Jogja, lagi-lagi saya menulis tentang negeri ini. Seperti tak ada rasa bosan untuk berkisah tentang daerah yang (katanya) istimewa ini. Tapi jujur saja, tidak pernah terbesit rasa untuk hengkang dari daerah semrawut ini. Bagi saya, Jogja adalah cinta pertama. Cinta yang murni, tulus, tapi toxic. Dan harus saya akui bahwa saya gagal move on darinya.
Saya tidak sedang bermajas hiperbola. Bagaimana saya tidak jatuh cinta pada tanah kelahiran yang masyhur ini. Sebuah kebanggaan ketika menjawab “saya asli Jogja” ketika ada orang asing kepo (baca : memaki) di DM. Ketika banyak influencer berebut ingin tinggal di Jogja, takdir memilih saya untuk lahir di sini. Ketika orang memamerkan foto di Jogja, saya malah bisa ngokop papan jalan Malioboro setiap hari.
Maka di hari ulang tahun Jogja yang ke-266, saya ingin merayakan hubungan ini. Siapa tahu saya bisa rekonsiliasi dan balikan dengan cinta pertama ini. Tapi, saya tidak memilih menikmati pawai atau pementasan. Tidak pula datang ke pasar malam yang katanya Sekaten itu. Saya memilih merayakan dengan cara khas putra daerah Jogja: muter-muter nggak jelas bermodal bensin eceran.
Perayaan ini saya mulai dari Madukismo, pabrik gula dan spiritus warisan Belanda. Mungkin hanya Madukismo yang paling dekat bagi orang Jogja untuk merasakan nuansa Cikarang. Nuansa industrinya ya, bukan UMR-nya. Corong-corong raksasa dan arus truk pengangkut tebu memang sangat industrial.
Sayang sekali, suasana industri ini harus tercemar oleh bau sisa pengolahan tebu. Bau manis molases kadang kelewat manis, sampai saya takut diabetes hanya karena lewat samping Madukismo. Belum lagi aroma busuk lain yang entah dari mana. Ingin mengumpat, tapi saya ingat bahwa hari ini saya mau merayakan sebuah cinta.
Melaju saya menuju area Pojok Beteng Barat. Bangunan raksasa berwarna putih ini pernah mempertahankan orang yang hidup di dalamnya. Meskipun pernah sekali kebobolan saat Geger Sepoy, tapi Benteng Baluwerti tetap kokoh berdiri melindungi kawula Jogja.
Sampai saya ingat bahwa benteng ini akan ingkar janji. Sisi timur laut benteng ini telah mengkhianati janjinya: menjaga orang yang hidup di dalamnya. Demi alasan mengembalikan situs bersejarah, puluhan orang sudah tergusur. Dan nantinya, seluruh pemukiman di area Benteng Baluwerti harus minggat dari pusat kemakmuran Jogja. Semua demi kembalinya tembok dingin nan tebal yang kini entah untuk melindungi apa.
Sudah, saya tidak mau menyakiti hati ini. Jogja masih punya banyak cinta untuk saya. Akhirnya saya melaju ke Jalan Ahmad Dahlan. Ke sebuah trotoar yang kini teduh oleh rindang pohon. Trotoar itu adalah tempat saya terkapar usai dikeroyok pelaku klitih tahun 2010 silam. Benar, saya adalah penyintas klitih yang kondang itu.
Bekas luka di belakang kepala saya kembali ngilu. Sudah 12 tahun berlalu, tapi klitih masih saja menghantui warga Jogja. Bahkan malah lebih parah, karena siapa saja bisa kena. Mengapa Jogja enggan mencabut benalu berdarah ini dari tubuhnya? Kenapa Jogja enggan menyenangkan hati saya, yang cinta mati padanya, dengan memastikan dirinya bebas klitih?
Mungkin Jogja sedang berusaha, atau mungkin lupa. Saya coba berbaik sangka sambil meneruskan perjalanan. Saya kembali berhenti di depan Alun-alun Utara (Altar). Lapangan luas dengan pohon beringin kembar di dalamnya ini punya ruang spesial di hati saya. Waktu SMP, saya dekat dengan Altar, saya sering olahraga di sana. Memori saya kembali di masa penuh suka cita itu. Mungkin itu masa di mana saya mulai jatuh cinta pada Jogja.
Tapi, pandangan saya tertuju pada pagar besi hijau yang mengurung Altar. Pagar bengis ini memisahkan saya dan banyak orang dari ruang publik di depan rumah Sultan ini. Banyak kisah di balik pagar itu yang kini tidak dapat kita kunjungi. Pagar tanpa perasaan ini seolah mengurung seluruh kenangan indah Jogja jauh dari rakyatnya.
Akhirnya saya menyerah untuk merayakan cinta saya dengan Jogja. Bahkan di hari ulang tahunnya, tidak ada sedikit effort dari Jogja untuk rekonsiliasi dengan saya. Tidak ada tawaran untuk kembali bermesraan dan menghapus luka lama saya. Jogja cuek terhadap saya dan mungkin ratusan atau ribuan orang yang jatuh cinta padanya.
Sudahlah, saya mending pulang ke rumah tempat saya lahir. Mungkin saya akan kembali merasakan cinta membara pada Jogja. Toh rumah milik eyang ini ada di Tamansari, pusat romantisme Jogja. Rumah yang berdiri di atas bangunan raksasa yang disebut Pulo Kenanga. Jadi, rumah kami berdiri di atas rumah lain.
Kalau kata teman-teman sih, rumah eyang ini mirip Mary Geoise di One Piece. Anda tidak tahu apa itu One Piece? Lalu kenapa Anda masih berusaha untuk hidup?
Di depan teras rumah itu, saya melempar jauh tatapan ke matahari terbenam. Tapi mendung menutupi semburat oranye-kuning- ungu yang cantik itu. Saya merasakan kembali betapa Jogja sangat cinta pada saya.
Saya lahir di Jogja. Berteman dengan berbagai jenis orang di Jogja. Saya belajar menggambar di Jogja. Saya kuliah di Jogja. Saya menjadi sarjana di Jogja. Bahkan saya mendapat penghargaan dari Mojok di Jogja. Semua kisah bahagia saya terjadi di Jogja. Tanpa kurang apa pun. Mungkin inilah cinta Jogja kepada saya. Dan sudah berapa kali saya menyaksikan ulang tahun Jogja, sebagai warganya, dengan penuh rasa yang berkecamuk.
Jogja terus menjadi rumah bagi saya yang sedang meniti masa depan. Banyak hal yang saya capai karena saya tinggal di Jogja. Apabila seorang Prabu Yudianto lahir di Swiss, mungkin saya tidak akan menulis di Terminal Mojok. Mungkin saya sekarang jadi broker atau bankir. Nahas sekali bukan?
Lalu saya berbalik menengok rumah milik eyang. Sejak 2009 rumah ini sudah mendapat peringatan penggusuran. Sampai hari ini, kami sekeluarga masih ketir-ketir takut digusur. Bahkan gelar raden yang kami sandang tidak mengurungkan rencana besar yang harus menggusur rumah kami. Toh pada akhirnya, kami hanyalah penumpang di tanah magersari ini. Ketika raja kami bertitah, minggat adalah kepastian.
“Asu, kamu cinta sama aku nggak sih?” Umpat saya kepada Jogja. Entah saya harus mengumpat ke arah mana. Dan mungkin entah saya harus mengumpat pada siapa. Toh Jogja tidak ikut menjaga hubungan kami ini. Dan saya masih memilih untuk cinta tapi benci pada Jogja. Terus menerus menahan sakit hati atas cinta yang toxic ini.
Selamat ulang tahun Jogja. Meskipun kamu tidak butuh ucapan saya. Semoga di usia yang tinggi ini, kamu lebih bisa mengayomi kami semua. Semoga kamu bisa mulai mencintaiku, yang tak pernah mampu meninggalkanmu. Jangan lupa, ada jutaan orang yang rindu kemesraanmu yang elok itu. Peluk cium untukmu sayang, meskipun kamu terus berpaling dariku.
Penuh cinta dan kebencian.
Pemujamu
Prabu Yudianto
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Surat Terbuka untuk Gubernur Baru Jogja: Semoga Lebih Baik ya, Pak!