Surabaya Nyaman bagi Mahasiswa, tapi Bikin Pekerja Nelangsa

Surabaya Nyaman bagi Mahasiswa, tapi Bikin Pekerja Nelangsa

Surabaya Nyaman bagi Mahasiswa, tapi Bikin Pekerja Nelangsa (Pixabay.com)

Saya baru saja membaca artikel tentang Kota Surabaya yang disebut-sebut sebagai kota paling nyaman di Jawa Timur asal tukang parkirnya disingkirkan. Dalam artikel tersebut ditulis alasan yang membuat Surabaya nyaman adalah fasilitas lengkap, gaji tinggi, dan ragam kulinernya. Mungkin Mas Adhitiya Prasta Pratama yang menulis artikel tersebut masih mahasiswa. Kalau statusnya buruh mah beda cerita, Surabaya tetap membuat kelas pekerja nelangsa juga.

Soal kuliner, bolehlah kita sebut Surabaya kaya. Tapi, soal gaji tinggi? Yo sek’talah, jangan terburu-buru menyimpulkan seperti itu. Kalau kita bandingkan UMK Surabaya dengan UMK Kabupaten Bojonegoro memang Surabaya lebih tinggi. Akan tetapi, kalau kita bandingkan UMK Kota Pahlawan dengan biaya hidup di sana sendiri, nilainya menjadi nggak tinggi lagi.

Gaji UMK susah punya rumah di Surabaya

Percayalah, kalau gaji kalian hanya UMK Surabaya, meski setiap hari makan nasi dan garam, kalian nggak akan mampu membeli rumah di Surabaya, kecuali rumah tersebut warisan orang tua atau hadiah dari Tuhan. Saya nggak ingin menakut-nakuti, tapi begitulah faktanya.

Kita ambil contoh perumahan di sekitar kampus UNESA Ketintang—sepertinya banyak penulis Terminal Mojok kuliah di sini—misalnya saja perumahan Sakura Regency. Harga rumah di sini yang paling murah Rp2 miliar, rata-ratanya Rp2,8 miliar. Kalau UMK-nya Rp4,7 juta, apakah bisa membeli rumah seharga Rp2,8 miliar tersebut?

Mari kita hitung-hitungan sederhana, anggap saja kita hanya mengeluarkan uang makan dan biaya hidup lainnya sebesar Rp700 ribu, sisa Rp4 juta kita pakai untuk membayar cicilan rumah. Kalau harga rumahnya Rp2,8 miliar, berarti dengan uang Rp4 juta kita buutuh wakt 700 bulan atau 58 tahun untuk mencicil rumah tersebut.

Apakah ada bank yang akan memberikan tenor sepanjang itu? Lagi pula harga Rp2,8 miliar tersebut adalah harga rumahnya, belum sama bunga, lho. Jadi, kalau gaji kalian hanya UMK Surabaya, memang sebaiknya nggak perlu bermimpi tinggi bisa membeli rumah di Sakura Regency. Takutnya nanti malah stres sendiri.

Baca halaman selanjutnya: Pekerja Surabaya beli rumah di daerah pinggiran…

Pekerja Surabaya bisa beli rumah, tapi di daerah pinggiran

Apakah artinya pekerja Surabaya nggak bisa membeli rumah? Ya tetap bisa kalau membelinya di daerah pinggiran. Misalnya di Sukodono atau Benowo yang harga rumahnya masih ada yang Rp800 jutaan. Atau bisa juga membeli rumah di daerah sekitar Surabaya seperti Sidoarjo dan Gresik.

Namun perlu diingat, pekerja Surabaya dengan gaji UMK dan cicilan rumah rasanya mustahil bisa berbahagia kalau nggak pandai bersyukur. Selain harus hemat dalam hal makanan, mereka juga nggak boleh healing jauh-jauh. Cukup cari hiburan gratisan saja biar uang cukup untuk menyambung kehidupan esok hari. Sebab, selain harga rumah mahal, biaya hidup di sini juga cukup mahal. Parkir motor di sebelah Royal Plaza saja bisa Rp10 ribu, Rek, kalau bulan Ramadan seperti ini.

Banyaknya taman di Surabaya yang dilengkapi playground dan pohon rindang juga lebih tepat disebut sebagai program belas kasihan Pemkot Surabaya kepada warganya yang gajinya pas-pasan. Supaya anak-anak buruh bisa bermain di taman. Pemkot sepertinya tahu persis kalau UMK Surabaya nggak akan cukup untuk rekreasi mahal, jadi dibuatlah taman gratisan tersebut supaya warganya nggak stres dan mati muda. Duh, luar biasa sekali. Terima kasih, Pemkot Surabaya.

Pekerja di Surabaya bisa lebih ngenes lagi kalau gajinya dibawah UMR. Mojok baru-baru ini menulis liputan tentang hal tersebut. Ternyata masih banyak sekali pekerja di Kota Pahlawan yang gajinya hanya Rp2 juta. Apa nggak nangis? Gaji sekecil itu harus bergelut dengan biaya kos, makan, transportasi, hingga skincare. Memangnya buruh nggak butuh cantik dan tampan? Butuhlah!

Keseringan dipuji

Sebagai orang yang hidup selama puluhan tahun di Surabaya, saya sudah sering mendengar kota ini dipuji. Kota Surabaya disebut sebagai kota yang bersih, banyak taman, dan sederet hal-hal indah lainnya. Bahkan baru-baru ini Kota Pahlawan kembali mendapatkan penghargaan Adipura Kencana yang pialanya kemudian diarak oleh Wali Kota Surabaya di sekitar Balaikota dan Jalan Tunjungan. Perlu pembaca Mojok tahu, kota kami mendapatkan penghargaan tersebut selama delapan kali berturut-turut. Kota metropolitan lain belum ada yang menandinginya.

Saya rasa, lawan sesungguhnya Kota Pahlawan bukanlah kota besar lain di Indonesia, melainkan dirinya sendiri. Jika dibandingkan dengan kota besar lain, boleh jadi Surabaya memang keren dan menarik untuk ditinggali. Terbukti dengan banyaknya penghargaan dan juga pendatang di kota ini.

Sudah saatnya introspeksi diri

Ada banyak masalah penting yang terjadi meskipun sudah berganti wali kota. Permasalahan tersebut belum teratasi juga, yang ada malah makin parah saja. Contohnya, banjir yang masih menghantui warga, transportasi umum yang belum memadai, dan juga pengolahan sampah yang buruk.

Asal tahu saja ya, saat Gelora Bung Tomo terpilih sebagai venue final Piala Dunia U-17, di sebelah stadion ada tumpukan sampah yang hanya disemprot pengharum dan ditutupi terpal agar telihat estetis dan bersih. Pengolahan limbah macam apa itu?

Selain itu, sampai tulisan ini dibuat, masih banyak sekali daerah di Surabaya yang bertarung dengan masalah banjir. Lucunya, persoalan banjir tersebut sering kali diselesaikan dengan cara yang sangat out of the box, yaitu dengan mengatakan jika Surabaya nggak banjir, tapi tergenang. Air sudah setinggi roda mobil masih saja dibilang bukan banjir, tapi genangan.

Duh, kalau begini caranya mau kiamat kurang dua hari sekalipun masalah banjir di Surabaya nggak akan selesai, malah bisa-bisa saingan dengan Semarang perkara banjir ini. Pak, Buk, pejabat di Surabaya, nggak perlu nunggu Pilkada untuk menyelesaikan banjir, langsung sekarang saja.

Percayalah, saya mencintai Surabaya, rasa cinta itulah yang membuat saya ingin melihat kota ini lebih bagus lagi. Kita bisa kok lebih dari saat ini, APBD Surabaya itu besar, Bos. Jika dikelola dengan baik, semua masalah di atas pasti bisa selesai, kok.

Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Setelah Berkeliling Indonesia dan Tinggal di Kota-Kota Besarnya, Saya Bersyukur Pernah Tinggal di Surabaya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version