Takengon Aceh daerah yang benar-benar daerah yang “aneh” bagi orang Medan seperti saya.
Beberapa waktu lalu, di Terminal Mojok terbit tulisan Lalu Lintas Medan Terlalu Barbar untuk Perantau Asal Surabaya seperti Saya. Di dalam tulisan itu penulis yang berasal dari Surabaya menceritakan betapa barbar jalanan Medan. Sebagai seseorang yang tinggal di Medan, saya cuma bisa komentar, ya begitulah Tanah Deli. Kota ini memang begitu satset, ramai, tidak pernah tidur.
Sekarang bayangkan, betapa kagetnya saya ketika suatu hari harus merantau ke Takengon Aceh. Setelah bertahun-tahun hidup dalam hiruk-pikuk kota besar, suatu hari saya harus merantau ke kabupaten yang jaraknya ratusan kilometer dari Medan. Benar, seumur-umur baru kali ini saya hidup di luar Tanah Deli.
Bagi yang belum tahu, Takengon adalah ibukota Kabupaten Aceh Tengah yang terletak di Provinsi Aceh. Daerah ini berjarak sekitar 430 km dari Medan yang bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih 11 jam melalui jalur darat.
Takengon Aceh yang begitu berbeda dengan Medan
Di Takengon, saya benar-benar merasakan apa hidup melambat alias slow living. Tempat ini cocok buat kalian yang ingin menjauh dari penatnya kota. Suasana di sana tenang dan alamnya indah. Saran saya, coba deh sekali-kali camping di pinggiran Danau Lut Tawar. Beban hidup rasanya hilang sesaat saking nyamannya.
Selain itu, Takengon adalah surganya pencinta kopi. Aroma kopi tercium hampir di setiap sudut kota karena sebagian besar wilayahnya adalah perkebunan kopi. Asal tahu saja, kopi dari Takengon sudah terkenal hingga mancanegara lho.
Selain 2 alasan itu, ada banyak alasan lain yang bikin Takengon Aceh jadi tempat yang cocok untuk melambat atau slow living. Kalaupun tidak untuk melambat, tempat ini pas untuk healing, menepi dari hiruk pikuk kota besar seperti Medan.
#1 Udara Takengon Aceh yang dingin
Mungkin sebagian besar dari kalian hanya mengetahui bahwa Aceh terkenal dengan wisata pantai dan lautnya dengan cuaca panasnya. Sabang misalnya. Berbeda dengan bagian wilayah Aceh yang lain karena Takengon sendiri berada jauh dari laut atau pun pantai.
Takengon merupakan daerah dataran tinggi sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut. Udaranya cenderung dingin, saya sempat merasakan suhu 14 derajat celcius, benar-benar menggigil. Bagi orang yang terbiasa dengan panasnya Medan seperti saya, suhu di Takengon adalah tantangan tersendiri. Hingga saat ini saya masih sulit beradaptasi.
Selain jadi susah berkeringat, suhu di kota ini membuat kulit kita jadi kering. Menggunakan pakaian berbahan tebal di sini sudah menjadi hal lumrah. Bahkan, kalau cuaca terasa lebih dingin, saya bisa seharian menggunakan jaket di tempat kerja. Dan, itu tidak hanya berlaku buat saya yang pendatang, warga lokal pun juga sama.
#2 Tingkat keamanan yang jauh lebih baik
Nah, mungkin kalian sudah sering dengar tentang betapa besarnya tingkat kejahatan di kota asal saya, Medan. Saya sendiri yang sejak kecil tinggal di kota itu membenarkan berita-berita yang tersebar di masyarakat. Bukan maksud menjelekkan, tapi memang semua berita tentang Kota Medan yang makin hari semakin tidak aman benar adanya dan faktanya begitu.
Memang, walaupun Takengon terasa jauh lebih aman tapi bukan berarti di sini terbebas 100% dari tindak kejahatan, tetap saja ada tapi jumlahnya berkali-kali lipat lebih kecil dibandingkan kota asal saya. Benar-benar masih terbilang cukup aman.
Bahkan, pernah beberapa kali ketika ada pelaku kejahatan seperti percobaan begal atau hipnotis yang tertangkap, sering kali timbul tuduhan bahwa pelakunya adalah pendatang yang berasal dari Medan. Saya sendiri cuma bisa legowo menerima tuduhan itu, kalau melawan juga percuma karena mereka ramai, saya nggak berani hehehe.
#3 Macet adalah hal yang langka di Takengon Aceh
Pertama kali datang ke kota ini, saya benar-benar syok dengan kondisi jalan yang jauh dari kata semrawut. Tidak ada supir angkot barbar yang ugal-ugalan. Tidak ada suara sumpah serapah dari pengendara yang disalip oleh kendaraan lain. Suara klakson juga benar-benar jarang terdengar.
Semua pengendara cukup tertib. Bahkan, selama saya tinggal di Takengon, baru pertama kali saya merasakan kemacetan. Saat ini ada pagelaran pacuan kuda yang sudah menjadi budaya masyarakat di kota ini. Pacuan kuda memang semacam pesta rakyat di saini. Anehnya, bukannya kesal, saya justru menikmati kemacetan itu karena seperti nostalgia di tempat asal.
#4 Biaya hidup yang malah lebih mahal
Sampai sekarang, sayanjuga masih bingung dengan kenyataan satu ini. Mata pencaharian warga setempat adalah bercocok tanam, tapi entah mengapa sayur yang dijual di pasar itu mahal. Harga sayur, buah-buahan lumayan mahal jika dibandingkan di kota asal saya. Untuk ikan atau makanan laut lainnya sih saya masih bisa tolerir karena memang posisi kota ini jauh dari laut jadi harus memasok dari kota lain.
Bukan hanya untuk bahan makanan, bahkan untuk biaya tempat tinggal pun disini juga terbilang mahal. Walaupun bangunannya biasa saja, bahkan kebanyakan masih belum permanen alias dibangun dari papan tetap saja, saya merasa harga sewanya kadang di luar nalar. Kadang saya berpikir, apa karena kota wisata ya makanya mereka pasang tarif lebih tinggi dari harga standar. Tapi, tenang saja, masih ada yang murah di Takengon ini, untuk tarif parkir motor di daerah sini hanya dikenakan biaya Rp1.000 saja.
Sejauh ini saya cukup nyaman untuk tinggal di kota ini, walaupun juga sering merasa kangen dengan semrawutnya kota asal saya. Masing-masing kota punya kelebihan dan kekurangannya.
Penulis: Irfa Yani
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Lalu Lintas Medan Terlalu Barbar untuk Perantau Asal Surabaya seperti Saya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















