Tidak Ada yang Namanya Liburan untuk Anak Persma

Tidak Ada yang Namanya Liburan untuk Anak Persma

Tidak Ada yang Namanya Liburan untuk Anak Persma

Bagi para mahasiswa memasuki semester baru merupakan hal yang ditunggu-tunggu. Selain temu rindu dengan teman, dosen atau kekasih ini menjadi ajang ‘pamer’ pengalaman selama liburan. Lo udah ngapain aja?

Lain hal dengan mahasiswa organisatoris yang masa liburan pun masih mondar-mandir di kampus, bawa buku catatan kecil, pulpen dan kartu pers yang tergantung di leher. Yaaa mereka adalah cah-cah pers mahasiswa yang biasa disingkat Persma. Selamat waktu liburan diisi liputan. Produktif sekali Anda, totalitas dengan ‘penderitaan’ hehee.

Karena mengejar target agar sesuai timeline yang dibuat, maka mau tak mau jatah liburan harus terpotong. Empat tahun saya berada di Persma, izinkan saya membagi ‘penderitaan-penderitaan’ anak Persma yang pulang paling terakhir, datang paling awal.

Bayangkan H+7 selepas liburan harus sudah ada di sekretariat, biasanya rapat budgeting untuk menggarap produk cetak. Untuk ke sana tentu saja harus mengantongi izin orang tua. Mereka selalu bilang, “Ngapain sih kampus juga masih sepi, pada liburan.” Lalu jawaban paling mutakhir “Kan Mamah yang mengajariku tanggung jawab, aku ada tanggung jawab disana Mah” bila dilanjutkan percakapan makin panjang.

Insting orang tua memang sering tepat, setelah kembali, kampus nampak sepi paling-paling mahasiswa semester senja yang sibuk mengejar dosen untuk bimbingan skripsi atau setor hafalan tahfiz. Sisanya hening, sunyi kecuali sekre yang kita tempati.

Belum lagi teman main yang sering nyinyir karena jarang ikut nongkrong. Mungkin kamu bisa ngopi santai sambil makan banana cheese di kafe kenamaan, apalah daya kita yang hanya ngopi di sekre sambil ngoreksi tulisan. Itu pun kopinya, kopi sachet yang kadang segelas bertiga. Pun untuk makan, kita bantingan atau iuran. Tiga ribu pertama, lima ribu pertama, iuran paling sedikit kebagian keluar beli makan. Makin suram.

Sebelum sah disebut anggota baru, prosedur yang mesti ditempuh salah satunya magang. Tiap Persma punya formulasi dan jangka waktunya masing-masing bergantung kultur dan AD ART yang mereka sepakati. Kalau di Suaka, organisasi pers mahasiswa di UIN Bandung, masa magang berlangsung 3 bulan. Yah, kalau dihitung-hitung 2 semester baru bisa jadi anggota, itu pun kalau tidak berguguran di jalan.

Keren. Seru. Asik. Itu kesan pertama, setelah menyeburkan diri ke dalam organisasi semacam ini. Tapi kalimat itu belum selesai, ada lanjutannya; pontang-panting, nggak ada libur, serta rapat dan deadline adalah makanan sehari-hari. Kenapa? Bayangkan tiap Senin ada rapat online, bukan rapat secara online di grup Whatsapp tetapi rapat yang membahas pembagian isu, pemetaan dan deadline berita, atau yang lebih familiar rapat redaksi.

Hari Selasa ada rapat kondisional yang membicarakan masalah event-event atau peringatan ulang tahun, termasuk rapat budgeting. Rabu sampai Sabtu biasanya digunakan untuk diskusi dan pelatihan.  Pelatihan dirawat supaya skill menulis dari anggota persma itu sendiri tidak pudar.

Biasanya kalau sudah menjadi pengurus ghiroh untuk liputan dan menulis itu menurun. Sangat berbanding terbalik dengan masa magang. Diskusi harus terus dipelihara supaya tidak tertinggal wacana. Kadang, isu-isu yang ada juga didapat dari hasil diskusi jadi semuanya bersinergi dan saling melengkapi.

Rapat budgeting atau rapat perkembangan majalah juga tidak cukup sekali dua kali, mulai dari pembagian isu, progress liputan sampai biaya anggaran untuk cetak majalah. Setelah cetak masih harus evaluasi, kalau ada salah redaksi mesti ralat atau kadang sampai cetak ulang ya namanya juga media pembelajaran. Seusai evaluasi, produk harus disirkulasi atau sederhananya dijual.

Jadwal yang sudah ditentukan belum termasuk liputan. Janjian dengan narasumber, dibolapingpongkan, menanti narasumber yang tak kunjung datang, pembatalan janji secara sepihak yang bikin hati sesak. Transkrip lalu menyusun berita. Waktu mentranskrip pun perlu dipikirkan kadang ada narasumber yang keasikan bicara tau-tau dua jam berlalu, dan kita mesti mendengar rekaman ulang untuk ditulis terutama kalau wawancara ekslusif.

Tulisan dikembalikan oleh redaktur bukan hal baru. Anak Persma sudah biasa ditolak, dighosting, ditinggal gituh aja karena narsum yang buru-buru mau pergi, dimarahin kalau tidak sesuai janji, telat datang rapat dimaki-maki, tidak nulis berita bakal disindir pengurus atau senior “Duhh, kangen tulisan kamu majang di portal nih, kok pengen baca tulisan kamu di portal kita yah.”

Sebagaimana media arus utama yang dituntut harus mengirim berita dan memenuhi portal berita, belum lagi produk cetak yang membutuhkan waktu yang tidak akan cukup hanya seminggu-dua Minggu membuat tensi jadi tinggi dan saling misuh-memisuhi. Mengaruskan menginap berhari-hari di sekre demi lahirnya anak kesayangan; tabloid atau majalah. Persmapun melakukan hal yang sama. Tanpa fee, tanpa gaji, semua dilakukan suka rela.

Walau anggaran mengucur dari kampus, Persma juga kerap ditegur lantaran mengangkat sisi negatifnya. Selain Persma bukan Humas kampus niat yang sesungguhnya adalah menyampaikan informasi kepada publik sebenar-benarnya. Biar ada pembenahan-pembenahan agar kampus lebih baik.

Selain persoalan yang pelik, permasalahan yang tiada habis bukan justru merenggangkan sesama anggota, justru teramat merekatkan. Bagaimana tidak? Keintiman tercipta dari rasa perih dan susah saat dilalui bersama. Percayalah bahwa yang fana adalah liburan deadline itu abadi, bukan?

Yuuk nyanyi dulu
Wahai Persma Indonesia
Berjuanglah dengan Pena
Wahai Persma Indonesia
Berjuanglah dengan karya
Kita berjuang, lawan ketidakadilan
Bicara kebenaran
Lawan,lawan penindasan

BACA JUGA Dilema Liburan dan Keinginan Tetap Produktif atau tulisan Anisa Dewi Anggriaeni lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version