Menjelang pergantian tahun kemarin, saya dan keluarga berwisata di Kaliurang, Sleman, Yogyakarta. Saya ingin merasakan akhir tahun di salah satu tempat terindah dan terkenal di Jogja. Daerah dataran tinggi di Kecamatan Pakem, Sleman dan berada di lereng gunung Merapi, gunung berapi yang paling aktif di Indonesia, jelas bikin siapa pun tertarik, termasuk saya.
Kami mulai masuk Kaliurang Jogja sekitar jam 10 pagi dengan cuaca syahdu karena mendung dan gerimis rintik yang sangat kecil. Pada pintu masuk pertama, kami membayar karcis sebesar empat ribu rupiah per orang. Awalnya kami berpikir ini adalah tiket masuk wisata, tapi setelah bertanya kami baru tahu kalau ini hanya restibusi masuk desa Kaliadem.
Ada beberapa spot wisata di desa ini, seperti The Lost World Castle dan Petilasan Mbah Marijan. Selanjutnya kami menyusuri jalan yang cukup untuk berpapasan dua kendaraan. Karena kami sudah berniat untuk makan siang di sekitar Kaliurang, maka mata kami semangat mencari rumah makan yang layak untuk dijadikan tempat singgah. Dari sinilah kami menemukan fakta yang bagi kami, agak mengherankan.
Daftar Isi
Sulitnya cari warung makan di Kaliurang
Di sepanjang jalan saat di Kaliurang Jogja, kami tidak menemukan rumah makan yang cukup representatif sebagai tempat kulineran keluarga. Standar representatif bagi kami sebenarnya tidak tinggi: bersih dan nyaman paling penting. Soal harga biasanya standar, lebih mahal sedikit dibanding di rumah masih bisa diterima, serta representatif dari segi menu. Menu yang ditawarkan setidaknya bisa diterima oleh lidah saya dan suami yang menyukai makanan tradisional, tetapi tetap menyediakan pilihan bagi remaja seusia anak-anak saya.
Acuan rumah makan representatif kami adalah seperti di kawasan wisata Tawangmangu, Karanganyar, kabupaten tempat kami bermukim. Jika Kaliurang berada di lereng Gunung Merapi, Tawangmangu merupakan daerah dataran tinggi yang berada di lereng Gunung Lawu. Yang membedakan, Gunung Lawu merupakan gunung berapi yang sudah mati atau tidak aktif, sehingga warga Tawangmangu relatif lebih aman dari ancaman terkena letusan gunung. Adapun kontur tanah, cuaca, lanskap, dan kondisi alamnya mirip.
Tapi kalau soal tanjakan, Tawangmangu lebih menantang. Jalan lebih berkelok-kelok dan menanjak serta bisa membuat orang yang tidak biasa naik mobil mabuk darat.
Tawangmangu lebih unggul
Tentang kulineran, daerah Tawangmangu jauh lebih unggul dibanding Kaliurang. Di Tawangmangu, dengan mudahnya kita menemukan rumah makan di sisi kiri kanan jalan sejak masuk gapura wisata sampai ujung Tawangmangu dan terus berlanjut sampai Magetan. Sejak dari timur sampai barat atau sebaliknya, terdapat tempat makan dengan berbagai label: warung makan, kafe, restoran, eatery, dan lain-lain semuanya ada. Soal menu dan harga jangan ditanya, sangat bervariasi. Mulai dari harga kaki lima hingga bintang lima boleh dibilang semua ada.
Nah, kondisi ini berbalik dengan apa yang kami temui di Kaliurang. Jangankan rumah makan standar restoran, warung makan kecil pun tidak kami jumpai. Sekalinya kami lihat tulisan “RM Mbak Win” yang cukup mencolok, ternyata tinggal tulisan. Kondisi rumah makannya terlihat tidak terawat, pertanda telah tutup sekian purnama.
Kami juga menjumpai rumah makan “Soto Sweger Boyolali”, ternyata setali tiga uang. Entah tutup atau belum buka. Yang jelas, kondisinya seperti tidak dibuka beberapa hari.
Kami coba menurunkan ekspektasi, mencari warung makan kecil yang jual Pop Mie atau semacamnya. Sampai lelah kedua anak saya “memoloti” kanan kiri jalan, tetap tidak nampak yang kami cari. Oya sebenarnya, selain untuk makan, misi kami mencari rumah makan ini adalah untuk urusan ke belakang. Wajar kan orang bepergian lalu mampir rumah makan itu hampir pasti untuk dua urusan yang kontradiktif: menambah sekaligus membuang isi perut. Apalagi kami membawa serta ibu yang sudah lansia, yang mendesak untuk membuang air kecil. Namun apa daya, tempat ampiran gagal kami temukan.
Rumah makan vs base camp jeep
Satu hal yang membuat kami terhibur saat galau akibat menahan lapar dan rasa ingin ke belakang adalah banyaknya jeep berseliweran. Inilah uniknya. Susahnya mencari rumah makan bertolak belakang dengan mudahnya mencari base camp jeep. Kita bisa melihat tulisan base camp jeep sebagian besar di sisi kiri jalan arah naik. Pada hari Minggu pagi itu base camp sudah dipenuhi pengunjung yang akan bertualang naik jeep ikut Lava Tour Merapi. Kami tidak bisa menghitung jumlah jeep di setiap base camp saking banyaknya.
Mau merasakan sensasi suasana jaman perang seperti kata anak saya? Kaliurang menjadi salah satu pilihan tempatnya. Jeep-jeep berkejaran di depan kendaraan tua yang kami naiki. Jeep-jeep ini kebetulan berwarna hitam atau hijau tentara. Para penumpangnya memakai helm pengaman. Beberapa jeep terlihat memiliki setir kiri menunjukkan usianya. Betul kata anak saya, jadi mirip suasana perang sih. Apalagi jeep-jeep itu tidak ada yang berjalan pelan, semuanya melaju kencang. Oh ya, salah satu destinasi jeep itu adalah makam atau petilasan Mbah Maridjan.
Kok nggak ada yang kepikiran bikin warung makan di Kaliurang?
Di dalam mobil, kami terus mendiskusikan “masalah” rumah makan versus base camp ini. Kami penasaran mengapa banyaknya peserta tour ini tidak memancing warga untuk mendirikan rumah makan? Mengapa wisata kuliner tidak dikembangkan di daerah ini mengimbangi banyaknya peserta lava tour? Apa karena sewaktu-waktu bisa terdampak letusan gunung Merapi? FYI, daerah ini memang sering menjadi sasaran muntahan lahar Merapi, minimal terkena hujan abunya. Entahlah, yang jelas kami merasa sayang kenapa wisata di area sejuk ini tidak diimbangi dengan kemudahan mencari tempat duduk-duduk sambil menikmati segelas teh panas dan sepiring pisang goreng.
Setelah dari Desa Kaliadem, kami turun karena kendaraan tidak memungkinkan untuk naik sampai makam Mbah Marijan. Kami kembali menyusuri jalan di sekitar Kaliadem, berbelok ke arah Kaliurang lalu putar balik. Namanya juga hanya sight–seeing jadi ya hanya melihat-lihat saja keluar masuk kampung dan membayar retribusi.
Kami akhirnya menemukan satu rumah makan yang cukup representatif dan ramai tapi memutuskan tidak mampir, sudah kadung patah hati. Kami memutuskan makan di daerah Sleman kota. Tentu saja, Sleman kota lebih menawarkan banyak warung makan, tidak seperti tempat wisatanya, Kaliurang Jogja. Dan itu, bikin saya super bingung, hingga kini.
Penulis: Iis Nuryati
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sejarah Jalan Kaliurang, Jalan Terpadat di Jogja yang Semakin Menyebalkan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.