Di bulan Ramadan lalu, kampus tercinta saya, Universitas Negeri Malang (UM), tiba-tiba mengedarkan 2 buah surat pemberitahuan. Kedua surat itu, mengabarkan kepada seluruh civitas akademika, bahwa akan segera dibangun Smart Gate System (SGS), di 4 Gerbang Utama UM. Yakni di Jalan Semarang, Veteran, Surabaya, dan Ambarawa.
Berdasarkan surat itu, seluruh warga Universitas Negeri Malang (UM) harus mendaftarkan nomor plat kendaraan bermotornya masing-masing. Ini hanya untuk bisa masuk area kampus tanpa pungutan biaya.
Sementara itu, masyarakat umum yang berkepentingan atau sekadar pengen berkunjung ke kampus, wajib membayar tarif tertentu. Besaran nominalnya belum terang. Sungguh, ini sebuah peraturan yang sangat aneh.
Daftar Isi
Menduga alasan Universitas Negeri Malang (UM) melakukannya
Meski saya langsung keheranan saat membaca surat edaran itu, beberapa teman saya, banyak yang berhusnuzan. Mungkin, pembangunan SGS ini merujuk pada banyaknya kasus pencurian helm atau barang-barang berharga lainnya di dalam kampus.
Harapannya, dengan adanya SGS ini, pihak keamanan Universitas Negeri Malang (UM), akan mudah melacak yang keluar-masuk kampus. Jadinya, kalau ada pelaku pencurian atau orang yang berkunjung ke UM dengan gelagat yang mencurigakan, bisa dengan cepat ditangkap dan diamankan.
Tentu, ini niat yang baik. Walaupun, saya merasa masih ada cara lain yang lebih masuk akal. Misalnya, dengan memperbanyak area pengawasan CCTV dan memperluas kawasan dengan pencahayaan yang baik saat malam hari.
Belum lagi, masih banyak titik-titik lain, di luar gerbang utama, yang bisa menjadi pintu masuk bagi orang asing ke dalam area UM. Khususnya via jalan kaki.
Asumsinya, kalau pencuri atau orang yang berbuat jahat sudah pasti naik kendaraan bermotor, saya bisa paham kenapa SGS ini diberlakukan. Tetapi kalau masih banyak jalan tikus yang bisa diakses oleh warga umum, ya kenapa mesti memberlakukan SGS, sih?
Malah kelihatan banget nyari uangnya
Alih-alih mengamankan area kampus, saya justru melihat, ada tendensi jika kebijakan ini sangat kental dengan nuansa “nyari uang banget”.
Perlu diketahui, sebelum diberlakukannya SGS, di Universitas Negeri Malang (UM) sendiri sudah ada kebijakan-kebijakan berkaitan dengan uang, yang tidak kalah menyebalkan. Misalnya, peraturan wajib transaksi cashless di seluruh kantin. Imbasnya adalah naiknya harga semua makanan.
Selain itu, ada juga peraturan baru yang mengatakan bahwa wisudawan Universitas Negeri Malang (UM) hanya boleh membawa satu orang tamu undangan saja. Sementara kalau mau tambah, ada biaya Rp100.000 per kepala.
Tentu ini sangat ngeri apabila kita membayangkan ada 2 orang tua mendampingi wisudawan. Namun, karena uang sudah habis untuk akomodasi, sang ibu tidak bisa mendampingi. Sedih sekali membayangkan kejadian kayak gini.
Teranyar, ke depannya, masuk ke gerbang Universitas Negeri Malang (UM) juga akan kena biaya tambahan. Bagi saya, peraturan ini menyiratkan bahwa masyarakat umum yang tidak ikut urun bayar UKT, seolah tidak boleh memasuki area kampus dengan cuma-cuma.
Padahal, bisa saja ada seorang driver ojol yang perlu mencari nafkah, atau anak-anak SMA yang kepengen tahu bentukannya UM seperti apa. Bisa juga ada peserta lomba yang diadakan di UM. Bayangkan, masa mereka sekarang harus bayar “tiket” dulu, hanya untuk masuk ke UM?
Heran banget, sebetulnya UM tuh kampus apa tempat wisata, sih? Kok kelihatan banget kebelet kayanya.
Menyayangkan minimnya sosialisasi dari Universitas Negeri Malang (UM)
Selain itu, dari kedua surat yang saya terima, saya hanya mendapat informasi kalau akan ada pembangunan SGS beserta linimasa proyeknya. Yakni, pendaftaran plat nomor pada 24-31 Maret, uji coba 5-9 Mei, dan masa pemberlakuan di 14 Mei.
Anehnya, di dalam kedua surat tersebut, tidak termaktub berapa besaran uang yang harus dibayar ketika orang di luar Universitas Negeri Malang (UM) hendak memasuki area kampus. Jelas, ini menjengkelkan. Sudah peraturannya aneh, sosialisasinya juga jelek!
Kok bisa, peraturannya sudah mau diberlakukan, sudah ditetapkan jadwalnya, tapi tidak dibuka secara gamblang rincian tarif masuk gerbangnya?
Padahal harusnya, jauh sebelum peraturan diteken, minimal ada diskusi terbuka, agar kebijakan yang lahir bisa mengakomodasi kebutuhan civitas akademika UM. Lha ini tidak. Bahkan saat peraturannya sudah mau berlaku, kami dari mahasiswa, tidak bisa mendiskusikan atau memberi masukan kepada pihak kampus dengan jelas.
Karena yaa, tidak ada transparansi yang lebih jelas soal aturan ini dari jauh-jauh hari!
Pandangan saya sebagai anak Ilmu Komunikasi
Kebetulan, di semester ini, saya mendapat mata kuliah bertajuk “Komunikasi Pembangunan”. Yap. Saya awalnya mengira kalau mata kuliah ini bakal mempelajari pola komunikasi seorang mandor kepada kuli bangunan. Tapi sialnya, ternyata bukan.
Komunikasi pembangunan, lebih menyoroti peran strategis komunikasi dalam mendorong perubahan sosial, pemberdayaan masyarakat, serta penyebaran informasi yang mendukung pertumbuhan ekonomi, politik, dan budaya secara berkelanjutan.
Nah. Dan dari yang saya pelajari di kelas, kebijakan SGS di Universitas Negeri Malang (UM) ini, terasa seperti melawan kaidah dari komunikasi pembangunan. Di mana, proses pembangunan yang “diupayakan” untuk mengamankan lingkungan kampus, justru dikomunikasikan secara payah. Tidak ada forum diskusi yang sehat dan terbuka, apalagi jajak pendapat sebelum-sebelumnya.
Komunikasi pembangunan melihat, pembangunan semacam ini lebih dekat dengan nuansa percepatan tanpa kehati-hatian. Kalau dalam bahasa proklamasi, seolah dilakukan dalam tempo sesingkat-singkatnya, tapi tidak dengan cara saksama. Konsep pembangunan seperti ini, akan cenderung mengesampingkan hal-hal fundamental yang ada dalam lingkungan. Misalnya, nilai-nilai sosial dan budaya yang ada.
Dan itu terlihat jelas. Apakah pembangunan SGS ini, sudah pasti mampu mengakomodasi nilai-nilai sosial dan budaya yang ada di masyarakat?
Maksud saya, dengan sistem yang bakal memajaki masyarakat umum untuk keluar-masuk kampus, apakah sudah mencerminkan nilai bahwa kampus seharusnya terbuka bagi siapa saja?
Saya hanya berharap, jangan sampai SGS Universitas Negeri Malang (UM) ini, justru lebih mencekik hidup orang banyak. Kita tahu, di Kota Malang sendiri sudah ada bejibun tukang parkir dan pungutan liar yang belum bisa dibereskan sampai hari ini.
Seharusnya Universitas Negeri Malang (UM) nggak perlu memungut uang kayak gini
Maka, sebagai institusi pendidikan, sudah seharusnya Universitas Negeri Malang (UM) tidak perlu ikut-ikutan tren memungut uang begini. Saya yakin UM juga tidak akan jatuh miskin, hanya karena tidak memajaki pengunjung kampus.
Terakhir, saya ingin mengutip dawuh Everett M. Rogers (1976), bahwa sudah seharusnya pembangunan itu bersifat partisipatif secara luas. Ia tidak boleh hanya turun dari perintah atasan tanpa mendengarkan urgensi masyarakat secara meluas. Bahkan bagi Paulo Freire (1970), pembangunan hanya mungkin terjadi apabila masyarakat turut dilibatkan secara sadar melalui partisipasi kritis.
Maka, sudah seharusnya, pembangunan tidak lagi bersifat gegabah, terburu-buru, serta tidak menimbang konteks nilai sosial-budaya yang ada. Dalam kajian komunikasi pembangunan, hal tersebut adalah wujud dari paradigma pembangunan yang sudah sangat usang dan lama. Yaa, mirip-mirip zaman Orba, lah.
Eh, tapi sekarang juga, ya?
Penulis: Ahmad Fahrizal Ilham
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.