tidak tidur semalaman sehabis berkumpul atau tadarus di masjid malam harinya. Kalau di kampung saya disebutnya, melekan. Mana ada anak-anak perempuan yang dibolehkan orang tuanya buat semalaman di masjid?
Untuk menjaga dan melestarikan tradisi ini, beberapa pemerintah di daerah Jawa Tengah mengadakan festival tong tek pada bulan Ramadan. Tidak hanya ajang karnaval saja, bahkan tong tek ini juga dilombakan. Tong tek dengan peralatan musik sederhana, dikreasikan sekreatif mungkin, diikuti oleh anak-anak muda daerahnya. Meskipun memang tidak seramai dulu, di kampung saya di daerah Jawa Tengah masih bisa dipastikan terdengar suara tong tek membangunkan kami untuk sahur di bulan Ramadan.
BACA JUGA Esai-esai Terminal Ramadan Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.