Belakangan, saya sedikit kecewa dengan berita yang disajikan di televisi akhir-akhir ini. Berita-berita nirfaedah seperti “Survei SMRC: Elektabilitas Prabowo Masih Teratas, Ditempel Ganjar dan Anies” yang tidak relevan dengan situasi sekarang cukup mengganggu pikiran saya.
Niat hati ingin mengganti channel dan mendapat berita yang lebih bermutu, nyatanya tiap stasiun TV memberitakan hal yang sama. Lama-lama, televisi nggak ada bedanya dengan baliho kepak sayap Zapdos di jalanan.
Berita semacam survei elektabilitas ini harus diakui memang kerap muncul mengotori layar kaca televisi. Parahnya lagi berita tersebut selalu muncul pada jam makan masyarakat negeri ini. Pagi, siang, malam. Sungguh santapan yang benar-benar menghilangkan selera makan.
Sebagai mahasiswa yang juga kecipratan ilmu jurnalistik, saya merasa dibodohi oleh dosen saya. Begini, mengapa saya belajar membedakan antara berita bermutu (relevan) dengan berita sensasional? Kan sudah jelas tujuannya adalah andaikata saya bekerja pada media jurnalistik, saya bisa menghasilkan berita yang bermutu. Namun, apa guna sekarang saya belajar hal itu? Toh, media arus utama saja beritanya semacam judul saya di atas sana.
Pertanyaan selanjutnya, apakah berita semacam survei elektabilitas itu memang tidak penting?
Saya tidak akan mengingkari judul pada tulisan ini. Selama berita yang disajikan menyangkut hajat hidup orang banyak, saya rasa berita itu “penting” adanya. Survei elektabilitas capres untuk periode 2024-2029 juga penting bagi masyarakat untuk menilai bobot, bibit, bebet bakal capres sebelum dilaksanakan pemilu 2024.
Namun, saya rasa tiga tahun adalah waktu yang kurang ajar banyaknya untuk menimbang bakal capres 2024. Saya yakin masyarakat pun enggan memikirkannya selama itu. Memangnya tiga tahun itu elektabilitas para bakal capres tidak ada dinamika naik turunnya? (Nah kan, ketahuan gobloknya).
Lalu kenapa sih terburu-buru diberitakan sekarang ini? Tolonglah, kami para jelata ini sudah dipusingkan dengan bansos yang tak kunjung cair karena ulah Juliari, PPKM dengan berbagai level dan mural, hingga performa MU dan Barca yang kian merosot. Eh malah ditambah lagi dengan survei elektabilitas capres yang sama sekali tidak ada faedahnya.
Apa benar media televisi kekurangan bahan untuk dijadikan berita? Bukankah jajaran reporter dan jurnalis sehebat itu seharusnya mampu mencari peristiwa yang penting untuk dijadikan berita yang akan ditonton jutaan orang seantero nusantara? Apalagi media arus utama loh. Masa iya nggak malu sama media-media pinggiran yang justru menyingkap banyak kasus tersembunyi? Harga diri, Brooo!
Saya pun penasaran dengan alasan tim redaksi mereka (media televisi) yang memilih berita nirfaedah tersebut hingga naik sebagai headline. Entah apa pun alasan mereka saya tidak peduli karena sudah terlanjur tertelan dan menjadi tinja.
Kalau berita seperti ini terus bermunculan di waktu yang tidak tepat artinya jurnalisme di negeri ini sudah mengalami kemerosotan kualitas. Lama-lama media televisi cenderung mengarah pada “jurnalisme kuning”. Jurnalisme yang lebih mengutamakan sensasionalitas daripada kualitas.
Jurnalisme seperti ini sangat toxic bagi masyarakat. Kecuali, bagi para pengikut tokoh atau timses parpol tertentu yang sering berkampanye lewat Twitter atau bahkan dijadikan konten YouTube. Alih-alih mendapat insight bermanfaat, masyarakat justru semakin terkotak-kotakkan dengan kehadiran survei elektabilitas capres. Pada akhirnya mas Firsa Babarsari akan ikut bersuara melalui lagunya yang berjudul “Berita Penting di Waktu yang Salah”.