Sejak tragedi memilukan itu, saya memutuskan untuk beli buku Iqro sendiri di lapak pasar tradisional. Seperti santri TPA pada masanya, buku Iqro baru itu juga langsung saya tandai dengan beberapa coretan di bagian sampul depan. Tujuannya jelas, agar nggak ketuker dan meminimalisir risiko pindah tangan secara tak kasat mata. Maklum, kawan-kawan kecil saya cukup jahil bin nggrathil. Serius.
Ada beberapa model coretan yang biasa dipakai bocil untuk menandai buku ini. Salah satunya dengan menambah atau meniru pola gambar di sampul depan yang berbentuk segitiga kombinasi bulat itu di samping kanan kirinya. Konon, tiga pola gambar sampul depan itu ditafsirkan sebagai anak kecil yang sedang mengaji atau membaca buku Iqro. Entah benar atau salah, yang jelas setidaknya itu teori konspirasi yang saat itu berkembang luas di kalangan santri TPA di kampung halaman.
Sebagai anak yang tinggal di dekat masjid dan rajin TPA, membuat saya cukup lancar baca Iqro. Serius. Di saat kawan-kawan sebaya saya baru jilid 2, saya sudah jilid 4 sendiri. Artinya, buku prestasi Iqro saya di bagian keterangan penuh tulisan “Lancar”. Sementara, kawan-kawan saya, terutama si Heri nakal itu, buku prestasi Iqro-nya full tulisan “Mengulang”.
Prestasi dan privilese inilah yang membuat saya (nyaris) selalu diajak Mas Ustaz mengikuti berbagai kegiatan pengurus masjid, salah satunya acara yasinan atau selametan orang meninggal. Ketika ada selamatan, saya satu-satunya santri kecil di kampung yang ikut acara bapak-bapak. Bangga dan bahagia benar-benar saya rasakan waktu itu. Selain dianggap istimewa, saya juga jadi santri pertama yang membawa berkat kenduri. Mantap.
Ya, di saat semua peserta yasinan bawa buku Yasin, saya satu-satunya orang yang bawa buku Iqro. Maklum, waktu itu masih jilid 4. Jadi, ya, ketika bapak-bapak membaca surat Yasin, saya cuma bisa diem sesekali umak-umik sambil membuka-buka buku Iqro. Tapi, setelah baca surat Yasin selesai, giliran baca zikir dan tahlil, terutama bagian “lailahaillallah 33x”, saya menjadi orang yang paling lantang menyerukan kalimat syahadat itu. Apa pun itu, yang jelas, saya pulang tetap bawa berkat seperti bapak-bapak lainnya dong. Pastinya.
Meski begitu, ternyata prestasi masa kecil saya di bidang agama, nggak menjamin sepenuhnya saya sekarang jadi “orang bener”. Terbukti si Heri yang dulu saya anggap nakal, justru saat ini malah jadi ustaz dan masih (tetap) istiqomah mengajar anak-anak TPA di kampung halaman, Gunungkidul. Sementara saya, salat wajib saja masih bolong-bolong. Paling ikut salat berjamaah di masjid pas salat Jumat dan salat Idulfitri saja. Artinya, belajar agama memang butuh istiqomah dan nggak setengah-setengah. Dan, kawan kecil saya itu membuktikan semuanya.
Terlepas dari itu, di balik buku Iqro legendaris ini, ada jasa besar Kiai Haji As’ad Humam dari Kotagede, Yogyakarta. Beliaulah pelopor metode Iqro, sebuah metode belajar agar umat muslim bisa dengan cepat dan mudah membaca kitab suci Al-Quran. Sudah tidak terhitung berapa banyak santri, ustaz, kiai di Indonesia yang sangat terbantu dengan buku Iqro ini. Semoga beliau senantiasa mendapat tempat istimewa di sisi Allah SWT. Kullu sya in lillah, lahul fatihah.
Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Gini Lho, Jangan Percaya Sama Metode Cepat Baca Alquran Secara Otodidak