Sebagai orang asli Indonesia, rasanya sudah menjadi kewajiban sewaktu lapar dan ingin makan, menu utama yang wajib ada dan tersedia adalah nasi. Wajar karena nasi menjadi pangan utama pendamping saat lapar kebanyakan orang di sekitar kita—termasuk saya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, bagi saya nasi tidak lagi menjadi menu wajib. Bisa digantikan dengan menu lain seperti kentang, mie, dan lain sebagainya.
Intinya, sih, tetap mengandung karbohidrat hanya saja dalam wujud lain. Begitu dekat dan lekatnya nasi dengan masyarakat Indonesia, bahkan sampai ada istilah, “bukan orang Indonesia namanya kalau nggak makan nasi”.
Di Indonesia, ada beberapa jenis beras yang kemudian diolah menjadi nasi dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat. Tiga jenis beras yang dikenal banyak masyarakat antara lain; Pandan Wangi, Ramos, Rojolele. Favorit saya jatuh pada Pandan Wangi, selain rasanya pulen aromanya pun wangi. Bukan maksud ingin sok-sokan menjadi pakar kuliner, sih, tapi tekstur pandan wangi betul-betul pas dengan selera saya.
Kualitas beras Pandan Wangi tidak perlu diragukan lagi. Namun, ada kualitas dan rasa, pastinya ada harga yang harus dibayar. Karena harga per-satu beras pandan wangi cukup mahal, sekitar Rp13.000, sehingga tidak heran jika yang menikmati hanya orang-orang berpenghasilan cukup. Sesekali saya makan beras jenis ini ketika di rumah orang tua atau saudara. Hehehe.
Meskipun begitu, yang namanya selera pasti akan berbeda-beda tiap orangnya. Banyak orang di luar sana mungkin akan lebih memilih Rojolele atau Ramos sebagai beras favoritnya. Bisa jadi ada beras jenis lain yang menjadi kesukaan banyak orang.
Selain berbeda dalam pemilihan jenis beras, tiap orang pun memiliki selera masing-masing perihal tingkat kematangan beras yang dimasak. Saya sendiri lebih menyukai beras yang pulen dan tidak terlalu lembek. Agar lebih mendapatkan gambarannya seperti apa, ya, mirip-mirip nasi yang disajikan HokBen atau Yoshinoya gitu, lah. Lagipula, siapa sih yang nggak suka dengan nasi seperti di HokBen gitu?
Ada yang bilang, jenis beras juga cara memasak beras akan menentukan tingkat kematangan saat sudah menjadi nasi: apakah kering, cukup, atau bahkan lembek (seperti bubur)? Paling menentukan biasanya adalah seberapa banyak air yang dicampur pada saat beras dimasak. Bagi seseorang yang terbiasa memasak nasi—baik lelaki atau perempuan—pasti sudah terbiasa dengan rumusan “tambahkan air sebatas ruas jari” pada saat memasak beras.
Sebagai seorang lelaki yang paling tidak ingin bisa memasak nasi dengan baik, beberapa kali saya menanak sendiri dengan cara seperti itu. Hasilnya belum cukup memuaskan. Sering kali nasi menjadi terlalu lembek seperti kebanyakan air. Bahkan beberapa waktu lalu sempat ada lifehack tentang hal ini, banyaknya air pada nasi yang sudah masak bisa diserap kembali dengan hanya selembar roti. Setelah saya coba, nyatanya tidak semudah itu, mylov~
Percobaan dengan selembar roti yang saya lakukan gagal. Ternyata, hal tersebut tidak semudah seperti yang diperlihatkan video lifehack. Anehnya, di lifehack kok terlihat sangat mudah dan cepat?!
Perlahan tapi pasti, akhirnya saya menemukan formula agar beras yang dimasak tidak menjadi terlalu lembek, tidak pula terlalu kering (kurang air). Kurang lebih begini: saat kita ingin menanak nasi, siapkan takaran gelas nasi yang biasanya berukuran 160 ml. Seberapa gelas pun beras yang ingin dimasak, tambahkan air dengan takaran gelas yang sama + ½ gelas air.
Contoh: saya ingin memasak 3 gelas beras, berarti air yang harus ditambahkan untuk menanak nasi adalah 3 ½ gelas. Atau ingin memasak 2 ½ gelas beras, berarti air yang harus ditambahkan adalah 3 gelas. Dengan catatan, gelas yang digunakan dalam menakar beras dan air ukurannya sama.
Cara yang biasa saya lakukan tersebut tentu hanya salah satu cara untuk mendapatkan tingkat kematangan nasi yang diinginkan sesuai selera. Mungkin ada perbedaan dalam cara memasak—tergantung selerang masing-masing. Namun, satu yang pasti dan sulit diubah dari masyarakat Indonesia, nasi akan tetap menjadi menu utama ketika lapar. Apalagi disantap selagi hangat, pasti makin selera makan.
BACA JUGA Cerita Rumah Makan Padang: Porsi Nasi yang Lebih Banyak Ketika Dibungkus Dibanding Makan di Tempat atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.