Dunia kerja memang memiliki banyak sisi gelap yang tak bisa dimungkiri. Upah rendah, eksploitasi tenaga kerja yang tak manusiawi, sampai kekerasan mental dan fisik di tempat kerja seolah jadi hal biasa. Tak terkecuali dunia kerja di Jepang. Di balik majunya Jepang dan terkenal sebagai negara pekerja keras, tetap saja budaya kerjanya menyisakan persoalan pelik yang bisa mengancam nyawa pekerja itu sendiri. Dua hal yang jadi momok dunia kerja Jepang adalah karoushi dan burakku kigyou.
Apa itu karoushi dan burakku kigyou?
Karoushi berasal dari kata 過労 (bekerja lebih) dan 死 (kematian), sehingga bisa diartikan sebagai kematian akibat bekerja berlebihan. Meskipun standar jam kerja adalah 40 jam per minggu, faktanya pekerja Jepang bisa bekerja lembur ratusan jam per bulan. Artinya, dalam satu hari mereka bisa lembur hingga lebih dari 4 jam dan pulang sampai larut malam. Ada banyak kasus pekerja dalam dunia kerja Jepang yang tidur hanya 3 jam dalam sehari, dan bahkan terpaksa menginap di kantor.
Sementara itu, burakku kigyou atau black company adalah perusahaan yang mengeksploitasi pekerjanya secara berlebihan. Sebuah perusahaan dikatakan burakku kigyou jika mempekerjakan karyawan dan memaksa mereka bekerja lembur berlebihan tanpa gaji dan upah lembur yang memadai, serta melecehkan atau mengintimidasi pekerja secara verbal maupun fisik.
Meskipun sasaran utama burakku kigyou ini adalah karyawan baru, banyak juga karyawan kontrak yang jadi korban. Biasanya para karyawan ini merasa takut kalau kontrak mereka nggak diperpanjang sehingga mereka rela disuruh ini itu demi status pekerjaannya.
Selain karyawan baru dan karyawan kontrak, karyawan paruh waktu juga sering menjadi korban. Mereka nggak memiliki kontrak kerja yang lebih pasti sehingga bisa dengan mudah “dimanfaatkan”. Apalagi karyawan paruh waktu biasanya merupakan mahasiswa yang butuh pengalaman kerja untuk isian CV-nya
Meski begitu, bukan berarti karyawan tetap maupun senior nggak akan mengalami intimidasi ini, ya. Dengan dalih promosi jabatan, mereka juga biasanya mudah dieksploitasi. Jadi, praktik eksploitasi ini pada dasarnya bisa terjadi pada siapa saja dalam dunia kerja Jepang.
Kasus paling fenomenal dalam dunia kerja Jepang
Pada Agustus 2012, seorang insinyur pria berusia 28 tahun di Perusahaan Nagoya Works bunuh diri karena terlalu banyak bekerja. Pada tahun 2011, dia ditunjuk sebagai penanggung jawab atas proyek pengembangan sistem. Sayangnya proyek tersebut bermasalah sehingga dia gagal memenuhi jadwal penyelesaian proyek. Akhirnya dia bekerja lembur lebih dari 100 jam sebulan selama beberapa bulan untuk menebus penundaan tersebut. Namun, dia mengalami gangguan mental. Pada Desember 2014, kasusnya dilaporkan sebagai kecelakaan kerja.
Ada juga kasus lima karyawan pria di Mitsubishi Electric Corporation Jepang yang mengalami gangguan jiwa dan gangguan otak akibat jam kerja yang panjang. Mereka adalah insinyur atau peneliti pengembangan sistem. Dua orang di antaranya bunuh diri karena terlalu banyak bekerja, tetapi dilaporkan sebagai kecelakaan kerja.
Seorang karyawan pria pabrik jaringan perusahaan di Amagasaki (Hyogo) juga bunuh diri karena terlalu banyak bekerja pada Februari 2016 silam. Sekitar empat bulan sebelum kematiannya, dia bekerja lembur hingga lima kali lipat dari sebelumnya menjadi 80 jam per bulan. Pada Juni 2017, dia dilaporkan kecelakaan karena mengalami gangguan mental.
Kasus terkenal lainnya adalah Mina Mori, seorang karyawati 26 tahun dari jaringan restoran Watami. Ia bunuh diri setelah dua bulan bergabung pada tahun 2008. Keluarganya mengajukan keluhan ke Kantor Standar Tenaga Kerja Yokosuka untuk meminta pengakuan bunuh diri terkait pekerjaan, tetapi ditolak. Mereka kemudian mengajukan banding ke Biro Tenaga Kerja Prefektur Kanagawa dan mengakui stres terkait pekerjaan sebagai penyebab penurunan kesehatan mental Mina Mori. Pada Desember 2015, Watami membayar kompensasi sebesar 130 juta yen kepada keluarga Mina Mori, dan pendiri Watami, Miki Watanabe, meminta maaf.
Seorang karyawati Dentsu, Takahashi Matsuri yang berusia 24 tahun juga melakukan bunuh diri karena terlalu banyak bekerja. Ia “dipaksa” bekerja berjam-jam, bahkan lemburnya mencapai 105 jam pada bulan Oktober 2015. Ia mengakhiri hidupnya dengan cara melompat dari jendela asrama pada 25 Desember 2015. Kasus ini sempat heboh karena sebelum kematiannya, Takahashi Matsuri sempat mengeluh di Twitter.
Kasus kematian akibat kelelahan bekerja atau dikenal dengan karoushi dari tahun 2016 sampai 2019 di Jepang berjumlah 925 kasus. Mengerikan, ya?
Most Evil Corporation of The Year Award
Meskipun kedengarannya sangat aneh, setiap tahun di Jepang ada semacam “award” yang digunakan untuk menilai mana perusahaan Jepang yang paling jahat. Penghargaan ini diadakan pertama kali pada tahun 2012 lalu.
Penghargaan perusahaan terjahat dalam dunia kerja Jepang pada tahun 2012 diberikan kepada TEPCO (Tokyo Electric Power Company Holdings Incorporated), tahun 2013 Watami Food Service, tahun 2014 Yamada Holdings Co, Ltd., tahun 2015 Seven Eleven Japan Co, Ltd., tahun 2016 Dentsu Inc., tahun 2017 Hikkoshisha, dan tahun 2018 Mitsubishi Electric Corporation. Selama pandemi Covid-19 penghargaan Most Evil Corporation of The Year Award ini ditiadakan dan belum ada informasi terbaru hingga kini.
Walaupun perusahaan-perusahaan tersebut akhirnya mendapat rekomendasi dari pemerintah untuk melakukan perbaikan, tetap saja kultur budaya kerja Jepang sangat sulit untuk diubah.
Lantas, bagaimana?
Kebanyakan perusahaan Jepang nggak bisa mencegah terulangnya “kecelakaan kerja” yang menyebabkan kematian pekerjanya ini. Meskipun mereka tahu juga bahwa penyebab pekerjanya bunuh diri adalah karena terlalu banyak bekerja.
Perusahaan Dentsu misalnya, mereka masih memiliki semboyan perusahaan yang disebut “Oni Jusoku” (sepuluh aturan setan) hingga saat ini yang berarti karyawan harus bekerja sendiri, nggak diberikan pada orang lain, dan nggak menyeret orang lain. Mereka juga memiliki motto yang nggak manusiawi seperti “jangan lepaskan meskipun terbunuh sampai tujuan selesai…” sehingga pekerja jadi terintimidasi.
Begitu juga dengan calon karyawan yang tetap melamar pekerjaan di perusahaan yang memiliki reputasi buruk. Demi prestis misalnya, atau demi gaji idamannya. Meskipun tak dipaksa secara langsung oleh atasan, lingkungan kerja dan tuntutan pekerjaan akan membuat para pekerja Jepang ini bersaing sengit.
Jadi, seberapa keras pemerintah Jepang mengubah UU ketenagakerjaan dan membatasi jam lembur sekalipun agar nggak ada lagi kasus karoushi, budaya kerja Jepang yang sudah turun temurun itu tak akan mudah diubah begitu saja. Mungkin kalau digalakkan semboyan “pulang tenggo itu keren”, bisa saja sih berubah. Tapi entah kapan itu akan terjadi, nggak ada yang tahu.
Penulis: Primasari N. Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 6 Budaya Kerja Jepang yang Bikin Geleng-geleng Kepala.