Jumat, 28 September 2018 silam, adalah hari yang tak mungkin dilupakan oleh masyarakat kota Palu, Sulawesi Tengah. Hari dimana teriakan, tangisan dan ketakutan menghiasi setiap hati waktu itu, bahkan hari ini. Puing-puing kenangan itu masih membekas, bagi mereka yang menjadi saksi hidup bencana maha dahsyat, yang kami pikir adalah hari berakhirnya dunia. Pernyataan itu tidak berlebihan, sungguh. Karena apa yang kami rasakan, seperti apa yang dilukiskan dalam Qur`an.
Guncangan itu meluluh-lantakan semuanya, tak ada tempat aman tuk berlindung, karena bumi secara serempak menunjukkan keganasannya. Kami melarikan diri ke dataran tinggi, namun justru bumi mengeluarkan isi berupa cairan lumpur dari atas sana, ingin kembali ke dataran rendah, ada tsunami yang siap menerjang, ingin menetap di tanang lapang, namun justru tanah itu terbelah hanya untuk menelan semua yang ada di atasnya, lalu menutup kembali.
Guncangan itu membuat bangunan-bangunan roboh, bahkan tenggelam, jalanan terputus, bahkan berpindah, aspal retak, bahkan terangkat ke atas, pohon dan tiang listrik juga ikut tumbang. Orang-orang panik menyelamatkan dirinya, hingga seorang ibu terpisah dengan anaknya, seorang suami terpisah dengan istrinya, seorang kakak terpisah dengan adiknya, seorang teman terpisah dengan teman-teman yang lain. Bukankah seperti itu gambaran ‘kiamat’ dari kitab suci?
Yang terlintas saat itu hanyalah wajah keluarga, teman-teman, dan rekaman kemaksiatan yang pernah dilakukan, bersiap untuk menghadapi kepulangan, jika memang sudah saatnya untuk pulang. Namun ternyata, belum saatnya. Kami yang menjadi saksi hidup persitiwa itu, masih diberi kesempatan kedua tuk memperbaiki diri dan berbagi kisah ini, agar dapat menjadi peringatan, bahwa ketika Dia bekata ‘kun faya kun’, maka terjadilah saat itu juga. Ya, semuanya terasa begitu cepat. Rasanya baru saja kami saling bercengkrama dan bercanda bersama kawan, baru saja kami menonton televisi bersama keluarga, baru saja kami makan makanan enak dan tidur di tempat nyaman. Namun semuanya bisa begitu cepat terbalik, karena guncangan 7,4 SR. Hanya hitungan detik semuanya luluh-lantah. Hanya hitungan detik semuanya hilang. Semudah itu bagi-Nya. Namun sayang, kita sering lupa kalimat bijak ‘di atas langit masih ada langit’ sehingga merasa angkuh berpijak di bumi ini.
Setelah teriakan histeris dan minta tolong, hari-hari pasca bencana menjadi hari-hari berat tuk dilalui. Teriakan-teriakan terus bergema setiap hari, tak peduli siang ataupun malam, setiap orang berjalan menyususri tenda-tenda pengungsian, berteriak memanggil nama keluarga dan teman mereka. Jelas sekali dalam ingatanku, bagaimana wajah orang tua- orang tua itu, mencari keberadaan anak-anaknya. Kutahu mereka lelah, tapi kaki mereka terus saja melangkah. Bahkan, setelah berhari-hari mencari keberadaan anaknya, seorang bapak paruh baya pernah berkata dengan lirih, “saya hanya ingin melihat anakku, dalam keadaan hidup ataupun tidak, saya hanya ingin membawanya pulang.” Tenda-tenda pengungsian, menjadi tempat haru pertemuan keluarga, namun bisa juga tempat duka dan pengharapan semu.
Besok, 28 September 2019, bertepatan satu tahun bencana Palu. Hingga hari ini, kilasan peristiwa itu masih terbayang dengan jelas, mungkin hingga akhir hayat. Ada begitu banyak kesedihan dan kehilangan. Namun, kami tahu ‘show must go on’. Sepahit apapun duka itu, hidup masih harus tetap dilanjutkan. Selama setahun, Palu terus berbenah. Tagar #KitaKuat dan #PaluBangkit terus digaungkan. Setiap orang mencoba bangkit, saling membantu satu-sama lain, tak hanya masyarakat palu, berbagai bantuan datang dari penjuru Nusantara dan Mancanaegara. Pasar kembali dibuka, pusat perbelanjaan diperbaiki, perkantoran aktif kembali, anak-anak mulai masuk sekolah, program-program sosial dan lingkungan terus berjalan hingga kini. Hari ini Palu ramai kembali. Setelah sebelumnya dilabeli akan menjadi kota mati dan tenggelam, namun semuanya bisa terbantahkan dengan bukti.
Meski masih ada begitu banyak ‘Pekerjaan Rumah’ yang harus dibenahi, juga masih ada duka yang mesti dilepaskan, setelah setahun berlalu, kita tahu #KitaKuat masih terpatri dalam-dalam di lubuk hati. Kita adalah orang-orang yang masih diberi kesempatan hidup untuk kedua kalinya, tentu bukan karena Tuhan salah memilih, tapi memang kita mampu melaluinya. (*)
BACA JUGA Aksi Mahasiswa Belum Selesai, Tergantung Sebebal Apa DPR dan Pemerintah atau tulisan Suci Fitra Syari lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.