Bagi sebagian orang, sapi hanyalah hewan ternak, yang jika tiba waktunya, akan jadi makanan banyak orang. Pokoknya, keberadaannya hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Tak kurang, tak lebih.
Namun bagi sebagian warga, terutama yang tinggal di desa yang mayoritas kepala keluarganya memelihara sapi, ia lebih dari itu. Mereka sudah menganggapnya sebagai bagian dari anggota keluarga. Mereka merawatnya dengan penuh kasih sayang seperti merawat anaknya sendiri. Bahkan ada sebuah anekdot yang berbunyi jika anak tenang, sapi harus kenyang. Kalau anak sakit, sapi tidak boleh menjerit.
Tentu anekdot tersebut menunjukkan betapa sayangnya sang kepala keluarga terhadap anak dan hewan peliharaannya. Jika di suatu kejadian si anak sakit dan di saat bersamaan si sapi melenguh karena kelaparan, apa tidak bingung tuh mikirnya. Mana kalau sudah berteriak berisiknya minta ampun. Saking kencangnya, suara sound system hajatan pun kalah.
Sedikit cerita. Saya mempunyai tetangga. Namanya Mbah Rani. Usianya enam puluhan. Dia punya sapi yang telah dipeliharanya sejak masih pedet. Walaupun di umurnya yang kian menua, tapi semangatnya untuk ngaret (merumput) tidak pernah pudar. Padahal anak-anaknya sudah memberitahu untuk beristirahat di rumah saja. Tetapi Mbah Rani ngeyel. Ya namanya juga orang tua. Katanya kalau istirahat, badannya malah terasa sakit semua.
Setiap hari, tidak pernah absen dia mencari rumput untuk binatang kesayangannya tersebut. Tak lupa membelikan bekatul supaya tambah lemu. Di suatu ketika, sapi Mbah Rani tiba-tiba sakit. Tidak mau makan. Berdiri pun ogah-ogahan. Mbah Rani kemudian memanggil dokter hewan untuk memeriksa. Si sapi disuntik obat dengan harapan keadaannya membaik. Namun, hingga tiga hari ke depan, tidak kunjung sembuh. Dan seminggu kemudian si sapi pun meninggal.
Mbah Rani langsung terduduk lemas. Setelah si sapi dikuburkan di belakang kandang, keesokannya badan Mbah Rani panas. Tidak nafsu makan. Beberapa hari berselang, seiring berjalannya waktu, Mbah Rani berangsur pulih. Dan untuk melupakan kematian sapinya, Mbah Rani membeli pedet kembali dan ngaret lagi. Benar-benar ngeyel orang tua yang satu ini.
Memang, jika seseorang telah lama bersama dengan hewan peliharaannya, secara otomatis memiliki kedekatan batin.
Di desa saya sendiri, banyak juga orang seperti Mbah Rani. Memelihara sapi, merawatnya sepenuh hati, dan menganggap sebagai anak sendiri. Bahkan jika ada peraturan yang memperbolehkan, saya yakin nama sapi akan dicantumkan dalam kartu keluarga mereka.
Orang-orang di desa saya, sudah dalam tahap menganggap ngaret berada satu tingkat dengan makan. Tidak perlu disuruh maupun diingatkan, sudah pasti akan dilakukan. Gerimis pun diterjang untuk mendapatkan rumput.
Berdasarkan pengamatan saya, ada beberapa alasan mengapa orang-orang di desa saya menganggap sapi lebih dari peliharaan. Pertama, sebagai hiburan. Cukup make sense bila dipikir-pikir. Apa sih hiburan yang cocok untuk bapak-bapak di usia senja kalau bukan ngaret? Tidak ada.
Dengan ngaret, mereka bisa menjadikannya hiburan selepas bekerja. Ketika berkumpul pun, topik obrolan mereka juga berkutat pada sapi. Mulai di ladang mana tempat rumput berlimpah hingga keluhan harga bekatul yang kian naik. Bahkan jika ada sapi yang baru melahirkan, bapak-bapak ini akan berbondong-bondong melihat. Istilahnya jagong dalam bahasa jawa. Silaturahmi terjalin erat.
Betapa senangnya bapak-bapak ini jika sapinya melahirkan. Bahkan beberapa hari sebelum melahirkan, mereka akan tidur di kandang. Menunggu. Di saat seperti ini para istri mungkin cemburu karena suaminya lebih perhatian kepada peliharaannya ketimbang dirinya. Saking bahagianya, setelah melahirkan, si bapak akan menggelar selametan. Dengan tujuan agar pedet ini nantinya akan memberikan berkah kepada keluarganya.
Tidak hanya itu, bapak-bapak bahagia melihat sapinya tumbuh gemuk dan subur. Di tengah kecamuk permasalahan dalam rumah tangga, pergi ke kandang menjadi hiburan. Istilahnya begini daripada mendengar istri ngoceh, mendingan mantengin sapi. Ra risiko.
Kedua, aset. Memelihara hewan ini sama dengan menabung. Harganya yang cenderung stabil dan risiko yang sangat minim membuat banyak orang desa yang memeliharanya. Bagi orang desa yang tidak memiliki sawah untuk digarap, hewan ini jadi aset yang berharga.
Bayangkan jika sewaktu-waktu ada kebutuhan yang mendesak, sapi bisa menjadi solusinya. Dijualnya cepat dan langsung dapat uang kontan. Di desa saya rata-rata orang menjual sapi karena beberapa keperluan seperti untuk biaya kuliah atau biaya pernikahan anaknya. Lebih-lebih untuk membeli motor baru.
Seperti halnya bapak saya. Dia punya tiga ekor sapi. Dua betina. Setiap tahun setidaknya melahirkan satu kali. Setiap tahun juga bapak saya menjual satu sapinya. Biasanya untuk modal menanam padi atau jagung. Selebihnya bisa dipakai menggemukkan yang lain.
Ketika beberapa bulan lalu, merebak virus PMK, orang-orang di desa saya sangat khawatir tentang kesehatan peliharaan mereka. Mereka takut jika sampai terkena virus mulut dan kuku tersebut. Bahkan mereka lebih khawatir terhadap virus PMK daripada corona.
Begitulah, sapi bagaikan perhiasan bagi orang desa. Tidak salah juga mereka merawat sebaik mungkin. Bisa jadi hanya sapi yang menjadi tumpuan mereka untuk keperluan mendesak. Tetapi, ingat untuk bapak-bapak, jangan lupa juga ada yang hal yang perlu diperhatikan lebih, yaitu sang istri yang setiap malam menunggu di kamar.
Penulis: Rizky Hadi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sapi Ngamuk Adalah Tragedi yang Paling Diharapkan ketika Penyembelihan Hewan Kurban