Sisi Gelap Coffee Shop di Jogja: Jadi Tempat Cuci Uang para Owner “Gelap”

Sisi Gelap Coffee Shop di Jogja: Jadi Tempat Cuci Uang para Owner "Gelap"

Sisi Gelap Coffee Shop di Jogja: Jadi Tempat Cuci Uang para Owner "Gelap" (Pixabay.com)

Kalau ditanya ada atau tidak coffee shop di Jogja—dalam kasus ini maksudnya area DIY—yang menjadi lahan cuci uang, jawabannya ada. Ya sudah. Artikelnya sampai sini saja.

Sulit untuk membahas permasalahan ini tanpa khawatir di-blacklist dari beberapa coffee shop yang terindikasi cuci uang. Terlebih saat saya mencoba menggali lebih dalam terkait praktik ini, calon narasumber saya, yang merupakan sesepuh perkopian Jogja, dengan tegas menolak bersuara. Sebab, menurutnya, isu ini cukup berbahaya dan berpotensi menyinggung beberapa pihak.

Tetapi dasarnya saya bandel, ya sudah saya coba ulik permasalahan ini dengan seaman mungkin, tanpa menyebut maupun menunjukkan lokasi coffee shop yang terindikasi menjadi lahan cuci uang. Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan, ditambah pengalaman pribadi menyaksikan aksi ini, maka terciptalah artikel ini.

Alasan kenapa coffee shop kerap menjadi lahan cuci uang

Konsep sederhana cuci uang adalah, seseorang mendapatkan uang ‘kotor’ hasil dari trik-trik nakal, kemudian diputarkan ke bisnis jadi-jadian, mengakali laporan Keuangan bisnis tersebut, sehingga uang yang dimiliki seolah berasal dari bisnis tersebut. Dengan demikian, uang yang tadinya kotor, kini menjadi tampak bersih.

Bisnis apa saja sebenarnya bisa menjadi lahan cuci uang. Bisa bisnis barbershop, bisa bisnis percetakan, bisa bisnis cuci pakaian, bahkan startup sekalipun bisa menjadi arena cuci uang. Pertanyaannya sekarang adalah, kenapa coffee shop menjadi arena yang sangat seksi untuk mencuci uang?

Beberapa alasan di antaranya adalah karena coffee shop kerap menerima pembayaran tunai, sehingga lebih sulit terlacak aktivitas transaksinya. Selain itu, coffee shop juga wajarnya memiliki traffic pelanggan yang tinggi. Hal ini bisa digunakan untuk oknum bersembunyi. Artinya, di antara pemasukan asli coffee shop, oknum pencuci uang bisa menyembunyikan uang-uang kotor miliknya.

Model bisnis coffee shop yang beragam juga bisa menjadi alasan. Coffee shop bisa menjual makanan dan minuman yang siap disantap, bisa juga menjual roasted beans, bahkan bisa juga berjualan merchandise. Dengan banyaknya jenis pemasukan tersebut, oknum pencuci uang bisa menyamarkan transaksi kotor mereka.

Tanda-tanda coffee shop di Jogja yang berpotensi menjadi lahan pencucian uang

Apabila ada sebuah coffee shop yang sudah berdiri bertahun-tahun, selalu terlibat sepi, tetapi masih eksis di tengah banyaknya coffee shop tumbang, biasanya ada dua kemungkinan. Pertama, pemiliknya punya bisnis lain yang sudah sangat profit dan membangun coffee shop sebagai bisnis pemuasan idealisme. Ramai nggak ramai, tetap jalan terus. Alasan kedua adalah, ya memang coffee shop tersebut digunakan sebagai lahan cuci uang.

Kenapa bisa begitu? Bisnis coffee shop itu, apalagi yang tempatnya mewah, luas, estetik, ditambah dengan peralatan kopi super mahal, itu beban pengeluarannya sangat besar. Sehari pemasukan jutaan pun entah bisa menutup operational atau tidak. Bayangkan saja, sekali menyalakan mesin espresso, itu sudah mengkonsumsi listrik tiga ribu watt sendiri. Belum lagi AC yang harus selalu nyala. Belum lagi chiller, freezer, dan peralatan lain. Semua itu berkonspirasi menjebol tagihan listrik.

Artinya, mustahil sebuah coffee shop yang sepi, bisa kuat bertahan dengan beban pengeluaran biaya yang super tidak masuk akal tersebut. Dengan demikian, apabila kita melihat sebuah coffee shop sepi tetapi masih bertahan bertahun-tahun, terlebih tak diketahui dengan jelas siapa pemilik coffee shopnya, maka ada potensi coffee shop tersebut digunakan sebagai lahan pencucian uang.

Tidak ada QRIS? Boleh curiga

Hal lainnya lagi adalah, patut dipertanyakan apabila sebuah coffee shop dengan vibes megah tetapi tidak menyediakan pembayaran digital. Seperti yang tadi dibahas, alasan kenapa transaksi tunai harus dilakukan di bisnis pencucian uang adalah agar transaksi yang berlangsung tidak bisa dilacak. Apalagi saat semua orang ketagihan melakukan digital payment, kemudian ada coffee shop super megah yang tidak menyediakannya, maka patut diwaspadai.

Memang, ada beberapa owner coffee shop kenalan saya belum menyediakan payment via QRIS dengan alasan potongannya kurang transparan. Akan tetapi, biasanya mereka tetap menyediakan opsi transfer ke rekening bank ownernya. Hal ini masih masuk akal karena transaksi di coffee shop tetap bisa dilacak. Namun apabila ada yang benar-benar hanya menerima tunai, maka waspadalah.

Oleh karenanya, tinggal selidiki saja coffee shop di Jogja yang terlihat sepi terus, tidak menerima digital payment, tidak jelas siapa ownernya, dan masih eksis setelah bertahun-tahun. Jika berhasil menemukan coffee shop yang saya maksud, nah selamat, Anda baru saja menemukan arena pencucian uang.

Ownernya maju caleg, baristanya ditelantarkan tanpa gaji berbulan-bulan

Ada sebuah kasus yang saya amati sangat jelas. Sebuah coffee shop di Jogja tempat teman saya kerja terindikasi adalah praktik pencucian uang. Semua tanda-tanda pencucian uang terlihat cukup detail. Siapa yang memiliki coffee shop tidaklah jelas. Bisnisnya juga melebar mulai dari jual makanan dan minuman, penyewaan studio, bahkan ada juga coworking space-nya. Usut punya usut, pemiliknya—atau salah satu pemiliknya—merupakan orang penting di sebuah parpol.

Awalnya coffee shop tersebut berjalan wajar. Meski masih relatif sepi, tetapi tak terlalu mencurigakan. Hal aneh mulai terjadi beberapa bulan sebelum coffee shop itu bangkrut total. Ownernya—atau salah satu ownernya—menghilang. Padahal dia yang bertanggung jawab atas gaji-gaji karyawan. Alhasil, semua karyawannya tidak digaji selama beberapa bulan.

Setelah bulanan menghilang, baru ketahuan si owner sedang mempersiapkan diri untuk maju caleg. Karena fokus kampanye, maka hasil upaya memutar uang itu sepenuhnya digunakan untuk mencetak baliho, menyebar poster, memberi serangan fajar, dan lain-lainnya. Hal itu membuat keuangan coffee shop semakin gonjang-ganjing. Para pekerja semakin terlantar tanpa gaji.

Sampai akhirnya, beberapa bulan kemudian, coffee shop tersebut bangkrut total. Tak ada pembayaran gaji ke semua pekerja, sementara tak ada kejelasan juga apakah oknum laknat itu menang pemilu atau sudah menempati rumah sakit jiwa.

Bagaimana menyikapi praktek cuci uang di coffee shop?

Semisal ternyata coffee shop di Jogja langgananmu terduga sebagai lahan pencucian uang, lantas apa yang harus dilakukan? Tidak ada sama sekali. Jangan melakukan apa-apa. Soalnya seperti calon narasumber yang saya sebut di awal, bahwa biarlah sesuatu yang ada di bawah tanah, tetap berada di bawah tanah.

Lagian kalian juga tak kena rugi apa-apa. Tinggal nongkrong, nikmati kopimu, dan pantengin akun media sosial mantanmu yang tak seberapa itu.

Penulis: Riyanto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 4 Rekomendasi Coffee Shop di Jogja yang Baristanya Ramah Abis

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version