Pengalaman Mengunjungi Tamansari Jogja, Istana Air di Mana Sejarah Kerajaan Berpadu dengan Kehidupan Sosial Masyarakat

Sisi Lain Tamansari Jogja yang Membuatnya Misterius (Unsplash)

Sisi Lain Tamansari Jogja yang Membuatnya Misterius (Unsplash)

Pukul 13:20 WIB, di hari Jumat yang cerah, 14 November 2025, kami tiba di kawasan Tamansari Jogja, sebuah istana air yang megah. Suasana di luar gerbang cukup bising oleh suara motor dan panggilan riuh dari tukang parkir yang sibuk mengatur kendaraan. 

Namun, saat kami mendekati loket, ada perasaan bahwa kami akan melangkah memasuki batas waktu yang berbeda. Di loket, interaksi berlangsung cepat. Uang diterima, dan kami menerima tiket. Bukan tiket kertas biasa, melainkan gelang biru dengan tulisan “DOMESTIK” dan tanggal kunjungan tercetak jelas. 

Kami melihat petugas dengan sabar membantu memasangkan gelang itu ke pergelangan tangan rombongan lain yang tampak kesulitan. Gelang ini terasa seperti izin resmi untuk menyentuh sejarah di Tamansari Jogja.

Aroma bangunan tua menyambut kami

Melewati ambang pintu masuk Tamansari Jogja, suara dunia luar perlahan meredup. Aroma bangunan tua yang lembab mendominasi. Kami mulai menjejakkan kaki di atas jalur yang lantainya terasa tidak rata. Setelah hujan turun, beberapa bagian jalan terasa sedikit becek. Kerikil kecil terasa di telapak kaki kami.

Pemandangan pertama yang memukau adalah area kolam yang luas. Airnya tampak jernih, membiaskan cahaya terang matahari di permukaannya. Suara gemercik air dari air mancur yang bekerja menambah dimensi akustik yang menenangkan di Tamansari Jogja.

Saat mendekat ke tepian, mata kami menangkap detail kecil yang tersebar di dasar kolam. Beberapa koin tergeletak, ditinggalkan oleh pengunjung dengan harapan atau doa. Koin-koin itu, kontras dengan air kolam yang tampak kuno, menjadi saksi ritual permohonan yang berlanjut hingga kini.

Menikmati arsitektur Tamansari Jogja

Bangunan-bangunan di Tamansari Jogja sebagian besar berwarna krem dan usia tuanya tak bisa disembunyikan. Beberapa dinding menunjukkan lapisan cat yang memudar menjadi abu-abu, dan di sudut-sudut yang lembab, terhampar lapisan lumut berwarna hijau. 

Semua bangunan menampilkan ritme ruang yang seragam. Baik dari bentuk gapura dan bangunan yang serupa, dengan pintu tanpa kusen berambang melengkung setengah lingkaran.

Kami terus berjalan, menyusuri detail motif ukiran pada dinding bangunan Tamansari Jogja yang terlihat repetitif namun memesona. Kami melintasi salah satu pintu melengkung, dan tiba-tiba cahaya berubah drastis.

Saat memasuki sebuah ruangan, suasana menjadi redup. Lampu alami sulit menembus, membuat ruangan terasa gelap, dan udara yang kami hirup terasa pengap. 

Kami terpaksa menggunakan senter handphone, dan sinarnya yang tajam menyala, memantul di dinding batu, mengungkapkan jejak-jejak masa lalu. Ini adalah bagian dari Istana Air yang lebih tersembunyi, mungkin bekas tempat peristirahatan atau meditasi.

Setelah melewati lorong-lorong ini, kami kembali ke ruang terbuka, di mana suara rombongan lain dan perbincangan turis dalam bahasa asing mulai terdengar lagi. Di dekat area ini, perhatian kami tertuju pada sebuah sudut.

Sisi manusiawi sejarah Tamansari Jogja

Di beberapa titik Tamansari Jogja, kami menemukan sesajen. Ini menjadi bukti bahwa nilai sakral situs ini masih dipegang teguh. 

Meskipun tidak ada sumur utama yang jelas di hadapan kami, keberadaan persembahan ini, mungkin berupa bunga atau dupa yang aromanya samar tercium menambah lapisan misteri pada reruntuhan Istana Air ini. Tempat ini bukan hanya tontonan, tetapi juga tempat yang dihormati.

Tidak jauh dari sana, kami mendengar suara riang yang disusul tawa. Seorang tour guide sedang berinteraksi dengan rombongan yang dipimpinnya. Dia baru saja menjelaskan tentang sejarah Tamansari Jogja.

Seorang pengunjung kemudian mengajukan pertanyaan yang langsung menyentuh sisi personal sejarah keraton: “Berarti, Sultan dari dulu emang suka poligami ya, Mas?”

Pertanyaan itu ditanggapi oleh tour guide dengan sebuah jeda, sebelumnya dia hanya tertawa. Tawa itu, bukan jawaban lugas, melainkan tawa menggambarkan bagaimana sejarah agung sering beriringan dengan kisah-kisah manusiawi yang kompleks, diceritakan secara lisan dari generasi ke generasi. 

Interaksi seperti ini, antara pemandu yang berpengetahuan dan pengunjung yang penuh rasa ingin tahu, menjadi inti dari pengalaman wisata.

Perpaduan sejarah dan kehidupan nyata di Jogja

Waktu observasi kami berakhir pukul 14:22 WIB. Kami melangkah perlahan menuju pintu keluar, meninggalkan bangunan-bangunan yang sebagian besar berwarna krem, lumut hijau di dinding, dan udara yang pengap.

Saat melewati batas gerbang utama, meninggalkan semua gemericik air dan tawa tour guide di belakang, kami kembali disambut oleh hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Tamansari Jogja ternyata berbatasan langsung dengan permukiman warga dan sekolah.

Di titik peralihan inilah, indra penciuman kami mendeteksi pergeseran tajam. Aroma bangunan tua yang lembab, yang menemani kami selama satu jam penuh, segera digantikan oleh dua aroma yang khas.

Pertama, tercium aroma mangga yang kuat dan segar, manis. Berasal dari penjual jus di sekitar pemukiman warga.

Kedua, tercium wangi yang lebih hangat, yaitu aroma lilin malam untuk membatik. Aroma ini terasa begitu nyata, kontras dengan bebatuan kuno yang kami tinggalkan. 

Ini menjadi penanda bahwa kami telah meninggalkan masa lalu dan kembali ke kehidupan Jogja masa kini, di mana tradisi keraton dan kerajinan tangan tetap hidup berdampingan dengan Istana Air yang megah.

Penulis: Nurhafizah Amalia

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Menyelami Sejarah Tamansari Jogja, Sendang Pemandian Raja yang Memiliki Banyak Mitos

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version