Waktu pertama membaca tulisan bergaya parodi, saya sempat berkomentar dalam hati, “Ah, tulisan macam apa ini? Kok bisa orang menulis seperti ini dan diterbitkan?” Lama kelamaan baca, gurih sekali tulisan ini. Baru sekali saya membaca tulisan seperti ini. Siapa pula ini penulisnya, Haris Firmansyah. Ah, siapa dia?
Sebelumnya saya sama sekali tidak kenal nama Haris Firmansyah, seseorang yang menulis novel sepak bola tapi selalu malas diajak main futsal. Seseorang yang juga mengaku melihara Tuyul seperti halnya Seto Wicaksono tapi tidak untuk dieksploitasi, diperintahkan untuk mencari ide dan menulis, tapi memeliharanya dalam bentuk sinetron. Seseorang yang telah banyak menerbitkan esainya di berbagai media.
Sebelum membaca tulisan bergaya parodinya di Mojok saya sama sekali tidak mengenalnya, maklum saya masih seorang newbie di dunia kepenulisan esai. Haris Firmansyah adalah orang pertama yang saya kenal, bukan kenal sih tapi tahu, yang menulis parodi. Bahkan sampai saat ini saya belum pernah benar-benar menemukan seseorang yang menulis parodi seperti Haris Firmansyah.
Saya tertarik, saya ingin belajar menulis parodi, berkali-kali saya coba tetap saja gagal. Ia dengan mudahnya menggabungkan segala fenomena yang yang dekat dengan keseharian kita kemudian dijadikan parodi. Bahkan tragedi pun bisa dibuat menjadi komedi dengan memparodikannya lewat tulisan. Membaca karya saya jadi menerka-nerka apa yang ada di otaknya.
Saya tertarik dengan karya-karyanya, saya membaca tulisan-tulisannya mulai dari Mojok, Voxpop, Basabasi, Kumparan, dan masih banyak media lainnya. Gila ini orang kok bisa produktif banget menelurkan karya di berbagai media, bahkan telah menerbitkan beberapa buku. Lah kok saya bisa tahu? Ya bisalah Googling aja jangan malas.
Saya kalau sudah tertarik dengan karya seseorang maka saya akan berusaha mencari tahu. Semua dipermudah dengan adanya internet kita bisa tahu rekam jejak seseorang dari karya seseorang. Mudah sekali untuk mengetahui seseorang apalagi jika ia sangat produktif dalam berkarya. Ternyata saya memang berbakat jadi stalker. Tapi sayang saya tidak berbakat menulis parodi.
Saya meyakini menulis parodi adalah sesuatu yang tidak akan mati dan diambil alih oleh kecerdasan buatan. Seiring perkembangan teknologi yang mendisrupsi banyak profesi, menulis gaya parodi dengan satire adalah sesuatu yang menurut saya tidak akan bisa diambil alih oleh kecerdasan buatan.
Perlahan tapi pasti kecerdasan buatan mengambil alih kerja jurnalistik. Lama kelamaan kecerdasan buatan akan menggantikan jurnalistik manusia. Namun sampai kapanpun ia tidak bisa menggantikan manusia dalam membuat parodi karena mesin tidak akan punya kesadaran, tidak akan punya perasaan, meski ia bisa lebih cerdas dari manusia. Itulah salah satu alasan saya belajar menulis parodi, karena lebih susah untuk beadaptasi dengan perkembangan teknologi, setidaknya masih ada yang bisa saya kerjakan di masa tua nanti.
Sayang sekali sampai saat ini saya belum berhasil menulis parodi yang menarik seperti Haris Firmansyah. Berkali-kali mencoba menulis parodi, malah hasilnya seperti menulis teks informatif dengan sedikit sentuhan fiksi, paling bagus jadi tulisan feature. Parodi masih jauh. Meski sekeras apa pun saya berusaha menulis parodi dan mencoba satire dengan menggabungkan cerita manga dan fenomena sehari-hari malah hasil buruk dan terkesan terlalu dipaksakan.
Di saat saya setengah mati berusaha untuk bisa menulis parodi, eh ada juga seseorang yang menulis parodi semudah kentut. Gusti Aditya yang sekarang menjadi bintang baru di Terminal Mojok, pelan-pelan mulai menggeser status Seto Wicaksono yang dulu tidak pernah libur tayang artikelnya di Terminal Mojok. Bahkan bisa dua sampai empat esainya tayang sehari di Terminal. Tapi tidak sekarang di mana persaingan Terminal Mojok sangat kompetitif. Meski begitu tidak membuat Gusti Aditya goyah, esainya tidak pernah libur, bahkan bisa sampai dua naskah tayang sehari.
Di saat penulis terminal sudah seramai ini yang bahkan penulis lama mulai mengeluh susahnya naskahnya tayang, dia bisa tayang dua kali, tanpa libur. Tiap hari karya-karya parodi khas Haris Firmansyah bisa kita nikmati dari tulisan Gusti Aditya. Jika Haris banyak memparodikan film, Gusti, yang mungkin adalah Wibu ini, memparodikan manga. Pelan tapi pasti Gusti Aditya mulai memperlihatkan tajinya menggeser para penulis lama yang dulunya disangka punya privilese. Ah, privilese betapa indahnya jika kau memang ada. Mungkin juga kau benar ada, tapi kau adalah buah dari kerja keras.
Saya mulai pelan-pelan percaya bahwa privilese memang ada, tapi ia buka merupakan sesuatu yang diberi tapi sesuatu yang diusahakan. Privilese datang kepada mereka yang bekerja lebih keras, berusaha lebih banyak, dan dalam konteks menulis lebih banyak yang membuat tulisannya semakin baik.
Kalau kalian tidak percaya sempatkan Googling karya-karya para penulis besar yang karyanya mondar-mandir di media. Jangan malas, belajar dari mereka. Lihat juga bagaimana rupa karya mereka di awal periode menulis. Semua pasti punya titik awal ketika kualitas tulisannya jauh sekali dari tulisan yang saat ini kalian baca. Karena menulis adalah pelajaran seumur hidup.
BACA JUGA Parodi Iklan Binomo: Budi Sariawan atau tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.