Saya nggak habis pikir. Kok ada ya orang yang bangga banget kalau daerahnya disebut sebagai kota Industri, ya? Kayak apa banget gitu, amazing, hebat, layaknya sebuah prestasi gemilang, bahwa tempat tinggalnya dipenuhi dengan pabrik, perusahaan, dan industri yang berjejer layak gerbong kereta. Salah satunya yakni Gresik yang disebut-sebut sebagai kota industri.
Sebelumnya saya sempat menulis mengenai tidak relevannya julukan kota santri pada Gresik. Dan, alhamdulillah, tesis saya tersebut menuai perdebatan di media sosialnya Mojok.
Sebenarnya, saya nggak mempersoalkan pro dan kontra tulisan saya sebelumnya. Dan, untuk tulisan ini, saya nggak menyangkal kalau Gresik memang disebut sebagai kota industri. Tapi, dari sekian debat virtual yang ada, saya menemukan beberapa, bahkan tidak sedikit komentar, yang seolah-olah membangga-banggakan bahwa Gresik itu kota industri. Mereka bahkan sampai repot-repot membuat akronim “santri” dengan kepanjangan “kota industri”.
Daftar Isi
Kenikmatan sebatas ilusi semata
Banyak orang di lingkungan saya yang bersyukur bahwa Gresik menyandang status sebagai kota industri. Pasalnya, dari eksisnya industri tersebut, memberi dampak pada terbukanya lowongan kerja. Angka kemiskinan juga dikatakan menurun. Bahkan, UMK Gresik itu tertinggi kedua di Jawa Timur setelah Surabaya, dengan nilai Rp4.522.030,5.
Namun, kalau boleh jujur, kenikmatan atas status Gresik sebagai kota industri itu hanyalah ilusi semata. Nggak sebanding dengan dampak dari terbangunnya industri di suatu daerah. Sebagaimana petuah dari seorang sosiolog asal Jerman, Ulrich Beck, bahwa perkembangan modernisasi, seperti industrialisasi pada akhirnya melahirkan risiko, konsekuensi-konsekuensi berbahaya, bahkan mematikan bagi masyarakat.
Dampak negatif yang mengancam warga Gresik
Di balik megahnya pabrik, ada rentetan kerugian yang menghantui masyarakat Gresik itu sendiri. Khususnya mereka yang tinggal di sekitaran kawasan industri. Misalnya terkait Indeks Kualitas Udara (IKU). Melalui temuan Badan Lingkungan Hidup Pemprov Jawa Timur pada 2019, Gresik menjadi daerah dengan kualitas udara terburuk dengan angka 65,81.
Saya sering menyaksikan sendiri fakta ini. Suatu kali ketika menuju tempat ngopi, saya menyaksikan perusahaan pupuk terbesar di Gresik, bahkan mungkin di Indonesia, waktu tengah malam, membuangkan asap hitam pekat dari cerobong asapnya. Bahkan saking banyaknya, asap tersebut sudah seperti gumpalan awan mendung. Ngeri nggak, sih? Sudah kayak asap Krakatau saja.
Polusi semacam ini tentu saja berdampak pada kesehatan masyarakat, khususnya yang tinggal di lingkungan kawasan industri. Umumnya, penyakit yang sering menghantui kebanyakan masyarakat yakni ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut).
Masyarakat yang seperti terlena
Iya, memang bener bahwa gaji kerja di pabrik itu besar, bahkan ada yang hampir menyentuh Rp5 jutaan. Sudah hampir seperti gaji pokok PNS. Tapi, kalau risikonya adalah kesehatan seperti itu, ya sama saja buntung. Gaji kalian habis untuk pengobatan. Itu kalau sembuh, kalau nggak?
Nggak hanya itu, polusi bau juga sangat mengganggu. Saya sendiri setiap melewati kawasan industri di Kecamatan Manyar, pasti mencium bau yang tidak sedap hasil dari polusi pabrik cokelat. Bahkan pabrik ini sempat didemo masyarakat setempat gara-gara bau yang nggak sedap itu. Saya yang lewat saja nggak betah, apalagi masyarakat setempat yang tinggal di situ.
Demo sendiri adalah sesuatu yang sudah sering banget saya dengar. Bahkan guru sekolah saya, yang tinggal di sekitaran kawasan industri itu, juga ikut demo, gara-gara dampak buruk yang ditimbulkan oleh pabrik-pabrik di sana.
Mirisnya, industri-industri di kabupaten Gresik itu nggak kehilangan seribu cara untuk membujuk dan mengambil hati masyarakat. Kalau mengambil hati pemerintahnya sih gampang banget, di mana-mana soal pemerintah dan perusahaan itu kongkalikong. Pemerintah tidak akan jaya tanpa industri. Begitu juga sebaliknya, industri tidak akan berdiri tanpa pemerintah.
Nah, yang saya masalahkan itu, dari segi masyarakatnya mungkin yang agak perlu seribu taktik dalam membujuk masyarakat. Pasanya, membujuk masyarakat itu susah-susah gampang.
Teknik memikat dari pabrik
Saya sering banget mendengar, CSR perusahaan itu suka bantu-bantu masyarakat, ngasih sembako, pakaian, bantu bangun pasar atau pelayanan publik lainnya, bantu cek kesehatan gratis, dan lain sebagainya. Khususnya, perusahaan-perusahaan baru dan yang besar-besar, seperti industri nikel itu kelihatannya baik banget sama masyarakat, sampai bagi-bagi sarung, sembako.
Tapi, sebenarnya, percayalah, itu semua hanya hegemoni industri pada masyarakat di lingkungan sekitarnya. Itu cuma akal bulus saja, biar masyarakat itu nggak demo aneh-aneh, nggak menentang pembangunan, penggusuran lahan, dan lain sebagainya. Kita itu ibarat ayam potong. Dirawat, dikasih makan, dan kalau ada kesempatan, kita akan disembelih juga.
Lantas, atas segala perbuatan industri kepada masyarakat, apakah kalian tetap bangga menyebut Gresik sebagai kota industri? Pernahkah kalian berpikir atas segala kerugian yang kalian terima? Atau hanya ngitung enaknya doang? Sudahlah, Gresik itu kota pudak saja dah cukup, enak, dan mengenyangkan.
Penulis: Mohammad Maulana Iqbal
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Dosa Kabupaten Gresik: Banjir Kali Lamong yang Tidak Tertangani