Setelah match melawan Vietnam, banyak kritikan datang kepada Timnas U-19 Shin Tae-yong. Suara-suara yang menarik adalah suara-suara yang membandingkan Timnas ini dengan era Indra Sjafri. Pada 2013, Indra Sjafri berhasil membawa timnas U-19 menjuarai AFF U-19 setelah mengalahkan Vietnam di final dengan adu penalti. Prestasi itu pun jadi tolok ukur prestasi timnas era berikutnya, termasuk timnas asuhan Shin Tae-yong kali ini.
Namun, suara-suara keras itu seperti tersapu angin setelah timnas melibas Brunei dengan skor telak 7-0. Dan kembali menggema setelah timnas hanya bermain imbang melawan Thailand di match ketiga.
Kayaknya, banding-bandingin sama Indra Sjafri ini udah jadi hobi. Pelatih mana pun kayaknya juga pasti dibandingin sama Indra. Andai Ancelotti melatih timnas dan kalah, pasti dibanding-bandingin sama Indra Sjafri. Ngeri kali.
Karakter (beberapa) suporter memang begitu. Menang dijunjung, kalah dijatuhkan. Karakter yang mirip politikus-politikus di negeri ini. Padahal, prestasi kita “kagak jauh-jauh amat”. Hanya sekelas Asia Tenggara. Belum ada pelatih kita yang misalnya mampu membawa timnas kita berbicara banyak di ajang Asia seperti yang dilakukan Park Han Seo bersama Vietnam.
Namun, untuk perbandingan ini, kita harus melihat hal ini dengan lebih luas.
Kalau kita lihat, Timnas U-19 era Shin Tae-yong ini memang seperti tak banyak memain dengan “bakat istimewa”. Yang jelas tampak memiliki itu hanyalah Marselino Ferdinan. Dampak kehadirannya pun terasa ketika dia cedera dan ditarik keluar di babak kedua melawan Thailand. Permainan timnas menjadi tidak terorganisir dan kesulitan membangun serangan secara rapi. Suatu hal yang hanya dimiliki Marselino di timnas U-19.
Hal ini berbeda dengan timnas U-19 era Indra Sjafri. Ada banyak pemain berbakat yang membuat Indra Sjafri bisa memainkan sepak bola yang atraktif. Meskipun, dari sekian nama-nama tenar kala itu yang masih survive dan konsisten berada di timnas hanyalah seorang Evan Dimas saja.
Kita perlu sadari. STY punya beban banyak. Timnas tak bisa mengikuti sepak bola modern, dan ia poles banyak pemain hingga timnas sekarang bisa bermain lebih hebat. Pun, timnas negara lain sudah berkembang amat jauh. Kita berusaha mengejar ketertinggalan, mudahnya.
Indra Sjafri, punya pemain yang cukup berbakat, plus timnas negara lain belum sengeri ini. Bebannya aja udah beda.
Timnas Shin Tae-yong memang belum sepenuhnya gagal. Tak bisa kita bilang gagal juga sih, orang titik mulainya aja rendah banget. Kadang ini yang kita luput untuk perhatikan: kita minta hasil konkret berbentuk piala, padahal kita layak ikut turnamen aja belum.
Namun, terlepas dari perdebatan mana yang lebih baik Shin Tae-yong atau Indra Sjafri, yang sudah jelas dapat keuntungan bukan STY maupun Indra Sjafri. Yang dapat keuntungan dari perdebatan ini adalah PSSI.
Kalau STY gagal, berarti STY yang salah. Kalau STY berhasil, berarti PSSI yang bagus. Sebab, bila timnas kalah dan bermain buruk sorotan langsung tertuju ke STY, bukan ke PSSI. Tetapi, bila timnas meraih hasil bagus sorotan langsung tertuju ke Iwan Bule selaku Ketua Umum PSSI.
Teman-teman masih ingat dong kasus di kualifikasi Piala Asia beberapa waktu lalu? Setelah mengalahkan Kuwait dengan skor 2-1, siapa yang disorot dan dijunjung oleh PSSI? Apakah Rachmat Irianto yang mencetak gol penentu? Apakah Nadeo dengan segala savesnya? Apakah STY dengan segala taktiknya? Bukan! Yang dijunjung adalah Iwan Bule. Lucu, bukan? Tapi, itulah Indonesia. Hal-hal konyol seperti itu nampak menjadi hal yang lumrah di sini.
Pak Ketum bisa happy-happy saja nonton timnas di stadion meski tak menang. Karena kalau kalah STY yang kalah, kalau menang ya Pak Ketum yang menang.
Shin Tae-yong hanyalah alat cuci tangan dari PSSI untuk menutupi kesalahan dan ketidakmampuan mereka dalam mengelola sepak bola Indonesia.
Sekadar tips, kalau timnas U-19 gagal di ajang AFF ini, mungkin Shin Tae-yong bisa mencoba cara lain yang non teknis untuk menjaga kursinya di kepelatihan timnas. Misalnya, dengan mulai mengupload foto bersama pak Ketum lebih sering. Mulai menjunjung tinggi pak Ketum dan mulai membukakan pintu mobil pak Ketum supaya STY semakin aman dan nyaman di kursi kepelatihan timnas.
Ini memang bukan organisasi politik, tapi feodalisme itu nyata dan ampuh di negeri ini.
Meski urusan sepak bola, taktik itu nomor dua. Yang utama adalah kemampuan menjilat. Itu karakter dan syarat utama bila anda ingin dapat kursi di republik ini.
So, hati-hati ya, STY. PSSI mungkin nampak mendukung Anda. Tapi bisa jadi, mereka hanya sedang mencari kesempatan untuk menunggangi popularitas ketika Anda berhasil dan menunggu momentum untuk memecat Anda ketika sorotan kegagalan tertuju pada mereka.
Bravo timnas!
Penulis: Andri Athoillah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Haruna Out? Goodbye Shin Tae-yong, Revolusi PSSI Cuma Sebatas Angan