Rokok lintingan sedang naik daun. Dan di setiap sudut tongkrongan bisa kita temu muda-mudi yang sibuk melinting. Melinting memang menjadi tren baru selain gowes dengan sepeda lipat. Dan karena sedang menjadi tren, linting pun tak luput dari gunjingan.
Berbeda dengan gunjingan terhadap goweser, gunjingan kepada pelinting lebih menyakitkan (menurut saya). Jika goweser dipandang sebagai orang berpunya yang arogan, pelinting dipandang sebagai orang miskin yang kepepet. Pelinting dianggap terlalu miskin untuk sekedar membeli rokok pabrikan. Benarkah demikian?
Ada benarnya ketika kita bicara awal kepopuleran melinting. Melinting menjadi populer pasca kenaikan cukai produk tembakau. Rokok pabrikan yang dulu bisa terjangkau dengan mengesampingkan sarapan kini tak terjangkau. Beberapa merk naik sebegitu tingginya hingga tidak terjangkau oleh kalangan nom-noman UMR. Tapi, naiknya harga ini bukan menjadi alasan utama. Anggap saja fase tercerahkan sebelum masuk laku spiritual. Pokoknya anggap saja seperti itu ya.
Mari kita bicara tentang melinting dahulu. Melinting adalah sebuah cara menikmati tembakau. Kata linting berarti menggulung, dalam hal ini adalah menggulung tembakau di dalam kertas. Berbeda dengan budaya merokok konvensional, melinting harus melewati segenap laku sebelum bisa menikmati nikotin di dalamnya. Laku ini pun harus dalam keteraturan demi tercapainya kenikmatan yang haqiqi. Wah ternyata melinting tidak sesederhana itu kan?
Sebenarnya melinting pun terjadi pada rokok konvensional. Tapi fase ini diambil alih oleh korporasi tembakau. Mereka menjadi jasa pelinting bagi penikmat tembakau. Tentunya dengan iming-iming kepraktisan dan kenyamanan. Sedangkan, pelinting harus menjalani fase ini. Dalam pabrik rokok kita kenal posisi kerja seperti quality control, pelinting, bathil, dan pengepak. Nah, para lintinger ini menjadi semua itu setiap akan merokok. Luar biasa beban seorang pelinting.
Bicara laku melinting, semua diawali dengan akad jual beli. Maksudnya, pelinting harus membeli ubo rampe terlebih dahulu. Dari tembakau, kertas, cengkeh, lem, sampai tempat menyimpan tembakau. Kesemuanya dilakukan oleh pelinting langsung tanpa perantara korporat. Akad terjadi, seperangkat kebutuhan linting pun diterima. Dan masuklah seorang pelinting dalam laku melinting yang sebenarnya.
Seorang pelinting akan menyiapkan segala ubo rampenya sebelum mulai melinting. Jadi jangan kaget jika meja seorang pelinting lebih berantakan dari keluarga di dalam sinetron religi. Tapi ketidakaturan ini adalah laku pembuka sebelum mereka benar-benar melinting. Jadi cukup perhatikan tanpa perlu cangkeman ya.
Pelinting tersebut akan mengambil kertas lintingnya, lalu mulai meletakkan tembakau di atas lipatannya. Tangannya sangat terampil dalam memilah tembakau dari dahan kering sampai rafia yang tak sengaja masuk. Beberapa pelinting akan menaburkan cengkeh dan bumbu lain dengan takzim. Ada juga yang memasang filter sebagai penambah kenyamanan. Kemudian dalam satu gerak tangan, tembakau tadi ada di dalam tabung kertas linting tadi. Semua ini diakhiri dengan tersulutnya lintingan agar terbentuk asap. Asap nikmat inilah yang akan disesap dengan khusuk sambil merem syahdu.
Dari laku yang saya jelaskan di atas, sudah nampak nyata bahwa melinting tidak sepele. Ia adalah sebuah kesatuan yang tertata apik dan terwariskan dari zaman ke zaman. Seorang pelinting memperlakukan lintingan dengan takzim dan lemah lembut. Setiap unsur lintingan tersentuh oleh jemarinya. Pelinting telah menyatu dengan berbagai hasil bumi tadi setiap melinting. Dia melakukan tarian syukur dengan jemari lentiknya (dan kadang kapalan juga).
Seorang pelinting pantang melompat-lompati laku melinting. Karena tidak mungkin menaburkan cengkeh setelah kertas dan tembakau terlinting. Dia menjalani laku yang mungkin membuat jenuh orang lain. Seorang pelinting juga mengenal diri dari cerminan ubo rampenya. Dia sangat mengenal tembakau mana yang cocok, kertas mana yang mantap, dan lain sebagainya. Dia juga mengenal tembakau mana yang cocok, tidak hanya di lidah, tapi juga di keuangan.
Menilik dari apa yang dilakukan oleh para pelinting, sejatinya adalah sebuah laku spiritual yang harmonis. Menyatukan unsur-unsur hasil bumi, yang nantinya akan bersatu dengan kalbu sang pelinting. Semua dilakukan dengan penuh rasa syukur, minimal bersyukur tetap bisa menyesap nikotin sampai hari ini. Seorang pelinting tidak memilih kenikmatan praktis, namun kenikmatan dalam harmoni. Kenikmatan dimana dia terlibat penuh dalam pencapaiannya.
Tapi memang, pilihan untuk melinting sering dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Iya, benar kok. Tapi bukankah ketidakmampuan membeli rokok pabrikan juga sebuah laku spiritual. Iya kan?
BACA JUGA Sesakit-sakitnya Patah Hati Lebih Sakit Tidak Kebagian Sodoran Rokok dan tulisan Dimas Prabu Yudianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.