Salam hormat dan hangat, Bapak Sunaryanta, Bupati Gunungkidul tercinta. Semoga panjenengan senantiasa diberi kesehatan dan kekuatan mengarungi bahtera kehidupan yang fana ini.
Begini, Pak Bupati. Surat ini saya tulis untuk merespons kebijakan panjenengan tentang (rencana) pembangunan Tugu Tobong Gamping dan penataan wajah kota yang sudah Bapak mulai akhir September lalu. Terus terang, saya menyayangkan keputusan panjenengan yang terkesan age-age di tengah gelombang penolakan pembangunan tugu yang (konon) akan menghabiskan anggaran Rp7, 687 miliar itu.
Panjenengan tahu sendiri, sejak awal rencana pembangunan tata kelola taman kota di Bundaran Siyono, Kec. Playen, banyak pihak yang kurang setuju. Mulai dari warga sekitar, para seniman, hingga budayawan, menolak tegas pembangunan Tugu Tobong Gamping menggantikan Patung Pengendang itu. Yang mau saya tanyakan, seberapa urgent sih, Pak, penataan kota ini, sampai-sampai suara-suara warga panjenengan sepelekan? Apa dampak buruk kabupaten tercinta kita ini kalau nggak ada Tugu Tobong Gamping?
Keinginan warga itu sebenarnya sangat, sangat, sederhana lho, Pak. Masyarakat cuma pengin diaruhke, disapa, didengar, dan diuwongke saja. Bapak sendiri lho yang bilang kalau partisipasi warga masyarakat itu penting untuk membangun Gunungkidul. Tapi, kenapa sekali warga bersuara, Bapak abaikan begitu saja?
Warga Gunungkidul itu sudah lama puasa bicara lho, Pak, terlebih masalah pengelolaan tempat wisata itu. Kami sering banget menahan diri untuk tidak ikut berkomentar ketika para investor datang ke tanah kelahiran “merebut” lingkungan hidup di Bumi Handayani.
Sejak dulu, kami sudah sangat khatam diiming-imingi dan dijanjikan akan dilibatkan dalam pengelolaan wisata ketika ada seorang investor datang membangun wisata mewah di sekitar rumah, tapi fakta di lapangan, kami tak lebih sekedar cuma jadi penonton saja. Bahkan, untuk buka lapak kecil-kecilan pun kadang harus berhadap-hadapan sama para pemodal yang tentu punya tenaga jauh lebih besar.
Pak Bupati tahu betul dong dengan kebijakan pemkab sebelumnya yang memutuskan membuka wisata Heha Sky View di awal masa pandemi, tepatnya pada Mei 2020 lalu. Kebijakan ini dinilai janggal oleh warga karena dari sekian banyak tempat wisata di Gunungkidul, cuma Heha Sky View saja yang dibuka. Sementara, kawasan tempat wisata, terutama yang dikelola warga (baca: banyak pedagang kecil), ditutup karena alasan pandemi.
Ya, saya paham betul bahwa pemilik Heha Sky View “bukan orang sembarangan” dan disebut-sebut sebagai salah satu investor terbesar di Jogja. Maaf, Pak, saya mau tanya, apakah alasan ini juga setiap kali panjenengan bikin kebijakan-kebijakan kok seperti ada kesan memihak mereka yang punya modal besar? Sedangkan kami, yang sejak lahir hidup dan tumbuh di sini, justru acap kali Bapak abaikan. Btw, sebesar apa sih, Pak, “cengkeraman” investor di Bumi Handayani ini? Kok sampai sebegitunya?
Memang, itu semua hak Pak Bupati sebagai pemangku daerah untuk mengambil keputusan. Saya tahu, banyak hal yang mungkin panjenengan pertimbangkan. Tapi, bukankah sudah seyogyanya kalau seharusnya warga juga dilibatkan dalam musyawarah pembahasan pembangunan daerah?
Ini mengingatkan pada 2017 lalu, bupati sebelumnya, tiba-tiba saja melakukan revitalisasi pembangunan patung sapi di Desa Kepek, Kecamatan Wonosari, yang (konon) menghabiskan anggaran Rp100 juta itu. Patung sapi yang semua berdiri kokoh itu tiba-tiba diganti patung sapi duduk. Tak ayal, dulu banyak warga sekitar yang protes karena sebelumnya nggak diajak musyawarah terlebih dahulu.
Baca halaman selanjutnya
Warga protes bukan cuma masalah patung