Para selir dinasti Joseon dalam drama sageuk sering kali digambarkan ambisius akan kekuasaan.
Drama Korea kolosal kerap kali menampilkan cerita-cerita emosional yang terjadi di masa lalu. Selain mengangkat isu politik dan pencapaian yang telah dilakukan para raja yang pernah memerintah monarki di Semenanjung Korea, nggak jarang pula drakor yang disebut sebagai sageuk itu menyuguhkan kisah cinta sang kaisar.
Saat ini pun sedang tayang satu drama sageuk yang mengangkat kisah cinta antara seorang raja dengan pelayan istana. Dalam drama The Red Sleeve, ditampilkan kisah romansa Yi San, yang kelak bergelar Raja Jeongjo, dengan seorang pelayan istana yang cantik dan pandai bernama Sung Deok Im. Pertemuan demi pertemuan menciptakan rasa sayang dalam diri Yi San, meski pada awalnya hubungan mereka diselimuti oleh kebohongan dan rasa kesal.
Ketika jatuh cinta pada Deok Im, sebenarnya Yi San sudah menikah dengan Lady Kim yang menjadi putri mahkota sekaligus permaisuri ketika dia naik takhta. Saat pernikahan itu terselenggara, Yi San masih berusia sepuluh tahun dan Lady Kim sembilan tahun.
Sung Deok Im, yang berulang kali menolak lamaran Yi San, akhirnya menikah dengan sang bakal raja dinasti Joseon tersebut. Disebutkan bahwa Selir Kerajaan Uibin Sung, gelar Sung Deok Im, adalah selir yang amat disayangi oleh Yi San.
Mungkin sebagian dari pembaca merasa bahwa Sung Deok Im adalah sosok yang kejam karena merebut atensi Yi San, seorang pria beristri, dan membuat cintanya beralih dari Ratu Hyoui, gelar Lady Kim setelah Yi San naik takhta, padanya. Di sebagian besar drama Korea bergenre sageuk, pemandangan ini seakan-akan sudah biasa. Selir diibaratkan seorang perempuan nggak tahu malu yang mencuri laki-laki milik orang lain. Tak jarang pula para selir digambarkan sebagai perempuan yang memanfaatkan pernikahannya dengan seorang sultan kerajaan untuk bisa naik ke kelas sosial teratas.
Profesor Lee Mi Sun dari Departemen Sejarah Korea di Hanshin University menyebutkan bahwa sudut pandang sejarah yang diambil dari kacamata laki-laki menyuburkan stereotip tersebut. Padahal nggak menutup kemungkinan bahwa sang rajalah yang membuka lebar-lebar peluang mencintai perempuan lain. Ini terjadi pada beberapa raja dinasti Joseon yang cerita aslinya sangat sering diangkat jadi film dan drama.
Untuk kasus Yi San, memang benar bahwa ia mencintai Deok Im dan mengangkatnya sebagai seorang selir tingkat satu. Namun sebagai seorang penerus takhta, Yi San ini mendapatkan tekanan dari keluarga kerajaan lainnya, khususnya fraksi pendukung, karena pernikahannya dengan Lady Kim nggak dikaruniai keturunan. Dalam rangka meneruskan pohon keluarga klan Jeonju Yi dan mengamankan kekuasaannya, Yi San harus segera menikahi perempuan lain yang lantas akan diberi titel selir.
Dalam beberapa drama sageuk, selir sering dideskripsikan sebagai seseorang yang haus akan kekuasaan. Selir-selir itu diperlihatkan rela melakukan berbagai cara asal mereka bisa memanjat ke kelas sosial teratas. Beberapa karakter selir dalam karya fiksi dibuat jahat dan ambisius pun ditujukan agar penonton terhibur. Ada, kok, selir-selir baik hati dan cerdas yang memiliki peran besar dalam pemerintahan. Misalnya para selir Raja Jungjong dan Injo yang berperan sebagai penengah antara raja dengan pihak oposisi. Sayangnya setelah dekret Raja Sukjong yang membatasi peran para selir, pengaruh politik mereka ini pada akhirnya sirna.
Ketika menyaksikan dan menyimak The Red Sleeve, kita akan memperoleh sebuah informasi bahwa Deok Im ini berasal dari keluarga yang nggak begitu mampu secara ekonomi. Dia harus berpisah dari keluarganya sebab pada saat dirinya masih muda, krisis finansial membuat keluarganya harus berpencar untuk menghidupi diri mereka sendiri. Deok Im juga harus mengumpulkan uang dengan cara mendongeng di kalangan para pelayan.
Meski begitu, bukan berarti selir ini hanya berasal dari kelas menengah ke bawah sementara ratu didominasi oleh para perempuan bangsawan. Pemilihan selir yang akan menjadi pendamping hidup raja ini terbagi menjadi selir gantaek dan selir bigantaek. Sistem gantaek ini diadakan oleh istana melalui alur yang resmi sebagaimana mereka memilih putri mahkota atau permaisuri. Selir yang terseleksi melalui sistem gantaek ini umumnya berasal dari kalangan bangsawan.
Sementara itu, selir yang terpilih lewat cara bigantaek lazimnya berasal dari kelas menengah hingga bawah. Para gisaeng, wanita penghibur, atau pelayan istana dapat menjadi selir melalui seungeun atau menghabiskan malam dengan raja.
Jadi, selir ini nggak hanya berasal dari kalangan masyarakat biasa maupun pelayan istana. Ada kalanya selir justru berasal dari keluarga yang memiliki kekuatan politik yang cukup terpercaya untuk bisa memperkokoh takhta seorang raja. Masih ingat dengan drakor Mr. Queen, kan? Selir Jo Hwa Jin yang berasal dari klan Poongyang Jo ini memiliki aliansi politik yang berpengaruh sampai-sampai oposisinya, klan Andong Kim menjadikannya sebagai ancaman.
Seorang selir pun memiliki kesempatan untuk bisa “naik level” menjadi seorang permaisuri. Biasanya peristiwa ini terjadi ketika permaisuri raja mangkat. Raja-raja di awal berdirinya dinasti Joseon menerapkan peraturan ini. Akan tetapi, di masa pemerintahan Sukjong, tercipta sebuah hukum bahwa nggak ada lagi peluang bagi seorang selir untuk bisa naik jabatan menjadi ratu. Maka dari itu, banyak keluarga bangsawan pada masa itu yang ragu-ragu untuk mengirim putri mereka untuk menjadi seorang selir karena kesempatan untuk bisa naik takhta adalah nol.
Lalu, apa sih yang didapatkan oleh seorang selir selain fasilitas premium istana layaknya para anggota kerajaan lainnya? Ketika seorang selir melahirkan seorang keturunan ningrat, mereka akan dibangunkan rumah di luar istana yang luasnya mencapai lima belas ribu meter persegi. Penghargaan ini bahkan jauh lebih banyak daripada para pejabat laki-laki yang berpangkat tinggi. Para selir yang berperingkat Jeong 5-pum sampai Jeong 9-pum juga secara rutin menerima gaji dari istana.
Sumber Gambar: Unsplash