Gara-gara platform Merdeka Mengajar, saya berani bilang bahwa Nadiem Makarim adalah menteri pendidikan terbaik setelah Reformasi.
Hidup sebagai guru di masa sekarang ini, dibilang susah, ya, susah. Dibilang gampang, ya, gampang. Sama lah seperti profesi lain pada umumnya. Tapi, hari ini saya mau cerita soal gampangnya saja, terutama kemudahan yang terjadi akibat adanya transformasi teknologi di bidang pendidikan.
Dulu, mencari bahan mengajar itu sulit. Buku-buku referensi terbatas, teknologi belum seterbuka sekarang. Pembelajaran hanya sebatas transfer ilmu dari guru ke murid dengan memanfaatkan buku-buku pelajaran yang dikeluarkan oleh pemerintah. Akibatnya, pembelajaran sering kali hanya bertumpu pada metode ceramah guru. Membosankan. Bukan gurunya, tapi metodenya.
Tapi lihat sekarang, transformasi teknologi di bidang pendidikan telah membuat kegiatan mengajar menjadi begitu bergairah karena bahan ajar begitu mudah ditemukan. Salah satunya, yaitu melalui platform Merdeka Mengajar. Mau bahan ajar bentuk apa? Mau materi apa? Semua ada. Guru tinggal mencari saja sesuai dengan kebutuhan. Murid senang, guru pun tenang.
FYI, platform Merdeka Mengajar adalah platform yang bekerja sama dengan GovTech Edu, yang merupakan bagian dari unit PT Telkom Indonesia. Terdiri dari 400 lebih profesional muda yang berasal dari berbagai latar belakang seperti perusahaan decacorn, unicorn teknologi, firma konsultan, manajemen hingga perusahaan multinasional, GovTech menjadi bagian dalam membangun ekosistem teknologi pendidikan untuk mencapai transformasi yang berkelanjutan.
Sosok pembesut superapp yang kini sudah dipergunakan jutaan guru ini adalah Yeti Khim, seorang perempuan keturunan Korea-Amerika yang dikenal Mas Menteri Nadiem saat Yeti bekerja di GoFood. Awalnya, hanya ada tim kecil yang beranggotakan 10-20 orang bekerja bersama Yeti. Namun sekarang, seperti yang sudah disebutkan di atas, anggota tim Yeti sudah mencapai 400 orang. Hebatnya lagi, 50 persen timnya adalah perempuan. Mantap!
Wait. Ini platform yang waktu itu sempat bikin gonjang-ganjing jagad Twitter, ya?
Persis.
Duh, memang, ya, nggak gelut nggak asik. Ada saja yang diributkan oleh netizen. Padahal, sebagai guru saya merasa sangat terbantu dengan platform Merdeka Mengajar. Bayangkan, melalui platform ini, guru dapat memperoleh materi pelatihan berkualitas dan dapat beragam video inspiratif dengan akses tidak terbatas. Jangan tanya berapa banyak jumlah videonya. Banyak, Ngab. Banyak.
Oke, platform ini mungkin dikembangkan oleh pro hire. Namun, apakah itu menjadi masalah? Bukankah hal tersebut lumrah? Apalagi, jika kapabilitas existing pegawai memang belum mumpuni. Kalau soal pengabdian dan integritas, ehm, pegawai ASN mungkin nomer 1 (S&K berlaku). Namun untuk kompetensi? Kita sama-sama tahu jawabannya.
Padahal, transformasi pendidikan adalah pekerjaan yang krusial. Kompleksitasnya tinggi. Ada banyak yang harus diurus mulai dari jutaan siswa, guru, sekolah, termasuk kondisi geografis dan demografis yang menantang. Tapi kalau nggak dimulai sekarang, mau kapan lagi? Nunggu ada SDM kita yang kompeten supaya nggak perlu merekrut pro-hire? Yakin?
Sekadar mengingatkan, survei CEOWorld tahun 2020 menyebutkan Indonesia ada di peringkat 70 dunia dalam hal kualitas pendidikan. Lha kalau tidak segera dibenahi, apa nggak semakin merosot peringkatnya? Di sinilah kita membutuhkan teknologi. Teknologi, dapat menjadi percepatan untuk mengejar ketertinggalan dalam hal kualitas pendidikan. Maka, transformasi teknologi yang dilakukan Kemendikbud Ristek bersama GovTech Edu sudah sepatutnya kita apresiasi, bukannya malah dicari-cari kesalahannya.
Orang-orang kalau geger tentang sesuatu, kenapa nggak pernah ngelihat realitas dulu sih? Sukanya kok bikin lompatan kuantum.
Perlahan namun pasti, transformasi teknologi pendidikan yang dibawa oleh Nadiem Makarim mulai terasa dampaknya. Yang paling sederhana, ya, itu tadi. Guru jadi mudah untuk menemukan dan mengembangkan bahan ajar. Kalau dampak secara lebih menyeluruh, ya, sabar. Transformasi teknologi pendidikan itu tidak seperti menanam buah delima yang bisa dipanen hasilnya dua bulan setelah ditanam. Butuh banyak amunisi untuk bisa sampai di tujuan. Merdeka Mengajar, itu baru langkah pertama, tapi ya udah jadi langkah yang bagus.
Memimpikan kualitas pendidikan kita seperti di Inggris atau Irlandia memang too good to be true. Namun, meski tertatih dan kadang terjatuh, sebagai guru saya merasa pendidikan di negeri ini sedang menuju ke arah yang lebih baik. Setidaknya, lebih baik dalam hal transformasi teknologi. Kalau dalam hal regulasi, ya, mbuh. Yang jelas dan yang harus di-highlight adalah, transformasi teknologi pendidikan itu penting dan harus didukung. Titik.
Untuk Pak Nadiem dan kawan-kawan di Kemendikbud Ristek, selamat bekerja. Lanjutkan transformasi teknologi pendidikan yang sudah kalian lakukan. Kami pasrahkan nasib dunia pendidikan di negeri ini pada kalian. Jika ada yang meremehkan, mengecilkan dan me- me- yang lainnya, abaikan. Nyatanya, Merdeka Mengajar memang memudahkan kami, para guru. Sejarah telah membuktikan, banyak penemu yang diragukan oleh sekelilingnya ketika mereka berproses. Namun apa yang terjadi? Para penemu itu tak gentar, tetap berproses, menelan kegagalan demi kegagalan sebelum akhirnya hasilnya bisa dinikmati oleh yang hidup di masa kini.
Sudah tahu kan kenapa saya bilang Nadiem Makarim adalah menteri pendidikan terbaik setelah Reformasi. Memang, beliau ada kurangnya di sana-sini, tapi, menurut saya, akhirnya ada menteri yang beneran punya dampak positif. Setidaknya, saya mengalami itu.
Sumber gambar: Akun Instagram @nadiemmakarim
Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Melacak Pencipta Linting Daun, Lagu TikTok Paling Fenomenal