Saya bertaruh setidaknya Anda pernah sekali “rebutan” bill setelah nge-date sama pacar (kalau sudah pernah punya pacar, hehehe). Hal ini sering terjadi karena beberapa laki-laki merasa punya tanggung jawab dan ego untuk tidak membiarkan perempuannya membayar, dan beberapa perempuan yang masih jaim ingin ikut membayar padahal dalam hati enggan membayar. Alasannya adalah pemahaman tentang “laki-laki yang harus bayar” masih sangat mainstream di Indonesia. Mungkin kalimat ini sudah familiar di telinga perempuan Indonesia: kalau makan sama pacar, jangan sampai kamu yang bayar ya!
Pemahaman ini tak terlepas dari kedudukan gender di Indonesia yang masih timpang. Nggak hanya sekali saya mengenal perempuan-perempuan yang enggan membayar bila sedang jalan dengan pacarnya. Menurut mereka, itu merupakan tanggung jawab sang pacar–yang adalah laki-laki–sebagai bentuk tanggung jawab karena telah mengajak si perempuan keluar rumah. Laki-laki di Indonesia yang mainstream-nya melakukan first move dalam sebuah hubungan pun dianggap sebagai pihak yang harus berjuang–dalam hal ini ngebayarin–demi mendapatkan hati perempuan. Padahal, kalau gender setara, seharusnya baik laki-laki dan perempuan bisa menjadi pihak yang harus berjuang kan?
Nggak hanya sekali pula saya mengamati perempuan-perempuan ini jadi terbiasa dengan laki-laki yang mampu secara finansial karena dapat membiayai ongkos jalan mereka setiap saat. Hal ini kemudian berimplikasi pada pola pikir perempuan tersebut yang ingin selalu dilayani (atau dijajani), kemudian enggan berhubungan dengan laki-laki yang mereka rasa tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka secara finansial. Kadang saya gemas sendiri, dan pengin blak-blakan bilang, “Pacarmu bukan mesin ATM lho Mbak.”
Pernah sekali saya berbincang dengan seorang teman laki-laki yang baru saja putus dengan pacarnya. Ketika ditanya alasan putusnya, ia kemudian berkeluh kesah, “Nggak mau pacaran lagi, ah. Jajannya banyak, kalau ngambek harus dibelikan makanan mahal supaya baikan. Tekor!”
Lho, ini jelas membentuk stigma bahwa pacaran pasti membuat laki-laki bokek, dan perempuan maunya jajan terus dan mintanya dibayarin lagi.
Pemahaman “laki-laki yang harus bayar” ini menurut saya sudah menunjukkan bahwa perempuan pun menempatkan dirinya di bawah laki-laki, tidak setara. Laki-laki yang dianggap dapat memiliki karier lebih baik dari perempuan mampu menghasilkan uang lebih banyak, sehingga harus menopang kemauan “jajan” perempuan yang ia inginkan untuk menjadi kekasih hatinya. Kok rasanya perempuan seperti dibeli dengan uang, ya?
Saya sebagai perempuan, merasa sangat nyaman bila saya dengan pasangan bisa berbagi bill, atau mungkin bahasa kerennya split the bill, supaya kami bisa membayar hasil “jajan” kami masing-masing. Selain lebih adil, saya juga merasa nggak punya hutang yang harus dibayar kepada pasangan (meskipun biasanya pasangan bilang di depan muka kita “aku ikhlas kok sayang,” padahal dalam hati menggerutu).
Belum lagi, kalau kami berdua masih belum mandiri secara finansial, uang pun masih didapat dari orang tua. Nggak malukah kita morotin uang orang tua laki-laki yang kita sayangi?
Saya menulis ini murni karena keresahan pribadi melihat beberapa teman laki-laki yang jadi nggak punya uang untuk kesenangannya sendiri dan teman-teman perempuan yang jadi serakah. Buat saya, menjadi mandiri secara finansial adalah sebuah kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Menggantungkan gaya hidup dan urusan finansial pada orang lain adalah hal yang paling tidak masuk akal menurut saya. Kalau hal sekecil ini saja laki-laki dan perempuan nggak bisa setara, bagaimana di hal-hal yang lebih kompleks?
Lagipula, Anda masih bisa split the bill dengan pasangan kok. Misal, hari ini saya traktir nonton bioskop, besok dia traktir saya makan di kafe. Saling ya, bukan salah satu.
Jangan banyak menuntut kesetaraan gender kepada masyarakat kalau hal sekecil ini saja perempuan nggak bisa memosisikan diri setara dengan laki-laki. Saya mengakui kok, meskipun terkadang laki-laki brengsek dalam hubungan, saya pikir banyak cara untuk balik membrengseki mereka tanpa harus menguras habis uangnya. Hehehe.
BACA JUGA Meminta Oleh-oleh dan Traktiran adalah Budaya Kita atau tulisan Annisa Rizkia Arigayota lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.