Buat kamu yang punya impian memiliki kulit kecokelatan nan eksotis, nggak perlu jauh-jauh berjemur sampai ke Timur Tengah, sebab di Tangerang kamu bisa mendapatkannya dengan mudah. Gimana nggak, Tangerang makin ke sini puanas pol! Mau berjemur sampai merah merona atau gosong? Monggo…
Btw, orang tua saya adalah orang Jawa, tapi sejak saya belum direncanakan, keluarga saya sudah tinggal di Tangerang, Banten. Jadi, boleh dibilang saya ini asli made in Tangerang. Bukannya saya meng-underestimate atau nggak mencintai tanah kelahiran, realitasnya, tanah kelahiran saya yang dulunya permai kini telah disulap menjadi pusat bisnis yang fantastis.
Lho, bukankah harusnya bangga dan terharu karena tanah kelahiran makin maju?
Ya, jujur saya sangat bangga menjadi warga Tangerang. Sebab, kata orang-orang, daerah ini keren banget. Ada banyak tempat hangout yang kece di sini. Artis internasional juga banyak yang datang ke Tangerang mulai dari Shawn Mendes sampai Blackpink pernah menginjakkan kakinya di sini. Selain itu, akses ke sini cukup terjangkau.
Akan tetapi kamu mungkin setuju kalau di balik pembangunan yang pesat, selalu ada sisi lain yang bahkan bisa dibilang mimpi buruknya. Dan inilah mimpi buruk Tangerang yang makin melesat.
Daftar Isi
Tangerang gersang: dari hamparan sawah jadi deretan ruko
Kamu tahu nggak sih kalau Tangerang punya banyak julukan, salah satunya adalah Kota Seribu Industri. Tapi, melihat kondisinya saat ini, saya jadi pengin nambahin satu julukan baru, yakni Kota Seribu Ruko. Kok bisa?
Bagi orang Tangerang, khususnya yang berdomisili di Kabupaten Tangerang dan Tangerang Selatan, mungkin bakal relate dengan hal ini. Dulu, saat masih duduk di bangku SD, saya biasa jalan kaki ke sekolah sembari melihat hamparan sawah. Apesnya, kini, sejauh mata memandang, yang saya lihat hanyalah ruko, ruko, dan ruko.
Akibatnya, dulu waktu masih kecil, tiap tidur siang saya merasa baik-baik saja walau hanya menyalakan kipas angin. Lha, kalau sekarang? Menyalakan kipas angin rasanya kurang! Rasanya sekarang seperti sedang berada di sauna saking panasnya.
Gimana nggak panas, wong saking dahsyatnya pembangunan di Tangerang, hampir semua lahan diubah menjadi gedung. Entah itu perumahan, ruko, apartemen, hotel, dll., pokoknya wujudnya bangunan. Akibatnya, ruang terbuka hijau (RTH) di daerah ini minim sekali.
Saking panasnya udara di Tangerang, nggak usah heran kalau warga kampung kayak saya sampai harus pasang AC di rumah. Padahal dulu AC termasuk barang mewah yang biasanya hanya digunakan kaum sultan, lho. Tapi gimana lagi, suhu udara di Tangerang sungguh di luar nurul.
Membuat Tangerang hijau lagi? PR banget!
Sungguh jadi polemik. Bertransformasi menjadi pusat bisnis dengan pembangunan infrastruktur besar-besaran hingga menjadi kawasan penyangga ibukota, namun setelah prestasi ini diraih, lahirlah PR baru bagi Pemda, yakni menyediakan ruang terbuka hijau yang cukup dan layak. Kalau merujuk Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, idealnya suatu kota punya minimal 30 persen RTH dari luas wilayahnya.
Nah, faktanya tempat tinggal saya, Kabupaten Tangerang, hanya punya luas RTH sebanyak 8 persen, Kota Tangerang 10 persen, dan yang agak mendingan Tangerang Selatan, tapi itu pun cuma 12 persen. Bahkan Pemda masing-masing wilayah mumet untuk untuk menggenjot pengadaan RTH karena lahannya telanjur dibangun menjadi gedung.
Bagai buah simalakama, berkat RTH yang dipangkas habis ini, bukan hanya APBD yang naik, melainkan banjir dan tingkat polusi juga ikutan naik. Sungguh menyedihkan.
Sekadar saran dari orang biasa
Saya tahu bahwa saya cuma orang biasa. Tapi, siapa tahu ada developer atau pemangku kuasa yang membaca tulisan ini dan tergugah untuk merombak beberapa kompleks gedung menjadi ruang terbuka hijau di Tangerang. Tentu upaya ini dilakukan agar warga makin betah tinggal di sini.
Berdasarkan penglihatan saya, cukup banyak bangunan ruko atau pertokoan lama yang kosong, serta bekas mall yang sudah bangkrut dan terbengkalai begitu saja. Siapa tahu bangunan-bangunan ini bisa dialihfungsikan menjadi RTH tadi yang begitu diidam-idamkan warga. Nggak ada salahnya berharap, kan?
Saya yakin, kok, bukan cuma saya yang rindu menghirup udara murni kaya oksigen yang menenangkan kepala. Sudah banyak orang yang pening menghirup udara bercampur asap serta pasir dan aroma zat kimia dari pabrik-pabrik yang ada di wilayah tanah kelahiran saya ini. Sekian, terima nasib.
Penulis: Firtian Ramadhani
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.