Selamat ulang tahun kota yang ke-108 tahun kota Malang! Kolaborasi, Akselerasi dan Bangkit Bersama. Tagline satu abad lebih yang luar biasa. Tulisan ini saya hadiahkan sebagai kado dari pendatang untuk Bapak Wali Kota Malang, Drs. H. Sutiaji.
Pada pertengahan Maret lalu, publik kota Malang dan netizen seluruh Indonesia dikejutkan oleh tindakan kontroversial Pak Sutiaji, Wali Kota Malang. Beliau mengimbau para camat dan lurah untuk instal MiChat, aplikasi dating yang didapuk sebagai biang prostitusi di kota Malang.
Imbauan itu dikeluarkan menyusul adanya belasan orang yang diamankan Satpol PP di wilayah Tlogomas dan Dinoyo. Sutiaji menilai Malang Kota dalam keadaan darurat prostitusi. Sehingga perlu segera diberantas, apalagi kota ini mencanangkan diri sebagai halal city alias kota halal.
Persoalan label halal city memang patut diacungi jempol. Apalagi kota Malang sebagai gudang dari mahasiswa dan pelajar memang sudah semestinya terbebas dari jerat prostitusi. Namun, di balik gembar-gembor kota halal, ada hal genting yang seolah luput dari suluk mata Pak Wali Kota.
Sejujurnya, Pak, saya bukan warga Malang Kota, hanya saja sudah empat tahun ini saya merasakan kota ini yang mulai berubah. Dari perubahan, biasanya muncul masalah. Nah, dari segala masalah itu, sebenarnya ada hal yang lebih penting ketimbang prostitusi ini adalah kelola kota. Dan apa yang bisa kita lihat dari kelola kota yang buruk? Yak, kemacetan.
Konsep kota halal sudah baik, punya tujuan yang jelas, sulit untuk mencari celah. Namun, kemacetan ini jadi semacam bibit penyakit, yang menggerogoti indah dan dinginnya kota Malang. Kemacetan sekaligus jadi bukti kalau tata kelola kota ini belum cukup baik—untuk tidak menyebutnya jelek.
Kemacetan terjadi di lima kecamatan yang ada di Kota Malang. Kecamatan Lowokwaru saya klaim jadi salah satu yang paling parah. Saya merasakan betul setiap sore saat jam pulang kerja, macet di daerah Merjosari dan Dinoyo sudah nyaris mirip di Jakarta.
Apalagi macet selepas hujan reda, saya kadang harus misuh-misuh sendiri di tengah jalan. Sebagai pengendara motor saja saya sudah merasa jengah, apalagi yang menggunakan mobil. Bisa jadi kakinya sampai lecet harus nyeimbangi kopling dan rem.
Selain tulisan ini yang membahas soal macet di kota Malang, Mas Iqbal AR ternyata pernah menulis 5 Titik Kemacetan di Malang Raya yang Bikin Kepala Pusing dan Naik Darah. Dari tulisan itu, macet di kota Malang kalau diibaratkan penyakit, sudah sampai pada tahap kronis.
Dari sudut pandang pengamatan saya, sebenarnya ada tiga penyebab kemacetan di kota Malang. Pertama, macet terjadi karena ada momentum hajatan. Entah izin dari siapa, tapi jelas-jelas hajatan itu meresahkan. Hajatan ini yang menyebabkan jalan raya punya dwifungsi. Selain sebagai lalu lalang kendaraan, juga berfungsi sebagai tempat terop dan tata rias pengantin.
Ya mau gimana, kalau jalan sudah beralih fungsi jadi tempat hajatan, mau tak mau ya harus melakukan pengalihan jalan. Nah, inilah yang menyebabkan kemacetan.
Kedua, macet karena hari libur panjang. Malang adalah destinasi wisata. Meski tak seterkenal Jogja, tapi tetap saja kota ini punya daya tariknya tersendiri. Masalahnya, jalan di kota ini sempit. Yang terjadi adalah jalan jadi sesak gegara wisatawan yang datang plus akamsi yang berkeliaran.
Benar, memang itulah efek samping yang tak bisa dihindari jika kota jadi jujugan wisata. Masalahnya, kalau tata kotanya bagus, lak yo kemacetan bisa diminimalisir kan?
Ketiga, dan yang paling mengesalkan, adalah parkir yang tak tertata alias sembarangan.
Parkir sembarangan bisa dibilang sudah jadi budaya. Hal ini tak pernah eksklusif milik kaum tertentu. Semua jadi pelaku. Kalau ingin bukti, silakan lihat Jalan Soekarno Hatta hingga Dinoyo, banyak orang parkir sembarangan. Apalagi di daerah jalan sempit sekitar Sigura-gura, Merjosari, atau Tlogomas, akan Anda temui kendaraan yang parkir sembarangan.
Bahkan saya pernah menyaksikan seorang pengendara sepeda motor yang nyaris berkelahi dengan pemilik mobil mewah yang parkir sembarangan. Barangkali si pengendara motor itu kesalnya sudah tak tertahan. Dari kejauhan saya melihat, beberapa saat sebelum peristiwa, dia misuh sembari meludah ke arah si pengendara mobil. Mungkin, seandainya perkelahian itu bebas, sudah babak belur si pengendara mobil itu. Beruntung pengendara lain sigap memisah kedua orang itu.
Saya pikir, Pak Wali, instruksi untuk mengunduh MiChat itu sebaiknya tidak dijadikan fokus utama. Ada hal yang lebih penting, yaitu tata kota. Saya tahu, pemberantasan prostitusi itu sama pentingnya dengan tata kota. Tapi, bukankah keduanya juga bisa beriringan, dan pantas untuk diberi eksposur yang sama?
Selain mewajibkan mengunduh MiChat, sebaiknya Bapak juga menertibkan pegawai Bapak. Berkali-kali saya melihat mobil plat merah dengan kode N Malang parkir sembarangan. Nah, bagaimana menegakkan moral kalau aturan saja tidak ditaati?
Padahal, sebentar lagi puasa. Yang artinya, akan banyak orang jualan takjil di pinggir jalan, dan itu bisa bikin kemacetan. Maka dari itu, jangan hanya MiChat yang diperhatikan, kemacetan juga, Pak!
Penulis: Dani Alifian
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 5 Jalan di Malang yang Lebih Pantas Disebut Rintangan Benteng Takeshi