Jika kamu datang untuk liburan ke Lombok pada bulan Ramadan, saya sarankan untuk tidak sekali-kali mencoba melewati Jalan Dr. Wahidin selepas asar. Pada bulan Ramadan seperti sekarang, Jalan Dr. Wahidin akan disesaki oleh kendaraan yang berjalan lebih lamban dari siput yang kelelahan. Lalu kepalamu akan dibuat pening mendengar suara bel bersahut-sahutan dan suara kentut mesin berjumpalitan. Kemacetan sudah seperti rutinitas abadi di sekitaran Rembiga.
Salah satu penyebab kemacetan tersebut adalah rumah makan Sate Rembiga yang berjejer di sepanjang Jalan Dr. Wahidin. Ada begitu banyak rumah makan yang menjual Sate Rembiga di sepanjang jalan. Meski banyak yang berjualan sate, hanya ada dua rumah makan yang benar-benar bersaing: Sate Rembiga Ibu Sinnaseh dan Sate Rembiga Utama Bu Ririn. Lain dari itu hanya bisa mengharap percikan rezeki dari para pembeli yang tidak kebagian atau malas mengantre untuk membeli di kedua rumah makan itu.
Buat yang tidak tahu seperti apa sate khas satu ini, mungkin ada baiknya saya perkenalkan sedikit. Sate Rembiga merupakan salah satu kuliner khas yang cuma ada di Lombok. Saat ini, kuliner khas tersebut bahkan sudah mulai membuka cabang di luar wilayah Rembiga. Ada yang bisa dijumpai di pusat kota Mataram seperti di sekitaran daerah Cakranegara dan di Kekalik. Tidak hanya melebarkan sayap di luar Rembiga, kuliner khas ini juga sudah mulai melebarkan sayap sampai keluar Lombok.
Sate Rembiga memang adalah salah satu makanan favorit di Lombok. Itu membuat Rembiga tidak pernah sepi oleh pengunjung, baik dari warga lokal maupun wisatawan. Dan di bulan puasa, orang-orang yang mampir untuk membeli sate khas ini semakin membludak, dan itu membuat jalanan yang sebenarnya sudah ramai di hari-hari biasa, menjadi semakin ramai saja. Macet menjadi tidak terhindarkan.
Sejarah kemunculan rumah makan yang menjual sate di sepanjang Dr. Wahidin ini tidak singkat dan menarik untuk ditelusuri. Dulu, sebenarnya hanya ada satu pedagang sate di Jalan Dr. Wahidin. Bahkan namanya pun bukan Sate Rembiga. Belakangan begitu warung sate ini menjadi terkenal, nama Rembiga disematkan kepadanya. Seiring waktu, namanya semakin menjadi-jadi. Orang beramai-ramai datang mencari sate dengan rasa yang khas. Melihat banyaknya peminat, para pedagang lain mencoba cari peruntungan dengan berjualan sate di sepanjang Jalan Dr. Wahidin.
Ada cerita menarik dari kedua rumah makan Sate Rembiga yang terkenal ini. Dulunya Sate Rembiga Ibu Sinnaseh dan Sate Rembiga Utama adalah satu kesatuan. Mereka bahu-membahu membuat nama Sate Rembiga dikenal seperti sekarang. Kemudian ketika sate khas ini menjadi besar dan terkenal—mungkin terlalu besar hingga susah dikendalikan—Ibu Sinnaseh dan Ibu Ririn pecah kongsi. Siapa yang salah dan siapa yang benar, tidak perlu kita perdebatkan. Yang jelas setelah mereka pecah kongsi, hadirlah kedua rumah makan besar masing-masing mengaku sebagai pemilik yang asli.
Jika dalam sepak bola derbi hanya berlangsung dua kali setahun, di Rembiga derbi terjadi setiap hari. Dan seperti pula laga derbi di setiap pertandingan sepak bola, jalan di sekitar stadion selalu macet.
Satu hal yang membuat Sate Rembiga menjadi salah satu kuliner favorit di Lombok adalah rasanya yang tidak biasa dan lembutnya yang luar biasa. Rasa pedas bercampur manis akan langsung membuatmu lupa diri ketika potongan daging lembut itu tiba di mulut. Peduli amat dengan asam urat yang melompat tinggi dan tidak turun-turun. Peduli amat kolestrol yang tak terkontrol, itu urusan nanti. Seperti kata peribahasa, bersenang-senang dahulu, bersakit-sakit kemudian.
Di luar urusan rasa, ada hal lain yang membuat sate ini populer. Ini berkaitan dengan desas-desus yang beredar terkait bahan dasar satenya. Saya pernah mendengar dari seseorang yang saya percayai bahwa Sate Rembiga tidak berbahan dasar daging sapi, melainkan daging kuda. Tapi kalau dikatakan daging kuda juga kedengarannya terlalu berlebihan, sebab satenya begitu lembut. Memangnya ada bagian tubuh kuda yang lembut?
Tapi kalau dibilang dari daging sapi, rasanya terlalu khas. Rasa Sate Rembiga tidak seperti kebanyakan sate berbahan dasar sapi. Entah itu karena cara memasaknya atau memang karena memang bukan dari daging sapi.
Semua itu sampai saat ini masih menjadi misteri buat saya. Dan misteri ini seolah dibiarkan tetap menjadi misteri seolah memang sengaja dibuat seperti itu. Mungkin memang seperti itu. Desas-desus dibiarkan menjadi desas-desus agar orang semakin penasaran dan datang sendiri untuk mencicipinya. Jika itu yang benar terjadi, maka sungguh strategi marketing yang apik sekali.
Penulis: Aliurridha
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 4 Sate Khas Lombok yang Menggiurkan untuk Dicoba.