Suatu ketika saya pernah mengajar mata pelajaran Bahasa Jawa kelas 5 di SD. Temanya ketika itu adalah tembang macapat metrum Dhandhanggula. Nah, ketika saya memberi contoh menembangkan Kidung Sarira Ayu, salah seorang siswi menjerit ketakutan sambil melarang saya meneruskan tembang tersebut.
Setelah saya tanya kenapa sampai histeris dia bilang: “You will invite a ghost by singing that song.” Owalah Gusti, salah persepsi macam apa lagi ini. Oh ya, murid-murid di sekolah saya memang sehari-harinya berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris, bahkan ketika pelajaran Bahasa Jawa.
Ketika itu saya sepenuhnya menyadari, memang banyak salah kaprah yang berkembang perihal tembang macapat. Tapi sebelum saya mengupas tentang salah persepsi tersebut, ada baiknya jika kita ulas tembang macapat ini at a glance.
Tembang macapat adalah salah satu jenis tembang dalam budaya Jawa yang terikat pada 3 aturan dasar berupa (1) guru lagu, (2) guru gatra, dan (3) guru wilangan. Tembang macapat ini terdiri dari 11 metrum, yaitu: Maskumambang, Mijil, Kinanthi, Sinom, Asmarandana, Gambuh, Dhandhanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, dan Pucung.
Setidaknya ada 3 hal pokok di mana masyarakat salah memahami. Berikut penjelasannya.
Daftar Isi
#1 Macapat adalah tembang pemanggil setan
Seperti pengalaman yang saya ceritakan di awal tadi, banyak rekan guru bahasa jawa yang mengalami hal yang sama ketika mengajar. Begitu juga ketika jagongan dengan sesama orang dewasa, banyak yang beranggapan bahwa tembang macapat adalah lagu pemanggil setan.
Untuk salah kaprah ini kita patut berterima kasih kepada insan perfilman Indonesia. Cobalah sampeyan ambil 10 saja sample film horor yang bersetting Jawa. Saya yakin 5 di antaranya akan menampilkan orang tua yang berpakaian surjan lurik sedang duduk bersila sambil mengumandangkan tembang macapat. Kemudian tiba-tiba muncul berbagai jenis hantu; pocong, gendruwo, kuntilanak, ilu-ilu, banaspati, jin, setan, peri prayangan, danyangan koruptor, dan sebagainya.
Padahal selama bertahun-tahun mengkaji tembang macapat di paguyuban Sekolah Budaya Tunggulwulung, belum pernah saya jumpai sebuah lirik yang isinya untuk memanggil setan. Justru mayoritas tembang macapat dari kitab-kitab kuno berisi pitutur luhur, nasehat untuk menjadi pribadi yang baik.
Coba sampeyan baca kitab Wedhatama, Wedhapurwaka, Pustaka Raja Purwa, Wulangreh, dan lain-lain. Semua berisi ajaran hidup yang mulia. Kalau tidak paham bahasanya, sampeyan bisa kok googling terjemahannya.
Perihal salah kaprah ini, saya jadi ingat kutipan dari Juri Lina dalam buku “Architects of Deception”. “Ada 3 cara melemahkan dan menjajah suatu negeri yakni, kaburkan sejarahnya, rusaklah hancurkan situs bersejarahnya, dan putuskan hubungan leluhurnya dengan sebutan primitif, kuno dan sesat”. Fix, ada semacam penggiringan opini agar kita menganggap tembang macapat sebagai produk budaya yang primitif, kuno dan sesat.
#2 Karangan Sunan Anu atau Wali Eta
Salah kaprah yang kedua adalah adanya anggapan bahwa metrum tertentu dari tembang macapat merupakan anggitan atau karangan seseorang. Saya sering mendengar klaim sepihak seperti Dhandhanggula adalah karya Kanjeng Sunan A, Sinom adalah karangan Wali B, Kinanthi adalah masterpiece dari Sunan C, dan semacamnya.
Saya menganggap salah kaprah ini tidak terlalu signifikan namun cukup menyebalkan. Ini bisa terjadi karena orang gagal memahami konsep dasar tembang macapat. Mereka yang salah kaprah tersebut tidak bisa membedakan antara sebuah judul tembang dengan metrum.
Praktisnya begini, misalkan ada yang beranggapan bahwa Kidung Sarira Ayu adalah karangan Kanjeng Sunan Rois Pakne Sekar. Itu masih bisa dipahami. Sebab yang diklaim adalah satu judul tembang, bukan metrum Dhandhanggula secara keseluruhan.
Namun akan sangat tidak masuk akal jika dikatakan bahwa metrum Dhandhanggula diciptakan oleh seseorang dari abad ke-17. Sementara itu, telah ada kitab yang berisi tembang Dhandhanggula yang ditulis 3 abad sebelumnya. Salah kaprah ini jika sampai dimuat di buku pelajaran Bahasa Jawa pasti akan semakin kacau.
#3 Mengaitkannya dengan siklus hidup manusia
Salah kaprah berikutnya adalah mengaitkan tembang macapat dengan siklus hidup manusia. Bahasa Jawa, nasibmu!
Mereka menganggap tembang macapat merepresentasikan perjalanan hidup manusia Jawa. Mulai dari metrum Maskumambang yang mewakili masa hidup di dalam kandungan, Mijil sebagai representasi kelahiran, kemudian dilanjutkan dengan tembang Sinom sebagai perlambang masa muda.
Setelahnya secara berturut-turut adalah Sinom yang melambangkan kehidupan masa muda, Asmaradana sebagai lambang masa pencarian cinta, Gambuh yang disebut sebagai saat ditemukannya jodoh, Dhandhanggula sebagai masa berumah tangga yang serba manis, Durma sebagai masa-masa melakukan darma, Pangkur sebagai masa memungkuri gebyar duniawi, Megatruh sebagai masa kematian, dan Pucung sebagai masa setelah kematian.
Padahal itu semua hanya uthak-athik gathuk, sekadar mencocok-cocokkan saja. Tujuannya semula adalah untuk mempermudah kita menghafalkan 11 tembang macapat tersebut. Maka, disusunlah padanan kata dari masing-masing metrum tersebut dengan urutan siklus hidup manusia. Dan agar lebih meyakinkan, banyak yang membumbuinya dengan aneka macam falsafah hidup. Untuk urusan beginian, menyisipkan hal-hal filosofis melalui jarwa dhosok kata, orang Jawa adalah masternya.
Mari saya beri sebuah contoh nyata. Jika mengikuti “falsafah macapat sama dengan siklus hidup manusia” tadi, maka tembang Asmaradana akan melulu berkisah tentang asmara. Lalu coba njenengan cek kitab Wedha Purwaka pupuh IX. Di situ sampeyan akan menjumpai 28 bait Asmaradana yang menceritakan kematian. Iya, kematian para ksatria dalam perang Bharatayudha, alih-alih kisah cintanya.
Sebagai penutup, berikut saya haturkan sebuah tembang pangkur yang mengajak kawula muda untuk beraktualisasi diri.
Prayogane pra taruna
Kedah bhekti marang Ibu Pertiwi
Netepi pakarti luhur
Seneng ngrukti budhaya
Kepati anggeguru ngupadi elmu
Anglampahi margatama
Ra kendhat labuh nagari
Karangan siapakah tembang pangkur tersebut? Rahasia!
Penulis: Rois Pakne Sekar
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 11 Istilah Bahasa Jawa yang Susah Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia