Coffee shop tumbuh subur di Sleman. Kenapa bisa gitu, ya?
Kata orang, setiap ada tanah kosong di Jogja akan jadi coffee shop. Nggak salah sih, karena terbukti dari populasi kedai kopi di daerah istimewa ini. Cukup cari “coffee shop” di aplikasi Google Maps, layar gawai Anda akan dipenuhi titik lokasi kedai kopi. Kehadiran coffee shop bahkan sudah melupakan hukum persaingan ekonomi. Jarak antarkedai bisa 5 meter saja.
Untuk urusan menjamurnya coffee shop, Sleman adalah jagonya. Mungkin ada ratusan sampai ribuan kedai kopi di kabupaten paling utara DIY ini. Dari kedai kopi merakyat sampai kedai yang mahalnya nggak ramah UMR ada di sini. Mau konsep njawani model pendopo, konsep creative space yang cenderung lusuh, sampai konsep tembok acian yang membosankan ada di Sleman.
Beberapa orang menilai kehadiran kedai kopi di Sleman sebagai kultur aji mumpung. Beberapa lagi memandang Sleman sudah sell out. Dan sisanya menilai kehadiran coffee shop ini sebagai bangkitnya tren konsumerisme. Sejujurnya, saya juga sepakat dengan semua opini tersebut.
Tapi mau nggak mau, suka nggak suka, coffee shop adalah kebahagiaan terakhir di Sleman. Kehadirannya seiring dengan makin sesaknya kehidupan nom-noman di kabupaten berjargon Sembada ini. Dan jika melihat populasi coffee shop yang terus tumbuh, berarti terus tumbuh juga pasar yang butuh kebahagiaan sementara di Jogja.
Kebahagiaan ini bukan ndakik-ndakik. Apa lagi coba sumber kebahagiaan yang bisa diakses nom-noman Sleman? Mereka tengah berada di daerah yang jauh dari mimpi ideal muda-mudi Indonesia.
Sehari-hari mereka berhadapan dengan tekanan perkuliahan atau pekerjaan. Pulang kerja dan kuliah pun masih bawa oleh-oleh masalah dan tugas. Mereka harus bertemu tembok kos maupun kontrakan yang dingin dan menagih uang bulanan. Ketika membuka slip gaji, uang yang diterima tak seberapa. Untuk yang masih mendapat uang saku, akan habis untuk memenuhi kebutuhan paling dasar manusia.
Di mana mereka bisa memuaskan aspirasi dan berekspresi? Sleman itu langka taman kota. Nggak ada taman yang bisa jadi tempat berkumpul atau sekadar menghabiskan malam. Trotoar yang layak untuk tongkrongan sangat terbatas. Untuk nge-mal atau nonton harus menyesuaikan situasi dompet. Mau band-band-an, nggak ada panggung rakyat yang bebas dipakai. Mau balapan liar, alamat terjungkal menilik situasi aspal di Sleman.
Jangan bayangkan Sleman bisa membuat Citayam Fashion Week. Nggak ada jalan yang aman untuk itu. Entah karena kendaraan ngebut, macet, atau ancaman sabetan klitih. Jangan bayangkan juga nom-noman Sleman seperti di FTV yang bisa healing di pematang sawah. Beton lebih subur daripada padi dan tebu.
Akhirnya coffee shop yang jadi jawaban. Tren minum kopi yang bangkit di 2015 menjawab kebutuhan krusial muda-mudi Sleman: ruang untuk bahagia. Mereka rela membayar 20 ribu lebih demi segelas kopi. Karena memang nggak ada pilihan lain. Mau bahagia atau stres.
Akhirnya kebutuhan ini menjadi gaya hidup. Dan dominasi muda-mudi di Sleman menjadi hujan bagi kedai kopi. Meskipun tumbuh dan bangkrut silih berganti, coffee shop terus memberi kebahagiaan sejenak bagi nom-noman Sleman. Memang selalu ada aji mumpung dalam bisnis, tapi kesempatan bisnis coffee shop yang belum surut adalah red flag di Sleman.
Pemerintah Sleman belum mampu menyediakan ruang ekspresi yang cukup bagi seluruh penduduk. Tekanan kerja dan kuliah menuntut healing, tapi yang ramah UMR. Celah ini yang dilihat dan diakomodir bisnis coffee shop.
Jadi jangan kaget jika Anda melihat coffee shop berjajar dan selalu ramai. Jangan kaget jika tiba-tiba tanah yang kemarin gerumbul kini jadi kedai kopi. Tanpa coffee shop, Sleman hanyalah keluh kesah dan tekanan.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 3 Coffee Shop Bergaya Jepang di Jogja.