Mahasiswa berbedemo menuntut dibebaskannya warga yangenyebarkan video yang dianggap meresahkan publik akibat menyebarkan rekaman tentang kedatangan TKA asal China. Mereka tidak memperdulikan kesehatan mereka sendiri tetap melakukan aksi meskipun wabah corona sudah berstatus pandemi dengan tuntutan dibebaskannya kawan mereka dan diturunkannya Kapolda Sulawesi Tenggara.
Dalam salah satu kerumun yang melakukan aksi itu ada mantan murid saya ketika saya ketika masih mengajar di SMAN 1 Motui. Saya mengontaknya untuk mencari kebenaran dari kesimpangsiuran informasi TKA yang datang ke Sulawesi Tenggara. Menurut informasi memang benar itu adalah TKA asal China yang bekerja di pabrik Morosi. Meski begitu nampaknya informasi ini dianggap membuat gaduh sehingga butuh ditertibkan. Akhirnya video ini berubah menjadi sekedar hoax setelah Polda Sutra menangkap beberapa orang yang menyebarkannya.
Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi membuat konfrensi Pers dan mengucapkan terima kasih kepada orang yang merekam adanya rombongan warga negara asing (WNA) asal Tiongkok meski ia menolak cara yang dilakukan. Menurutnya lebih baik jika cara yang dilakukan adalah mendatangi kantor Gubernur (17/3/20).
Sebelumnya dua kali berita yang saya baca di Detikcom menginformasikan bahwa pembuat video telah diamankan dan mengatakan bahwa video yang disebarkannya tidak benar, bahwa warga negara asing itu bukan datang dari China tapi dari Jakarta setelah mengurus visa. Berita lainnya mengatakan bahwa si pembuat hoax ini hanya main-main. Lantas mengapa mereka dibebaskan jika itu tidak benar dan mereka hanya main-main? Mengapa juga Gubernur Sultra melakukan konferensi mengucapkan terimakasih kepada pembuat video ini?
Ada gap informasi yang terjadi di sini yang membuat saya curiga telah terjadi praktik kill the mesenger. Praktik kill the mesenger adalah upaya untuk membungkan para agen informasi baru ketika negara berusaha memonopoli informasi. Penangkapan, klarifikasi, lantas dibebaskan sangat ganjil. Mengapa seseorang harus ditangkap, disuruh klarifikasi dan lantas dibebaskan jika ia benar-benar salah?
Permasalahan soal TKA ini memang telah lama tidak terselesaikan. Isunya datang dan pergi, oposan menyerang, penguasa mengkonter, kemudian lenyap seolah ditelan hujan. Sebagai orang yang pernah tinggal di Sulawesi Utara, saya berani mengatakan bahwa benar yang datang adalah TKA yang bekerja di Morosi, Konawe Utara. Namun mengenai kebenaran mereka datang dari Jakarta mengurus visa hal itu juga mungkin benar.
Kejadian itu tahun 2016 awal ketika saya masih mengikuti suatu program oleh salah satu Kementrian yang menempatkan saya di Kecamatan Motui, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Saat itu saya membantu menjadi guru Bahasa Inggris karena memang kekurangan tenaga pengajar di SMPN 1 dan SMAN 1 Motui. Rutinitas saya sepulang mengajar adalah berburu, karena mengingat pasar hanya satu minggu sekali.
Pasar yang cuma muncul seminggu sekali dan tinggal di lokasi yang cukup jauh dari kota maka meski punya uang kamu akan bingung mau dibelikan apa. Dengan pilihan aktivitas yang terbatas, saya memilih untuk berburu, memancing, dan memilih hidup dari alam. Bersyukurnya di sana untuk hidup dari alam tidak susah. Meski semakin banyak pabrik dan tambang dibangun membuat burung yang menjadi hewan buruan semakin jauh saja. Meski berburu tentu saja saya dan teman-teman saya tidak pernah mengambil lebih hanya yang cukup untuk perut kami.
Pernah suatu kali saya bertemu dengan seorang buruh yang sedang membangun pabrik yang sepertinya ingin menawar hasil buruan saya. Ia bertanya dengan bahasa yang sama sekali tidak saya mengerti. Saya mengajaknya menggunakan Bahasa Inggris karena meyakini bahwa Bahasa Inggris adalah Lingua Franca sehingga seorang tenaga kerja asing yang datang pasti minimal akan menguasainya. Sayang ia sama sekali tidak mengerti sama sekali. Ia adalah TKA asal China, seorang buruh kasar bukan buruh skill.
Saya tidak sekali dua kali berinteraksi dengan mereka, saat terakhir sebelum pulang pun saya menjual motor ke salah seorang mandornya yang sekali lagi tidak mengerti Bahasa Indonesia atau Inggris. Lucunya mereka datang tanpa perlu menguasai Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris karena mereka hanya berinteraksi dengan kaummnya saja, dari buruh kasar hingga skill semuanya sama mayoritas warga Tiongkok, hanya sedikit warga lokal yang bekerja di sana.
Kalian boleh menyimpulkan sendiri mengenai seberapa banyak TKA yang ada di Morosi. Karena kalau ada atau tidaknya tentu saja ada dan bertambah dari waktu ke waktu. Maka dari itu merupakan suatu kewajaran jika mahasiswa masih meluangkan waktunya turun ke jalan meski di tengah ancaman corona karena institusi yang jargonnya melinduingi, melayani, dan mengayomi malah bertindak selayaknya Humas TKA yang melakukan praktik kill the mesenger.
Jadi jangan heran jika para mahasiswa tidak takut turun ke jalan karena praktik ketidakadilan ini semakin nyata saja. Sebagai akal pikiran publik mahasiwa menjadi instrumen penting untuk menjaga kewarasan di tengah berbagai praktik ketidakadilan ini semakin merajalela yang melahirkan Omnibus Law dan RUU Ketahanan Keluarga yang memperlihatkan sekali ketimpangan relasi antara penguasa dan yang dikuasai. Jangan sampai hari itu datang, hari ketika kita semua jengah menunggu keadilan yang tidak datang-datang.
Sebagai seorang yang masih menyisakan sedikit idealisme karena secara usia dan status memang sudah tidak muda lagi, karena menurut Tan Malaka idealisme adalah harta terakhir yang dimiliki pemuda, maka satu-satunya cara yang bisa saya lakukan untuk membantu perjuangan mereka ya cuma berupaya dengan menulis, menawarkan informasi alternatif di tengah arus informasi yang dimonopoli penguasa.
BACA JUGA Mari Waspada kepada Negara untuk 5 Tahun ke Depan atau tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.