Bisa dibilang saya adalah orang yang dinamis dalam urusan kopinan. Kadang saya menikmati kopi manual brew di kafe bernuansa indie, kopi gula aren di coffee shop kekinian, hingga kopi Kapal Api di burjo dan wedangan atau yang di Jogja biasa disebut angkringan.
Polanya sederhana, jika punya uang, saya akan memilih kafe atau coffee shop, sebaliknya saya memilih melipir ke burjo dan wedangan jika sedang berhemat. Seringnya saya ke burjo dan wedangan, dan dari sini bisa ditebak, kan, kondisi finansial saya? Hehe.
Namun di luar masalah finansial yang seringkali terpuruk dan susah bangkit, saya tak bisa memungkiri bahwa nongkrong di burjo dan wedangan adalah pilihan yang pasti. Suasana, adalah alasan yang tak bisa didebat.
Wedangan menawarkan suasana yang otentik dan egaliter, terlebih jika ia berdiri di Jogja dan Solo. Ia menyenangkan jika menghadirkan kesunyian, sebaliknya ia bisa menyebalkan jika teramat sering didistraksi suara knalpot jalanan.
Burjo beda lagi. Lagi-lagi soal suasana, entah kenapa, ada perasaan berbeda tatkala berada di tempat yang sama dengan binar wajah sebaya di burjo, disertai berbagai macam obrolan di dalamnya: tentang politik, gosip, hingga wacana skripsi. Terlebih kita tahu, warung ini seringnya menyebar berada di area-area kampus.
Nongkrong di burjo itu menyenangkan, namun seringnya juga menyebalkan. Untuk hal menyebalkan ini, saya tak ragu akan merujuk pada playlist-playlist Aa burjo yang random sekaligus menyebalkan. Lebih lagi, di burjo umumnya terpasang speaker yang lebih dahsyat dari suara knalpot di musim kampanye.
Oke, sebelum berlanjut, saya akan bilang, selera musik merupakan hal yang terlalu melelahkan untuk diperdebatkan, semua musik sama pada intinya. Tapi siapa yang menyangkal bahwa musik-musik remix ala TikTok itu menyebalkan? Yah, ini adalah salah satu jenis musik yang akhir-akhir ini sering saya dengar di burjo-burjo sekitaran Solo. Saya tidak bilang lagu-lagu TikTok itu jelek, tapi lebih dari itu, ia amat buruk. Haha.
Selain itu, si Aa juga sering saya dapati memutar lagu-lagu pop melayu. Sekali lagi, pop melayu tidak jelek, tidak juga buruk, (padahal sama saja). Namun, perlu disepakati bersama, bahwa ini adalah genre lagu yang bikin ngantuk. Yah, Anda sepakat? Nggak sepakat karepmu. Padahal, waktu terbaik nongkrong di burjo itu di malam hari, benar, kan?
Jika kita cermati, Aa burjo mungkin paham bahwa musik-musik yang saya sebutkan tadi bukan merupakan musik-musik yang digandrungi kawula muda konsumennya yang kebanyakan mahasiswa bokek. Entah, atau saya malah curiga, lagu-lagu itu adalah pengusir mahasiswa yang di tanggal tua hanya mampu membeli segelas kopi dan sebatang rokok.
Pasalnya, si Aa adalah pengatur utama playlist lagu di speaker aktif. Selebihnya, pelanggan tak bisa mengelak dari cekokan lagu-lagunya. Walau tak jarang, pelanggan juga mampu mensabotase speaker bluetooth tatkala ponsel si Aa sedang low bat atau ada keperluan lain. Dan di sinilah setitik kecerahan yang dirasakan pelanggan seperti saya.
Di saat inilah, saya seketika akan melek dari kantuk menunggu siaran Europa League sambil mendengarkan Cock Sparrer, sing along bersama Oasis, atau tersenyum pedih sambil mendengarkan Sheila on 7. Namun di sini saya gantian curiga, Aa burjo gantian membenci pelanggannya. Sembari menyiapkan semangkuk magelangan dan segelas Nutrisari, ia akan membatin, “Menjadi penjual burjo itu menyenangkan, kecuali playlist pelanggannya.” Heuheu.
Penulis: Dicky Setyawan
Editor: Purnawan Setyo Adi