Di negeri yang setiap sudutnya punya cerita, menjadi mahasiswa itu adalah sebuah pencapaian. Tapi jadi mahasiswa S2? Itu lain lagi ceritanya. Ada semacam aura superior yang langsung menempel, seperti debu yang enggan pergi dari kemeja kesayangan. Nah, aura ini akan makin terasa kental ketika orang-orang tahu kita lanjut kuliah S2 di Universitas Trisakti.
Sebagai mahasiswa baru jenjang S2 Trisakti, saya baru menyadari berbagai ekspresi dan komentar dari orang lain. Dari yang nyinyir, memuji, sampai yang cuma bisa mangap saking bingungnya. Reaksi-reaksi ini tidak datang begitu saja. Ia adalah hasil dari stereotip dan sejarah panjang yang melekat pada nama besar Trisakti. Apalagi saya mengambil jurusan yang nggak linear dengan jenjang S1 dulu, yakni dari Agronomi ke Ilmu Ekonomi.
Berikut 5 stereotipe yang saya dapatkan karena lanjut kuliah S2 di Universitas Trisakti.
#1 “Kuliah di Universitas Trisakti jadi aktivis, ya?”
Ini menjadi pertanyaan paling klise yang sudah saya antisipasi sejak hari pertama mendaftar. Nama Trisakti memang tidak bisa dipisahkan dari sejarah pergerakan mahasiswa, terutama tragedi 1998. Bagi orang-orang yang hidup di era itu, Trisakti adalah sinonim dari kata aktivis.
Bahkan ibu saya sendiri mengatakan kurang lebih begini, “Nggak usah ikut demo-demo. Nggak usaha berlagak jadi aktivitas yang turun ke jalanan.”
Mendengar itu saya cuma bisa tersenyum masam dan pastinya kaget. Padahal tugas S2 saya lebih banyak berkutat dengan paper dan laporan, bukannya spanduk dan megafon. Tapi sudahlah, stereotipe jadi mahasiswa Universitas Trisakti memang begitu adanya.
#2 “Jadi S2-nya mau jadi apa? Menteri Keuangan?”
Kesan ini biasanya datang dari orang yang sudah tahu reputasi Fakultas Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti yang memang kondang. Di mata mereka, Trisakti adalah pabrik pencetak menteri dan anggota DPR yang terkenal. Padahal saya mengambil S2 Ekonomi biar saya paham tentang pasar, mana tau jadi Menteri Pertanian, kan.
Percuma juga buat menjelaskan, jadi kalau mendengar kata-kata demikian, biasanya saya jawab dengan senyuman tipis saja daripada capek sendiri. Orang-orang lebih percaya pada apa yang mereka lihat dan dengar selama ini. Seakan-akan kalau sudah lanjut S2 Trisakti dan tidak jadi anggota DPR, saya hanya akan membuang wktu dan biaya. Ini adalah bukti bahwa nama besar sebuah fakultas cukup berpengaruh.
#3 “S2 Universitas Trisakti mahal, kamu anak orang kaya, ya”
Tentu saja ini adalah stereotipe yang paling sering saya dengar setelah “mahasiswa aktivis”. Semua orang tahu kalau biaya kuliah di universitas swasta nggak main-main, begitu juga dengan Trisakti. Komentar ini biasanya dilontarkan dengan nada yang campur aduk. Ada rasa kagum, iri, dan penasaran.
Saya pernah dikira anak orang kaya gara-gara lanjut kuliah S2 di Trisakti. Padahal saya harus kerja serabutan dan menabung mati-matian untuk bisa membayar uang pangkal, uang gedung, dan UKT sendiri tanpa bantuan orang tua, apalagi pemerintah. Komentar-komentar seperti ini membuat saya punya beban moral, seolah saya harus bisa membuktikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan sepadan dengan hasil yang saya dapat.
#4 “S2 di sana pasti susah”
Reaksi ini datang dari orang yang punya respek terhadap pendidikan. Mereka tahu bahwa Trisakti adalah salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia, yang tidak akan memberikan gelar dengan mudah. Mereka membayangkan saya harus begadang setiap malam, bolak-balik perpustakaan, dan bertemu dosen killer.
Di satu sisi, saya merasa bangga karena dianggap punya intelektualitas tinggi. Tapi di sisi lain, saya jadi takut untuk melakukan kesalahan. Seakan-akan saya tidak boleh gagal karena kegagalan saya akan merusak reputasi Trisakti di mata mereka.
#5 “Kalau sudah sukses, jangan lupakan kami”
Sebenarnya ini bukan stereotipe. Ini adalah komentar yang saya terima dari teman-teman dekat yang melihat perjuangan saya. Bayangkan, teman-teman saya tahu perjuangan saya bisa kuliah di Universitas Trisakti karena saya harus bolak-balik Cileungsi-Grogol tiap ada jadwal kelas tatap muka. Pulang kerja pun bukannya ke rumah, tapi ke kampus.
Teman-teman berkomentar demikian bukan tanpa alasan. Ada stereotipe mengenai Trisakti yang katanya merupakan gerbang menuju kesuksesan. Jadi begitu saya memutuskan lanjut kuliah S2 di Trisakti, teman-teman percaya bahwa saya akan menjadi orang sukses. Ini bukan komentar bisa, tapi juga sebuah doa dan harapan yang membuat saya jadi termotivasi.
Itulah beberapa stereotipe mengenai mahasiswa Trisakti yang saya dengar. Saya sih berusaha nggak kaget karena percaya di balik semua komentar di atas, ada juga harapan dan kepercayaan yang sudah melekat pada nama besar Universitas Trisakti. Tinggal menikmati perjalanan kuliah S2 ini sambil membuktikan bahwa saya lebih dari sekadar stereotipe.
Penulis: Dodik Suprayogi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 5 Kampus Swasta Terbaik di Jakarta: Panduan untuk Anak Muda yang Masih Bingung Mau Kuliah di Mana.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
