Perjalanan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memang penuh intrik. Saya pernah menulis kisah Sultan HB II yang tiga kali naik takhta. Juga kisah keturunan Sultan HB V yang diburu sampai terbuang di Manado. Kali ini, ada Sri Sultan HB VII yang terbuang karena perebutan takhta. Serta bagaimana ungkapan blio yang konon menjadi kutukan bagi raja Jogja selanjutnya.
Intermezzo, artikel ini juga melengkapi memoar bagi leluhur keluarga saya. Karena saya sudah menulis kisah Sri Sultan HB II yang merupakan leluhur saya. Sedangkan Sri Sultan HB VII adalah buyut dari bapak sambung saya. Keduanya memiliki hubungan baik positif maupun negatif dengan Sri Sultan HB V yang juga saya tulis.
Lahir sebagai Gusti Raden Mas (GRM) Murtejo (1839-1931), blio adalah putra Sri Sultan HB VI dengan permaisuri kedua bernama Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Sultan. Meskipun dari permaisuri kedua, GRM Murtejo bisa naik takhta. Karena permaisuri pertama, GKR Hamengku Buwono, tidak memiliki keturunan laki-laki.
Naiknya GRM Murtejo sebagai sultan tidak benar-benar mulus. Permaisuri Sri Sultan HB V, GKR Sekar Kedhaton, menentang pelantikan ini. Menurut blio yang pantas naik takhta adalah GRM Timur Muhammad alias Gusti Ahmad, putra Sri Sultan HB V yang masih kecil saat sang raja meninggal terbunuh. Singkat cerita, GRM Murtejo tetap naik takhta. Gusti Ahmad dan sang ibu terbuang sampai meninggal di Manado.
Pemerintahan yang terhitung baik
Pemerintahan Sri Sultan HB VII sendiri ternilai baik. Sistem sewa tanah yang disepakati dengan pihak Belanda membuat pundi-pundi uang Kraton makin gemuk. Kekayaan berlimpah ini membuat Sri Sultan HB VII dijuluki sebagai sinuhun sugih atau sultan sugih yang berarti sultan kaya. Beberapa sumber juga menyebut blio sebagai sinuhun behi atau sultan behi, yang berarti sama.
Untung pada masa itu tidak ada media sosial. Kalau ada, pasti anak keturunan blio sudah flexing kekayaan seperti menantu sultan hari ini. Ah, intermezzo lagi.
Pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VII, terjadi juga gelombang modernisasi dan nasionalisme. Muhammadiyah pun lahir pada masa pemerintahan blio. Kongres pertama Budi Utomo juga dilangsungkan pada masa pemerintahan Sultan Sugih ini. Bahkan bangunan Loji Mataram dipinjamkan untuk pelaksanaan kongres Budi Utomo pertama.
Perkembangan industri juga gencar pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VII. Belanda serta swasta jor-joran membangun industri, salah satunya pabrik gula. Ada sekitar 17 pabrik gula yang dibangun. Dari setiap pabrik gula, blio mendapat ƒ 200.000 (ƒ = florin, simbol gulden). Wajar saja jika Sri Sultan HB VII menjadi kaya raya.
Tapi, stabilitas ini juga tidak abadi. Pada masa akhir jabatan, sistem sewa tanah tersebut dihapuskan. Diganti dengan sistem apanage yang terkesan baik. Meskipun seluruh tanah dikembalikan sebagai tanah Sultan, namun pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah Belanda. Hasil pengolahan juga tidak masuk ke kantong sultan atau kraton, tapi masuk ke lembaga kas daerah milik Belanda.
Goyangan internal di masa Pemerintahan Sultan HB VII
Pemerintahan Sri Sultan HB VII sendiri juga digoyang secara internal. Putra blio, GRM Sujadi, diangkat menjadi Sri Sultan HB VIII saat blio masih hidup. Pengangkatan ini membuat sang Sultan Sugih harus lengser keprabon. Lengsernya Sri Sultan HB VII sendiri memiliki dua versi.
Versi pertama adalah versi resmi dari Kraton Jogja. Sri Sultan HB VII memilih lengser karena ingin madeg pandita (menjadi pertapa) dengan menyepi. Versi ini dipandang sebagai “pemutihan” dari geger sebenarnya.
Versi kedua penuh konspirasi. Pada 1921, Sultan Sugih yang berusia 81 tahun lengser. Seharusnya pengganti blio adalah putra mahkota pertama, KGPAa Hamengkunegara I. Namun sang putra mahkota meninggal secara misterius. Putra mahkota kedua, KGPAa Hamengkunegara II diberhentikan karena masalah kesehatan. Putra mahkota ketiga, KGPAa Hamengkunegara III, meninggal karena sakit keras. Karena ketiga putra mahkota ini abstain, maka yang diangkat GRM Sujadi yang bergelar Gusti Pangeran Harya Purbaya.
Beberapa sumber menyebutkan, KGPAa Hamengkunegara I terkenal sebagai penolak kebijakan Belanda. Maka Belanda ikut campur tangan untuk mengangkat GRM Sujadi menjadi Sri Sultan HB VIII.
Dengan diangkatnya Sri Sultan HB VIII, maka Sri Sultan HB VII menyingkir dari kraton. Menurut teori, tidak baik ketika dalam kraton terdapat “matahari kembar” atau dua sosok raja. Sri Sultan HB VII “menyingkir” ke daerah Pesanggrahan Ambarukmo. Sekarang situs tersebut berdampingan dengan Hotel Royal Ambarukmo dan Ambarukmo Plaza.
Baca halaman selanjutnya