Surat ini tepat saya tulis pada peringatan Hari Anak Perempuan Sedunia, tanggal 11 Oktober 2019.
Semoga Bapak Ibu senantiasa sehat wal afiat dan selalu dalam lindungan-Nya. Semoga kalian juga selalu bangga punya anak perempuan, seperti saya.
Pak, ternyata menjadi anak perempuan sedikit enak, banyak tidaknya. Sedikit gampang, banyak susahnya.
Ngomong-ngomong, saya bangga lho pak. Dilahirkan sebagai perempuan. Spesial rasanya. Ada Hari Anak Perempuan, Hari Perempuan, juga Hari Ibu. Setiap masa ada peringatannya .
Untungnya, Ibu melahirkan saya di zaman yang sudah (lumayan) terang benderang ini. Coba kalau zaman jahiliyyah (pra-Islam) dulu lahirnya, bisa-bisa saya tidak akan mengenal dunia yang sangat warna-warni ini. Konon, lahirnya anak perempuan dahulu dianggap sebagai aib, karenanya setiap punya anak perempuan wajib dibunuh. Hiii serem ya, Bu.
Bapak kan laki-laki, katanya kalau anak perempuan itu ikatan kuat hatinya sama Bapaknya. Kalau memang begitu, Bapak mengerti nggak gimana perasaanku jadi anak perempuan? Kadang saya ingin sekali jadi anak laki-laki, Pak. Dia ngelakuin apa aja seringkali nggak dianggap tabu sama masyarakat.
Masalah sepele saja nih ya, Pak. Perempuan hobi minum kopi saja masih sering dianggap tabu. Memangnya kopi itu punya gender ya, Pak?
Bu, kenapa kok anak perempuan seringkali diperlakukan beda sama anak laki-laki? Waktu di Sekolah Dasar, guruku sering bilang, “Ayo yang perempuan aja yang nyapu, kalau anak laki-laki mesti nggak bersih.” Lah kok enak banget jadi laki-laki dibolehin nggak usah nyapu? Aku juga mau lah, Bu.
Pak, dulu saya juga ingin jadi anak laki-laki (mungkin sampai sekarang sih sebenernya) hehe. Bapak ingat, dulu masih Sekolah Dasar, saya pernah main ke studio musik sama teman-teman sekolah, lalu Bapak bilang, “cah wedok kok ngeband.” Lah memangnya kenapa, Pak? Dulu waktu saya sudah beranjak remaja dan belum bisa masak nasi, “cah wedok kok nggak bisa masak nasi). (cah wedok (jawa): anak perempuan))
Pak, saya masih bertanya-tanya. Kenapa kok laki-laki makan di warung makan itu biasa, sedangkan perempuan makan di warung makan dibilang nggak sopan? Padahal perempuan bisa lebih sopan lho, Pak.
Kenapa sih Pak, Bu, jadi anak perempuan itu banyak salahnya dan banyak aturan-aturannya?
Kalau lihat teman-teman saya yang laki-laki, boleh main sampai jam berapa aja. Beda sama Bapak Ibu, pasti bilang, “cah wedhok pulangnya jangan kesorean.” Tapi ternyata itu juga tidak hanya saya jumpai di rumah saja. Di asrama tempat saya tinggal setelah lulus dari Sekolah Dasar, ternyata juga sama. Peraturan di asrama putra dan putri sangat dibedakan.
Asrama putra dibolehkan keluar malam, asal sebelum jam 12 malam harus sudah pulang. Sedangkan asrama putri gerbang akan ditutup sebelum jam 6 sore. Terima kasih Pak, Bu, saya sudah dibiasakan untuk tidak keluar malam. Saya tahu, itu semata Bapak Ibu menyayangi dan melindungi saya dari bahaya apapun.
Tapi Pak, Bu. Bukankah seiring berjalannya waktu saya ini semakin beranjak dewasa? Tentunya saya semakin bisa berpikir membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Tentunya saya juga berkemampuan untuk menjaga diri saya sendiri kan. Tidak seharusnya dituntut untuk tidak dibebaskan bepergian. Toh, kalau saya pergi juga selalu jelas memang ada keperluan.
Bu, saya akhir-akhir ini juga mengikuti isu feminisme dan saya juga sangat mendukung lawan budaya patriarki. Saya sangat mendukung kesetaraan gender, perempuan harus diberi ruang yang sama di mana saja, menjadi apa saja, dan tidak melulu dibedakan posisinya dengan laki-laki.
Saya bukan ngeyel atau tidak nurut. Tapi di Bumi yang semakin berkemajuan ini anak perempuan harus mendapat hak perlakuan yang sama, Bu. Ini juga tidak semata pergerakan yang tidak berfaedah, justru ini adalah wujud kami dalam mendukung persamaan derajat dan posisi untuk selanjutnya agar perempuan tidak lagi dinomorduakan.
Sekali lagi, terima kasih Pak, Bu. Karena sudah melahirkan saya sebagai seorang perempuan, menjadi anak perempuan yang selalu dalam lindungan kasih sayang kalian. Karena dengan lahirnya saya sebagai perempuan, saya mendapati banyak pelajaran tentang arti perjuangan. Semoga saya selalu bisa menjadi anak perempuan Bapak dan Ibu yang patut dibanggakan, dan sesuai harapan-harapan kalian.
Maafkan, karena saya kadang iri dengan anak laki-laki, dan menyalahkan kalian, “kenapa sih kok saya nggak dilahirkan Bapak Ibu jadi anak laki-laki saja?” Itu semata saya ingin memperjuangkan hak kesetaraan yang sama, agar kami para perempuan tidak dipandang sebelah mata di ranah privasi maupun publik.
Aku sayang Ibu dan Bapak.
Salam cinta,
Anak perempuanmu
Dulu, kini, dan sampai nanti. (*)
BACA JUGA Untuk Perempuan Berjilbab Besar yang Bonceng Sepeda Motor: Lampu Sein Belakang Itu Bukan Aurat, Jadi Tak Perlu Ditutupi atau tulisan Lulu Erzed lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.